Senin, 29 September 2008

Distorsi Sosial hubungan antar manusia


Disebuah pesta, seorang wanita yang dandanannya sangat menor, Nampak sangat dominan diantara para tamu. Nyaris setiap orang disapanya: kenal atau tidak, sembari tertawa mengikik, yang, justru sangat menganggu tamu lain. Seorang lelaki, sejak tadi memperhatikan sambil menahan kejengkelannya, dan tak lupa berdoa: semoga wanita itu cepat menemukan “sapu lidinya” dan segera terbang. Karena sudah tidak tahan, lelaki itu lalu berbisik kepada seorang tamu disampingnya:”Eh, Bung. Siap sich, wanita itu. Gayanya sangat menjengkelkan. Sudah jelek, bertingkah pula!”. Dengan suara memelas, orang itu menyahut:”Maaf, Pak. Dia itu Istri saya”. Kontan lelaki itu gelagapan, dan menimpali cepat: Maaf, Bung. Maksud saya, wanita yang disampingnya. Itu. Lho yang gemuk”. Tamu itu, kembali menyahut lebih memelas:”Oooh, kalau yang itu, anak saya”. Katanya Sambil ngeloyor pergi. Apa yang menarik, ion sinisme, ketidaksukaan, rasa jengkel kita terhadap orang lain? Walaupun orang itu tidak kita kenal, atau, tidak menciderai kita? Hubungan antar manusia (human relation), merupakan satu genre peralihan dalam studi manajemen (1930-1940), dari studi organisasi klasik era Henri Fayol (1900-1940) ke studi organizational behaviour. (1940 an-sekarang).
Baru-baru ini, Daniel Goleman, penulis buku emotional intelligence, kembali mengkaji Social intelligence: sebuah revolusi tentang hubungan antar manusia. Menjawab pertanyaan mengapa tamu itu terjebak dalam kejengkelannya. Menurut Goleman, jangan-jangan kita bagian dari “tiga serangkai kelam”, yang mendistorsi empati kita kepada orang lain: sebuah kodrati untuk memperlakukan manusia sebagai manusia. Tiga serangkai kelam itu adalah: Narsisis, Machiavellian, dan Psikopat.Ketiganya punya kesamaan: berniat jahat secara social, berniat menipu, egosentris dan agresi, serta sikap dingin secara emosional.
Narsisis, orang yang melihat dirinya sebagai pusat dunia, didorong satu motif; mimpi akan kejayaan. Sebenarnya, mereka innovator-inovator bisnis, yang digerakkan oleh unsur penghargaan istimewa dan kejayaan. Namun, sering tanpa peduli, berapapun biaya manusianya. Empati mereka selektif: musuh dan bukan musuh, atas dasar membantu dia atau tidak. Menutup perusahaan atau PHK, tanpa simpati dan penyesalan akan penderitaan karyawan. Tidak punya pride, harga diri, rentan terhadap kritik, abai terhadap feedback. Serakah untuk meraup segalanya, sebagai manifestasi kekuasan dan kejayaan.
Machiavellian (Tipe Mach), dari nama tokoh penciptanya: Niccolo Machiavelli, seorang pakar politik, penulis Sang Pangeran yang terkenal dengan “sabdanya”: tujuanku menghalalkan caraku”. Seorang tipe Mach, bisa saja tampil memikat di depan bosnya, atau klienya. Tapi ketika kembali kelingkungan anak buahnya, dia berubah jadi tiran kecil: menindas, mencekal, mengebiri, mengecilkan prestasi orang lain. Orang tipe ini, wawasannya tentang kehidupan dipenuhi dengan sikap sinisme pada apapun yang terjadi. Bakatnya tercermin dalam:daya tarik yang dangkal, licik, kalkulatif, arogan, dan amat ingin bertindak dalam cara yang merusak kepercayaan serta kerjasama. Tidak suka membangun hubungan emosional, melihat orang dalam perspektif utilitarian—sesuatu yang bisa dimanipulatif untuk kepentingan pribadi. Mungkin saja mereka bisa sukses dengan gaya manajerial: jilat atas, sikut kiri-kanan, dan tendang ke bawah. Namun dalam jangka panjang, akan menaggung resiko hancur, karena pola hubungan yang buruk itu. Empati mereka bervisi terowongan: bisa merasa empati pada orang, karena bermaksud memanfaatkannya. Sikap dingin ini didasari kegagalan dalam memperoses emosi—baik dalam dirinya, lebih-lebih pada orang lain. Melihat dunia dalam kerangka rasional dan probabilistic. Hampa dari emosi, juga kosong secara etis dari kepedulian manusia. Seperti pembunuh berantai, sebagian diri mereka telah mati.

Jumat, 26 September 2008

PERSEPSI

Serombongan Politisi sedang Kunker ke desa. Nasib malang, mobil rombongan terbalik. Penduduk desa ramai-ramai menolong dan selanjutnya melapor ke polisi. “Berapa orang legislator yang korban” Tanya Polisi. “semuanya berjumlah 20 orang . Yang meninggal langsung, 15 orang. Tapi, ada lima orang yang masih merintih minta tolong bahwa mereka masih hidup”. Jawab penduduk. “Lalu, dimana korban yang masih hidup itu”. Tanya Polisi. “Ooh, sudah kami kubur juga Pak. Bapak kan tahu, bagaimana politisi kita kalau ngomong. Bilangnya masih hidup, padahal dia sudah mati. Jadi kami tidak mau tertipu lagi”. Jawab penduduk mantap. Apakah penduduk itu salah? Tidak. Itulah hasil dari sebuah persepsi.
Sebuah persepsi, kata Robbins (2005), adalah bagaimana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan, dengan inderanya, untuk menanggapi lingkungan realitasnya. Akibatnya, banyak persepsi yang jauh dari realitas, seperti korban kubur paksa politisi kita di atas. Memang, kata robbins, pertengkaran dan konflik manusia, lebih banyak berkubang di persoalan persepsi, bukan pada realitas itu sendiri. Seorang yang mengendap di luar rumah pada jam dua malam, dipersepsikan pencuri. Padahal, mungkin saja, dia sedang cari kodok untuk digoreng swiki.
Dalam studi organisasi, persepsi individu, dipengaruhi tiga factor: sipemersepsi, situasi, dan target/obyek. Pertama, Sipemersepsi, punya attitudes, motives,interest, dan expectation yang beda pada setiap orang. Attitudes yang negative thingking, memang selalu salah tanggap. Pria brewok dan wanita cantik muntah, dikira teler dan hamil. Motives,adalah alasan dasar tanggapan. Sumbernya dari kebutuhan. Kalau saya butuh jabatan manajer, maka segala hal tentang manajer menjadi sudut pandang melihat sesuatu. Demikian pula Interest dan expectation berlebihan akan fasilitas sebuah jabatan, sering melahirkan frustrasi melihat realitas yang jauh berbeda.

Hal kedua, factor situasi. Waktu, setting pekerjaan dan lingkungan social juga turut mempengaruhi. Pagi, siang,sore dan malam sering memberi tanggapan yang berbeda-beda. Bahkan Batman, punya kata bertuah”malam, tidak pernah bersahabat dengan orang-orang baik”. Setting pekerjaan, yang memiliki tensi tinggi, rendah, longgar dan ketat, bukan Cuma membuat beda tanggapan, tetapi bahkan mempengaruhi karakter, jika berlangsung Spartan dan permanen. Apalagi, jika settingnya berlangsung dalam sebuah lingkungan social, yang sarat dengan nuansa sosiologis: struktur, strata, symbol, prestise, trah. Tidak heran, jika sapa-menyapa di organisasi Pemerintahan berlangsung dalam setting sosiologis ini. Seorang bawahan bisa merasa sangat tertekan, ketika dia lupa menyapa pimpinannya dengan “Puang, Karaeng, atau Andi” saat bicara. Atau Pimpinan yang kemudian melihat karyawannya akan gagal mencapai kinerja, karena tidak mengindahkan lagi “nilai-nilai lama”.

Ketiga, persoalan target atau obyek itu sendiri. Obyek baru, lama, tua, muda, besar, kecil, dekat, jauh, dan latar belakang obyek berada atau berasal, akan menghasilkan tanggapan yang multi. Penyair Goenawan Mohamad dan Umar Kayyam, ketika pertama kali menginjak New York menyimpulkan: “New York, sebuah kuali besar, tempat jutaan manusia menggelegak didalamnya”. Atau anda, ketika masih culun, saat baru diterima kerja, maka CEO perusahaan dibayangkan sebagai: orang sangat besar, wibawa, dengan suara bariton. Walau, yang muncul kemudian, adalah sosok Goblin, makhluk petugas Bank dalam cerita Harry Potter. Ketika pertama kali ditugaskan mengajar di Papua, saya harus membaca ulang buku Geografi anak saya tentang Papua. Sebuah hal baru, visi baru, pengalaman baru, pada sebuah obyek yang baru. Ternyata, memang banyak yang beda dalam persepsi saya. Persepsi penting dipahami karena dapat berseberangan jauh dengan realitas sebenarnya. Padahal, realitaslah yang mestinya dibereskan. Jangan sampai karena salah persepsi, kita harus kehilangan lima anggota legislator yang dikubur paksa masyarakat.

Jumat, 25 Juli 2008

Bakri Mustafa: menjadi seseorang

Bakri Mustafa: Menjadi Seseorang

Oleh: M. Idrus Taba

Bakri Mustafa, seorang tukang perahu di selat Bosporus. Rutenya, menyeberangkan penumpang dari Istambul, Turki ke Kadikoy, Anatolia. Karena persaingan ketat, Bakri Mustafa, menservis penumpangnya dengan secangkir arak. Padahal arak saat itu dilarang. Tapi, justru penumpang Bakri Mustafa melonjak. Tukang perahu lainnya iri, lalu melapor ke Sultan. Sultan bersama perdana menteri bermaksud menangkap basah Bakri Mustafa, dengan cara menyamar sebagai penumpang. Banar saja, ketika perahu melaju ditengah sungai, Bakri Mustafa menjamu tamunya arak. Setelah perahu tiba diseberang, Perdana Menteri lalu membentak: “Bakri mustafa, kamu ditangkap, karena menyuguhkan kami minuman arak yang dilarang!”. Bakri balas membentak:”Memangnya kamu siapa berani melarang saya?”. “Kamu tidak kenal kami? Saya adalah Perdana Menteri. Dan disamping saya adalah Baginda Sultan!” Balas Perdana Menteri. Bakri Mustafa tertawa terbahak, katanya: “Hei Bung, aku sudah minum arak bertahun-tahun, belum pernah mengaku diri menjadi seseorang. Tapi kalian, baru minum arak satu cangkir, sudah mengaku diri Perdana Menteri dan Sultan. Seandainya habis sebotol, mungkin kalian berdua mengaku diri Nabi dan Tuhan!”.

Dalam hidup, kita sering memerankan diri dalam multi peran. Peran-peran ini, sering dipilah dalam sekat: peran yang kita harapkan, yang diharapkan tempat kita bekerja, yang diharapkan keluarga, dan yang diharapkan masyarakat. Masalahnya adalah, dimensi berbagai peran tersebut, lebih banyak yang tidak sejalan. Harapan kita secara individual, ingin selalu menampilkan peran protogonis, yang secara fitrawi dan juga secara sosial menjadi harapan setiap manusia, organisasi dan masyarakat. Namun realitasnya, seringkali kita justru tampil dengan peran-peran antagonis.

Dalam konteks organisasi, apa sebenarnya peran-peran yang dimainkan seorang manajer? Berbagai peran, akan semakin kompleks seiring dengan perkembangan dan perubahan lingkungan. Namun, terdapat peran-peran yang secara konsisten tetap dimainkan, sejak dulu hingga kini, walau dengan berbagai variasi yang beda. Mintzberg dalam The Nature Managerial Work (1973),memetakan tiga peran besar seorang manajer, yaitu: peran interpersonal, peran informasional, dan peran decision maker.

Peran interpersonal, menuntut manajer menjalankan tugas-tugas yang bersifat seremonial dan simbolik. Paling tidak, ada tiga peran yang dimainkan: sebagai pemimpin lambang (figurehead) ,yaitu kala si pemimpin menyematkan tanda jasa, pukul gong, atau pidato sambutan. Pemimpin (leader) yaitu kala dia memotivasi, melatih, mendisiplinkan karyawan, dan penghubung (liason) ketika ia mengalirkan informasi internal organisasi ke pihak eksternal, atau sebaliknya.

Peran Informasional, memerikan posisi manajer sebagai pengumpul komponen informasi dari berbagai organisasi atau lembaga eksternal, kemudian merakitnya menjadi peta informasi yang penting bagi organisasi. Peran ini memerlukan kepekaan indera dan kejernihan hati, pikiran dan akal dalam menangkap berbagai “perbincangan”, lewat bahasa verbal, non verbal, dan tanda-tanda zaman. Hasil olah perbincangan, kemudian disalurkan kepada anggota organisasi dalam narasi yang akrab dibalut nilai-nilai yang sama. Peran sebagai disseminator ini memerlukan ketrampilan komunikasi yang ditunjang oleh kemampuan soft skill yang memadai.

Peran ketiga, sebagai decision maker, memerankan empat lakon, yaitu sebagai entrepreneur, menangani krisis, distributor sumberdaya, dan negosiator. Peran entrepreneur, menempatkan posisi manajer sebagai innovator, sumber enerji perubahan dan inspirator ide-ide kreatif terhadap lingkungannya. Dalam kondisi krisis, manajer berani “masuk”, bergelut dan melakukan koreksi internal. Berhadapan dengan resistensi yang siap menggilas. Pada posisi yang sulit ini, akan menentukan kualitas seorang manajer: sebagai The winner atau terkapar sebagai pecundang. Pada peran distributor sumberdaya –manusia, fisik, keuangan— akan menghadapkan pilihan antara distribusi efektif, atau atas dasar kekuasaan. Godaan untuk menguasai sumberdaya, secara individual atau kelompok, akan menimbulkan ketidakpuasan dan merusak secara sistemik organisasi. Terakhir, peran negosiator, manajer sebagai representasi organisasi dalam melakukan perundingan, baik dengan karyawan dalam hubungan industrial juga dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Kemampuan sebagai negosiator menuntut keahlian dalam komunikasi, hukum ketenagakerjaan, psikologi social, individual, dan social skill yang memadai.

Bakri Mustafa, suskses sebagai tukang perahu yang sangat memahami kebutuhan customernya. Tapi dai tidak mengerti, mengapa seseorang harus mengaku sebagai “seseorang yang lain” hanya karena menenggak secangkir arak. Dunia peran, adalah dunia yang aneh. Dunia yang membuat kita terlipat didalamnya, menjadi huruf, kata dan kalimat berbagai arti. Aneh

Selasa, 01 Juli 2008

Butterflies: maka berubahlah

Seorang pasien kejiwaan, merasa dirinya sebutir jagung, sehingga selalu ketakutan ketika melihat seekor ayam atau itik, karena merasa akan dipatuk atau ditelan. Setelah dirawat setahun, Dokter menyatakan dia sudah sembuh. “Dok, betulkah saya sudah sembuh?” Tanyanya ragu. Dokter mengiyakan mantap.” Apakah, saya sudah tidak merasa diri sebutir jagung lagi?” Lanjutnya. “TIdak lagi. Kamu sudah sembuh total”. Dokter meyakinkan. Dengan gembira, si pasien berjalan keluar, tapi tiba-tiba berbalik dan bertanya ragu:” Tapi Dok, apakah ayam dan Itik itu tidak lagi menganggap diriku sebutir jagung?”.Dokter memutuskan tidak menandatangani keterangan kesembuhannya. “if nothing ever changed, there’d be no butterflies”. Tak ada kupu-kupu yang mengepakkan sayap menembus cakrawala, jika tak ada metamorfosis kepompong.

Perubahan telah menjadi sebuah keniscayaan, setidaknya, dalam sepuluh tahun terakhir ini. Meningkatnya ketidakpastian, turbulensi pereknomian dunia, gonjang-ganjing politik domestic, lemahnya supremasi hukum , dan eforia otonomi daerah, telah menggiring dunia bisnis di Indonesia, melakukan cloning strategi: dengan cara cerdas hingga bahkan primitive dalam upayanya “membaca” Perubahan.

Anderson dan Anderson (2001) membagi tiga kelompok perubahan, yaitu: yang bersifat Developmental, Transtitional, dan Transformational. Perubahan Developmental berbentuk penyempurnaan pengetahuan, ketrampilan, metode, bahkan kondisi kekinian, tanpa mempertimbangkan jangka panjang. Penyebabnya, misalnya, karena training, approach baru sebuah problem solving dan decision making, job enrichment, hasil survai kepuasan, dan perluasan pasar. Perubahan trantitional, lebih kompleks. Lebih merupakan respon terhadap lingkungan eksternal yang bersifat jangka panjang. Contohnya, perubahan struktur organisasi, imbal jasa, merger, akuisisi, komputerisasi, inovasi produk baru. Diperlukan ketrampilan baru dan strong leader untuk berubah. Perubahan ketiga, Transformational, dipandang kompleks dan sulit dipahami. Perubahan tipe ini sifatnya radikal mengubah organisasi. Bukan saja mengubah perilaku tetapi lebih menekankan pada cara pandang dan mindset individu dan organisasi. Perubahan dipilih, karena “organisasi telah mendarat ditepi pantai, perahu dibelakangnya sudah dibakar, dan benteng kemenangan menunggu untuk direbut di depan”. Pilihannya cuma dua: berubah sama sekali, atau mati!. Namun disadari pula bahwa resistensi terhadap perubahan selalu hadir. Sejumlah orang yang merasa keenakan dengan pola lama dan merasa gamang serta terancam, akan menolak, sehingga perubahan akan menuai kegagalan. . Lalu faktor apa yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah perubahan?. Menurut survai PPM Jakarta terhadap eksekutif di Indonesia, paling tidak ada lima, yaitu: kemauan dan keteladanan pemimpin, dukungan manajemen yang kompeten, defenisi sasaran yang jelas, rencana yang rapi, dan komunikasi yang jelas. Kekuatan pemimpin untuk mengubah jalannya sejarah organsiasi menuju perubahan menjadi mutlak. Untuk itu, perubahan seharusnya dimulai dari si Pemimpin. Akan sia-sia sebuah proses perubahan, jika pemimpin tetap terkungkung di dalam kepompongnya, terpenjara dalam mindset lamanya, dan berkomunikasi dalam narasi bisu yang sia-sia.

Memang, sangat sulit untuk mengubah diri sendiri. Diperlukan kemauan, kemampuan, dan kesadaran diri untuk bersikap keras terhadap diri sendiri untuk berubah. Kata bijak diucapkan seorang ahli motivator, Wongso, katanya: ”jika kau bersikap lunak terhadap dirimu, maka dunia akan bersikap keras terhadapmu. Tapi jika kau bersikap keras terhadap dirimu, maka dunia akan melunak terhadapmu”. Berubah, memang selayaknya dimulai dari diri sendiri. Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself” (Leo Tolstoy, 1828-1910 ).

Kamis, 19 Juni 2008

Job Satisfaction

Betulkah, jika seorang karyawan yang puas, akan memicu prestasi kerjanya meroket? Di era 70-an, diyakini jawabnya ya, dengan “Y” besar. Tapi, saat ini, menurut pakar organizational behavior, nyaris menjadi mitos belaka. Variasi berbagai dimensi yang memicu kepuasan dan berbagai pengaruh faktor eksternal terhadap sebuah pekerjaan, menghasilkan persoalan kepuasan kerja menjadi rumit. Dulu, orang bisa puas karena pekerjaan itu sendiri adalah bagaian penting dan menyatu dengan kepuasan. Tapi, kini, dengan bantuan teknologi, seseorang tidak perlu puas dulu untuk menghasilkan output prestasi yang optimal. Seorang operator forklift, tetap bisa mengangkat beban beton puluhan ton, walau dia jengkel dan tidak puas dengan bosnya. Padahal, pergulatan organisasi hari demi hari, terhadap pengembangan SDM nya adalah memberinya ruang, atmosfir, dan peluang dalam kerjanya untuk memperoleh afeksi kepuasan agar performance kerjanya tetap tinggi dan berkualitas. Tapi, disini problemnya. Bagaimana memahami berbagai dimensi kepuasan kerja dan pada perspektif bagaimana seorang karyawan memandang dimensi itu sehingga dapat membuatnya trance, “mengalami”, atau “bersetubuh” dengan kepuasannya dalam bekerja. Paling tidak ada lima dimensi pekerjaan (Jhon Locke, 1934) yang dilihat karyawan untuk membuatnya puas, yaitu: gaji, teman kerja, pimpinan, lingkungan, dan pekerjaan itu sendiri. Tapi, cara memandang kepentingan dan struktur dimensi ini ternyata berbeda pada setiap karyawan. Ada lima orientasi umum yang menggambarkan proses seseorang puas bekerja.

Pertama, teori proses perbandingan (Vroom,1964). Individu, punya standar afeksi tentang lima dimensi diatas dan membandingkannya dengan persepsi, sejauhmana standar terpenuhi. Jika, by perception standar terpenuhi, maka dia puas. Pemahaman persepsi individu, penting bagi organisasi untuk menyelami perbandingan itu.. Kedua, teori instrumentalis. Karyawan punya instrumen tentang sejauh mana sebuah pekerjaan bernilai untuk membuatnya puas. Kalau promosi, adalah sebuah instrumen kepuasan, maka dia akan bekerja keras untuik memperolehnya. Ketiga, teori perbandingan sosial (Salancik&Pfeffer,1977). Seseorang memilih pekerjaan, tanpa memiliki sebuah persepsi kepuasan tentang pekerjaan itu. Pokoknya kerja saja. Tapi, dia akan mengamati lingkungan sosialnya, dan mencoba meraih kepuasan dari lingkungan itu. Kalau orang disekelilingnya bekerja dengan puas, dia akan turut menikmatinya, begitu pula sebaliknya. Artinya, semangat team work , sebagai ekspresi dimensi hubungan kepuasan interpersonal perlu terus dijaga. Keempat, teori equitas (Pritchard,1972).. Karyawan akan membandingkan pekerjaanya (input-output) dengan orang lain. Kalau input kerjanya (tenaga,waktu,dedikasi) sama dengan orang lain, tapi outputnya (gaji, promosi, peluang) yang diterimanya tidak sama, dia akan tidak puas. Perlakuan yang sama, keadilan, dan sosiologi kerja menjadi penting dipahami organisasi.P.S. Goodman (1972) mengingatkan, bahwa setiap bentuk ketidakadilan yang dirasakan , akan memicu reaksi karyawan untuk menghilangkannya. Kelima, teori dua faktor (Herzberg, 1966) yang melihat bahwa dimensi antara faktor penyebab kepuasan kerja (job satisfaction) dan faktor penyebab ketidakpuasan kerja (job dissatisfaction) berbeda. Faktor yang pertama, berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri seperti; pengakuan, otonomi, dan tanggungjawab. Sedangkan faktor kedua berkaitan seperti gaji, kondisi kerja, dan perilaku hubungan manusiawi pimpinan atau rekan kerja. Antara gaji yang tinggi dan otonomi pekerjaan yang luas, berbeda dimensinya. Menambah gaji karyawan, berarti hanya mengurangi ”ketidakpuasannya”. Tetapi, memberi otonomi, berarti ”memperluas” kontinum kepuasannya.

Kepuasan kerja, telah dieksplorasi sejak lama dalam berbagai riset hingga dipraktikkan diorganisasi sampai hari ini, namun, ”wilayah” ini tetap menjadi ”black box” yang misterius bagi organisasi. Menemukan setiap potongan ”puzzle” kepuasan kerja, dan memberinya intervensi yang tepat, akan mendorong job performance lebih tinggi.

Rabu, 21 Mei 2008

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Oleh: Dr. Ignas Kleden (Ketua Komunitas Indoensia untuk Demokrasi, KID)


DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.

Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal umum “bahasa menunjukkan bangsa”. Ada pula ungkapan “orang berbangsa”. Jelas bahwa kata “bangsa” dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan, karena “bangsa” dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang baik-baik, yang jelas “bibit, bebet, dan bobot”-nya, yaitu mereka yang termasuk dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan. Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak termasuk dalam golongan “orang berbangsa”.

Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara, adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.

Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian “bangsa” yang hingga saat itu masih terbatas hanya pada “orang berbangsa”. Revolusi pengertian ini tidak berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo masih dipimpin oleh para ningrat.

Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul kemudian. Makna baru kata “bangsa” diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang para pencetusnya “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia... berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” sambil “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara politik.

Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno, memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil, modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.

Dalam tulisannya, “Marhaen dan Proletar”, Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke dalam “bangsa” dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.

Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, “Indonesia Merdeka”, di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).

Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial. Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam, memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.

Istilah “dagang” dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari “orang berbangsa”. Studi-studi sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap “orang asing” dalam suatu masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang berbangsa.

Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik, apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam “bangsa” dan menjadikan mereka kekuatan dalam perjuangan politik.

Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam filsafat serta ilmu pengetahuan.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai “Indonesia”. Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama “Indonesia” lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada 1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama “Indonesia” mencakup juga 15 juta orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.

Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama “Indonesia” dipakai dalam arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan geografis dan etnologis. Kata “Amerika” menunjuk suatu benua yang membujur dari kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama “Amerika” dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.

R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata, ”Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut. Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus.”

Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.

Rabu, 07 Mei 2008

Non-Market Strategy

Dimalam yang gelap gulita disertai hujan deras di tengah laut yang bergelombang tinggi,

Sedang diadakan latihan perang gabungan. Tiba-tiba dikejauhan, seberkas cahaya berkedap-kedip. Panglima kapal perang langsung memberi kode morse ”kamu yang di depan, segera minggir 15 derajat”. Cahaya itu, langsung membalas:”kamu yang minggir 15 derajat”. Sang Panglima, kesal lalu membalas:”Kamu minggir 15 derajat, disini Panglima Kapal Perang”. Cahaya itu balik menukas:”Kamu yang minggir 15 derajat, disini pelaut kelas dua”. Panglima hilang kesabaran dan mengancam:” Kamu minggir, atau saya tabrak!”. ”Silakan tabrak, disini Mercu Suar” Balas Cahaya itu. Ada berapa banyak perusahaan yang kemudian mau dan bisa berubah setelah ancaman eksternal hadir dihadapan. Paling tidak, ada tiga cara yang ditempuh untuk berubah. Ada yang mau berubah setelah kondisi sangat akut. Sejumlah kerusakan, bagai kanker, sudah merasuk jauh ke jantung dan tinggal menunggu paku kematian dimartir. Model penyelamatannya: amputasi. Ada pula dengan cara reaktif. Perubahan direspon segera. Mungkin sudah ketinggalan dari pesaing, tetapi, paling tidak masih dijalur perubahan yang benar. Cara lain, disebut proaktif, yang berubah karena kekuatan visi. Mampu menatap jauh dibentangan masa depan, dan melihat pada posisi mana seharusnya perusahaan berdiri. Perusahaan unggul, menurut berbagai riset, adalah mereka yang berada di jalur ini.

David Byron (2003), dalam bukunya Business and its environment, mengajak kita untuk merambah lingkungan eksternal yang disebut: Non-Market, selain aspek Market yang menjadi concern dunia bisnis selama ini. Lingkungan Market, adalah wilayah kerja utama perusahaan, mencakup interaksi antar perusahaan, suppliers, dan customers yang diatur melalui pasar atau melalui kesepakatan-kesepakatan ( misalnya kontrak). Non-Market, adalah aspek sosial, politik, dan berbagai peraturan pemerintah yang memberikan tekanan terhadap strategi perusahaan. Oleh karena issu yang disandang non-market begitu luas, maka Perusahaan perlu menjadikannya sebagai bagian integral dari Coporate strategy. Berbagai issu seperti perlindungan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan teknologi, politik legislasi, regulasi dan antimonopoli, HAM, tekanan aktivis NGO, hubungan pemangku-kepentingan, CSR, dan etika, memerlukan pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan untuk mengelolanya. Mungkin saja, selama ini banyak perusahaan sudah melakukan analisa dan pendekatan terhadap issu tersebut. Tetapi, sifatnya sektoral, fragmen, dan sporadis, sehingga hasilnya tidak efektif. Ada BUMN yang setiap tahun kelabakan menghadapi sekelompok masyarakat yang mengklaim tanah perusahan sebagai Hak ulayat, tanah milik, space publik . Ada pula yang dijadikan ”agenda kunker” akhir tahun oleh Legislatif. Atau, Pemda mengganggu dengan ”tagihan retribusi”, padahal fasilitasnya dibangun perusahaan. Belum lagi sentimen berantai yang dipicu masalah etnik, agama, dan kelompok lainnya yang dapat merembet kepersoalan rasialisme.

Sudah saatnya perusahaan sebagai entitas bisnis, tidak hanya memikirkan aspek Market saja. Apsek non-merket memerlukan analisis yang lebih luas, seperti analisis struktur sosial-politik masyarakat. Bagaimana peta geopolitik dan sentimen sektarian dapat berkait core business perusahaan. Bagaimana Peran, aktor, jaringan, dan struktur activist pressure dari kalangan NGO yang dekat dengan issu lingkungan, tenaga kerja, HAM, dan demokrasi yang berdampak pada domestik maupun international business . Bagaimana Peran dan tekanan eksekutif dan legislatif dalam berbagai kebijakan legislasi, publik, dan politik terhadap misi perusahaan. Adakah, aspek Non-Market sudah diformulasi dalam sebuah Framework, sebagai bagian integral dari Corporate Strategy?. Saya khawatir, belum.

Body Language

Perhatikan ceritera berikut: 1) seorang istri menegur suaminya, katanya “Daeng, tidak usah menyiram bunga, karena sedang hujan”. Suaminya menyahut:” No, problem, saya pake Jas Hujan”. 2) Seorang murid SD ditanya Gurunya:” Badu, jika Ayahmu pinjam uang 10 ribu, dan sudah dibayar 3 ribu, sisa berapa utangnya?”. “Sepuluh ribu, Bu!” Jawab Badu mantap. “Bodoh amat kau menghitung!”. Sergah Gurunya. Badu menukas kalem:” Mungkin saya bodoh Matematika, tapi Ibu Guru tidak kenal Ayah Saya. Ayahku kalo ngutang tidak pernah bayar!”. Apa yang salah dari komunikasi itu?. Riset menunjukkan bahwa komunikasi yang buruk paling sering disebut sebagai sumber konflik antarpribadi. Karena para individu menghabiskan hampir 70 persen dari waktu kerjanya untuk berkomunikasi, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa salah satu kekuatan yang paling menghambat suksesnya kinerja kelompok adalah kurangnya komunikasi yang efektif. Komunikasi harus mencakup perpindahan dan pemahaman makna. Gagasan tidak berguna sebelum diteruskan ke dan dipahami oleh orang lain. Hanya lewat perpindahan makna dari satu orang ke orang lain, informasi dan gagasan dapat dihantarkan dan dipahami. Persoalannya, pemaknaan- obyek, orang, peristiwa- sarat dengan karakteristik psikologis individu, lingkungan sosiologis, budaya, dan pilihan media komunikasi: verbal, tulisan, dan non-verbal. Media terakhir ini, sering disebut body language communication atau bahasa tubuh. Mencakup gerakan tubuh, intonasi atau tekanan yang kita berikan pada kata-kata, ekspresi wajah, dan jarak fisik antara pengirim dan penerima. Pesan paling penting yang disampaikan bahasa tubuh adalah (1) sejauh mana individu menyukai orang lain dan berminat terhadap pandangan pemikirannya, serta (2) status yang relatif diterima antara pengirim dan penerima.

Jadi, ketika Presiden SBY yang dua kali menegur audiens ketika sedang pidato- pertama, terhadap wartawan yang asyik bicara di Istana Negara, dan kedua, terhadap Bupati yang tidur- justru menunjukkan sejauhmana “minat atau tidak minatnya”, audiens terhadap performance body language skill Presiden ketika bicara yang terkesan datar, terjaga, dan minim ekspresi. Akibatnya, ada empati yang putus. Rasa haru yang tetap nyenyak disanubari, dan, bulu kuduk yang tidak merinding untuk meneteskan airmata. Ada status yang tertolak. Bagi si wartawan dan si Bupati: bahwa verbalisme dan body language “si pengirim”, menthok, dikeasyikan “bicara sendiri” dan “tidur mendengkur”.

Seorang Pemimpin, perlu membangun karakter khas bahasa tubuh yang mengalir dan diterima oleh orang atau masyarakat receiver. Ada`komunikasi tubuh yang universal, berlaku dalam masyarakat luas. Ada pula yang khas, kontekstual, dan lokal. Dagu terangkat, mulut terkatup, dan mata memicing, artinya angkuh. Melipat kedua tangan, maksudnya tidak berminat. Badan dicondongkan, artinya saya menyimak. Memegang dagu, mungkin dia ragu. Tapi, memegang telinga, sambil menunduk saat bicara, kemungkinan dia bohong. Duduk menyilang kaki, sambil bersandar, maksudnya: saya berkuasa. Tapi, duduk dan melipat kaki disertai melipat tangan, merasa betapa tidak amannya dirinya. Mengangguk, bisa berarti ya, atau mungkin “saya mengerti”. Ada sebuah suku di pedalaman Tahiland, jika senang pada tamunya, akan menjulurkan lidahnya keluar. Bagi sebagian orang, itu menghina. Tapi, maksudnya adalah bahwa dia “bersih” dari ilmu jahat, karena lidahnya tidak hitam. Prof. Amiruddin mantan Rektor Unhas, kalau dia menggebrak meja dan marah-marah ketika memanggil para aktivis, artinya “berita baik” karena tidak akan dischorsing. Tapi, kalau sikapnya berkebalikan, pertanda “berita buruk”.Bagi seorang bawahan, penting untuk memiliki ketrampilan membaca bahasa tubuh pimpinan. Ada cerita di jaman Orde baru. Pak Presiden, pergi mancing bersama tiga menteri. Nasib baik, seekor kakap merah berhasil dipancing. Timbul masalah, bagaimana membagi secara adil ikan tersebut. Menteri 1, terkenal jujur, katanya: “dipotong 4 Pak”. “Salah!”. Sergah Presiden. Menteri 2: Bagi dua, Pak. Sepotong untuk kami bertiga, setengahnya untuk Bapak”. “Masih Salah!” Kata Beliau. Menteri 3, yang tekenal selalu minta “petunjuk Bapak Presiden” menyela: “dibagi tiga, Pak. Potongan satu, untuk makan paginya Bapak. Potongan dua, untuk makan siangnya Bapak. Potongan tiga, untuk makan malamnya Bapak”. Nah, itu baru adil” Puji Beliau.

Kamis, 24 April 2008

Tentang Ideologi, Corporate Culture, dan dua ekor sapi


C:\Users\presario\AppData\Local\Microsoft\Windows\Temporary Internet Files\Content.Word\DSC_1006.jpg

Oleh: Dr. M. Idrus Taba

Minggu lalu, seorang teman dari kalangan NGO di Jakarta mengirimkan sebuah Jokes: tentang Corporate culture. Ringkas, padat, dan getir dengan satire. Begini: ada dua ekor sapi, diberikan kepada seorang dengan ideologi berbeda. Hasilnya: Socialisme: satu ekor akan diberikan ketetangganya. Communisme: negara mengambil alih kedua sapimu, dan memberimu 2 kaleng susu. Fascisme: negara mengambil keduanya, dan menjual susu padamu. Nazisme: negara mengambil keduanya, kemudian menembakmu. Capitalisme: beri dua sapi betina, maka akan dijualnya satu, kemudian dibelikannya sapi jantan. Hasilnya: ternaknya bertambah, dan ekonomi tumbuh. Demokrasi Pancasila: dua ekor sapi, beri penataran P4. Hasilnya akan menjadi 36 butir sapi. Sebuah ideologi politik negara akan menjadi dasar pembentukan sistem ekonomi dan bisnis yang tumbuh dimasyarakat. Atas dasar ideologi, yang, walau agak “nyleneh”, seperti Jokes di atas, kemudian akan melahirkan nilai-nilai budaya yang kemudian membentuk corporate culture pada perusahaan. Jokes ini kemudian masih berlanjut. Ketika dua ekor sapi diberikan ke sebuah corporate dari negara berbeda, hasilnya bisa lain.

An American Corporation: kau punya dua ekor sapi, satu dijual, satunya dipaksa memproduksi susu sebanyak empat sapi. Kemudian menyewa konsultan untuk menganalisis mengapa sapinya mati . An French Corporation: kau punya dua ekor sapi, kau turun ke jalan, menyusun massa, memblokade jalanan, karena kau ingin tiga ekor sapi. A Japanese Corporation: kau punya dua ekor sapi, kau mendesainnya ulang hingga bisa menghasilkan 20 kali lipat susu. Kemudian kau buat profil kartun sapi pintar “Cowkimon” dan menjualnya ke seluruh dunia. An German Corporation: dua ekor sapi, kau merekayasanya supaya bisa hidup lebih dari 100 tahun, makan cukup sekali sebulan, dan mereka bisa saling memerah susu sendiri. An Italy Corporation: dua ekor sapi, tapi kau tak tahu dimana mereka. Kau putuskan untuk makan siang saja. An russian Corporation: dua ekor sapi, kau menghitungnya dan berandai bagaimana jika punya 42 sapi. Kau menghitungnya lagi, dan menemukan bahwa sapimu Cuma dua. Kau berhenti menghitung, lalu buka sebotol Vodka. An Swiss Corporation: kau punya 500 sapi, tapi tak satupun milikmu. Kau mengenakan biaya administratif kepada pemiliknya untuk kemudian menyimpannya. An Chinese Corporation: dua ekor sapi, kau punya 300 orang untuk memerah susunya. Kau mengatakan tidak ada pengangguran, dan nilai produksi tinggi. Kau menangkap wartawan yang melaporkan kenyataannya. An Indian Corporation: kau punya dua ekor sapi, kau sembah keduanya. A British Corporation: kau punya dua sapi, kedua-duanya sapi gila. An Iraq Corporation: semua orang berpikir kau punya banyak sapi. Kau bilang Cuma punya satu. Tak ada yang percaya, lalu mereka mengebom dan invasi daerahmu. Kau masih tak punya satu sapipun, tapi setidaknya sekarang kau bagian dari demokrasi. An Indonesian Corporation: kau punya dua ekor sapi, dua-duanya curian. Lalu kau jual keduanya, kemudian kau simpan uangnya di account non budgeter yang tidak jelas. Kemudian kau gunakan beberapa untuk mendanai kampanya Pilkadamu, tapi sebagian besar kau simpan untuk anak cucumu. A Malaysian Corporate: Kau punya dua sapi, dua-duanya kau curi dari Indonesia. A Makassar Corporation: kau punya dua sapi, kau lepas di karebosi, biarkan mereka dagang sapi disana...sudahmi deh.

Jumat, 14 Maret 2008

PERUBAHAN EKONOMI DAN PERSAINGAN GLOBAL

Dr. M. Idrus Taba, S.E.

Dunia saat ini sedang dalam proses perubahan cepat menuju sebuah tatanan ekonomi di abad 21 yang dicirikan oleh ekonomi dan perdagangan serta investasi yang bebas dan terbuka. Lingkungan dan struktur sosial ekonomi dunia telah bergeser jauh dibanding abad sebelumnya. Demikian pula strategi, struktur, dan sistem manajemen organisasi bisnis telah berubah sangat cepat.
Lanskap baru tengah muncul diseluruh dunia bisnis: batas-batas lama ekonomi dan pasar nasional bertekuk lutut kepada globalisasi ketika dinding-dinding kantor tradisional harus menyerah kepada panorama baru yang tanpa batas (borderless). Struktur hirarkis korporasi yang kita kenal sebelumnya yang menyerupai infrastruktur ”elektromekanikal” ekonomi manufaktur telah gugur dan digantikan dengan jaringan kerja horisontal yang lebih ramping yang dimungkinkan oleh adanya infrastruktur digital era informasi. Pola hubungan jangka panjang majikan-pekerja juga runtuh ketika SDM perusahaan itu sendiri terfragmentasi menjadi satuan-satuan baru yang terpisah dan dinamis yang mengubah makna mendasar dari pekerjaan, kesempatan kerja, dan bahkan produk (Devereaux & Johansen,1996).

Terdapat empat paradigma baru yang tengah melanda di bawah permukaan yang menyemburkan larva-larva ”surga ekonomi baru” . Hal ini merupakan isyarat perubahan eksternal: politik, ekonomi, sosial, teknologi, budaya yang menyatu dan muncul kepermukaan dan mengubah kontur dunia kerja, meninggalkan kita dengan pasar baru, institusi korporat baru untuk melayani pasar baru itu, dan pekerjaan baru untuk menghasilkan barang-barang baru bagi konsumen baru dunia. Keempat paradigma tersebut adalah konsumen global, korporasi global, kesempatan kerja global, pengetahuan sebagai produk global.

Konsumen Global
Nyaris tidak ada satupun gelombang ekonomi yang memberi kontribusi paling besar terhadap realitas global baru ketimbang ekspansi eksplosif pasar konsumen kelas menengah dikawasan-kawasan yang sebelumnya berada di luar jangkauan bisnis kecuali beberapa bisnis lokal saja. Negara berkembang, yang sebelumnya terseok dalam kehidupan yang nyaris subsisten, telah melaju dengan memunculkan kelas menengah yang tangguh didukung ekspor dengan demand ekonomi yang meningkat. Efek global ini akan semakin berkembang pada dasawarsa mendatang. Meskipun sebagian besar konsumen kelas menengah (pendapatan $25.000/tahun) masih didominasi Amerika Utara (AS, Canada), Jepang, dan Eropa (Barat), tetapi diperkirakan pertumbuhan besar akan terjadi di Eropa (Timur), Asia (diluar Jepang), dan Amerika Latin. Kawasan ini yang memiliki 18% kelas konsumen global , diproyeksikan tahun 2010 akan meningkat perannya menjadi sepertiga atau 110 juta keluarga berkat laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5%, dibanding pertumbuhan tahunan rata-rata 2% untuk kelas konsumen di negara-negara industri. Jadi dimasa depan, kawasan ini akan menjadi pasar konsumen yang nyaris sebesar pasar konsumen Eropa dan Amerika Serikat saat ini (Sesit, 2002). Menakar fenomena tersebut, apa implikasi bisnis di masa depan?

Pasar konsumen global di masa depan akan menyajikan tantangan disetiap aspek: teknologi, manajerial, bahasa. Tetapi yang paling mendasar adalah mencuatnya multikulturalisme sebagai sebuah fakta kehidupan yang harus dipandang dalam perspektif positip. Hal ini akan menuntut perubahan sikap besar-besaran dari norma-norma monokulturalisme yang menjunjung tinggi keseragaman dan pandangan yang kaku bahwa setiap masalah mempunyai satu solusi terbaik. Hal ini kemudian menjadikan kompetensi budaya sebagai suatu ketrampilan manajemen kunci.

Korporasi Global
Paradigma kedua adalah pada struktur korporasi. Korporasi-korporasi dunia yang hampir duaratus tahun menguasai dunia bisnis, sekarang, ketika teknologi tua yang melayani mereka dan pasar-pasar tua yang mereka layani telah berubah dalam sekejap, raksasa-raksasa tambun bergelambir dan penuh lemak ini telah terjebak dalam efek ”dinosaurus”: mereka tidak mampu bergerak atau berkembang cepat untuk bersaing dengan ”predator” bergigi runcing yang lebih kecil dan lebih cepat dalam belantara global. Untuk bertahan hidup, strategi penciutan radikal, reorganisasi, dan penciutan jaringan kemitraan dan aliansi strategik adalah pilihan logis yang memang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi. Turbulensi ini telah memorak-morandakan semua tata hubungan, kebiasan kerja, dan ikatan majikan-karyawan korporat didunia lama dalam banyak kerancuan, kegelisahan, dan ketakutan besar-besaran. Teknologi dan kekuatan sentrifugal yang diciptakan oleh persaingan dan ekspansi pasar global telah melemparkan fungsi dan misi struktur korporat tradisional jauh dari pusat kekuatan dan pengambilan keputusan strategik. Hirarki vertikal telah mendatar. Manajemen menengah menghilang. Bahkan konsep kantor sebagai ruang-ruang sempit di gedung pencakar langit mulai meluntur ketika para manajer mulai bekerja dalam suatu moda” kapan dan dimana saja”, berhubungan dengan rekan-rekan satu tim dan perusahaan lain melalui jejaring elektronik (e-mail), konfrensi jarak jauh, serta jaringan lokal tapi area yang luas.
Mengingat semakin berkembangnya pasar global dan besarnya tekanan perusahaan global yang lebih kecil, lebih inovatif, dan lincah, tidak mengherankan jika banyak perusahaan transnasional dan multinasional terbesar bergulat untuk membongkar bentuk cetakan mereka melalui strategi downsizing, outsoursing, strategic aliance, joint venture. Kesemuanya ini cenderung mengubah bentuk korporasi dengan mengaburkan batas-batas organisasi dan merampingkan hirarki menjadi suatu pembagian tenaga kerja bukan berdasarkan nama jabatan dan wewenang melainkan lebih berdasarkan keahlian dan pengetahuan spesialisasi. Gelombang penciutan perusahaan di awal 1990-an hingga kini telah menimbulkan kecenderungan untuk menjadi lebih ramping dan berisi. Berbagai survai 1992-2003, menemukan bahwa 40% hingga 65% perusahaan-perusahaan di AS memangkas jumlah SDM mereka. Bahkan, pada industri manufaktur, sudah berlangsung satu dasawarsa, dimulai sejak 1970-an. Industri ”pengetahuan” seperti Apple bekerja dengan 15.000 karyawan (1993) yang terus menurun. Bandingkan dengan IBM yang memiliki 300.000 karyawan. Perusahaan Bioteknologi yang lebih dekat ke lini ”produk” masa depan, jauh lebih kecil. Genentech, yang terbesar, hanya mempekerjakan 2500 orang tahun 2000.

Kesempatan Kerja Global
Paradigma ketiga adalah kesempatan kerja. Restrukturisasi organisasi, pada sisi lain, menyebabkan terfragmentasinya SDM. Suatu fenomena yang meliputi; lebih singkatnya jabatan, beragamnya jenis hubungan pekerjaan yang baru, meningkatnya keragaman budaya dikalangan pekerja. Hubungan majikan-pekerja yang dulunya bisa lama, sekarang menjadi singkat. Pekerja menghabiskan waktu lebih singkat dengan majikan yang lebih banyak berdasarkan tata hubungan kerja yang baru (paruh waktu, kontrak, temporer, negosiasi lainnya).
Dalam jejaring keragaman dan fragmentasi SDM pekerja yang makin rumit dan menjadi ciri bisnis global seperti: peta bahasa, kultur, sejarah, gaya kreasi, tradisi dan hubungan kekaryawanan. Timbul pertanyaan, bagaimana para pekerja saling mengidentifikasi sesama mereka? Bagaimana membangun loyalitas dan komitmen dalam ranah yang begitu licin?. Disini diperlukan pengetahuan dan kefasihan lintas budaya, lintas fungsional, multibahasa yang merupakan salah satu asset paling berharga dalam lanskap manajerial, dimanapun seseorang bekerja; dalam organisasi global, regional, ataupun nasional. Kedepan, para pekerja lebih mengidentifikasi dirinya dengan profesinya, karyanya, pendidikannya, keahliannya, ketimbang dengan majikan mereka. Para pekerja informasi yang semakin canggih akan mengubah hubungan tawar-menawar majikan-pekerja, karena mereka telah memiliki sendiri sarana produksi (pengetahuan dan informasi) dan memiliki akses luas keperalatan itu. Dengan alat komputasi dan komunikasi yang makin ampuh, makin banyak pekerja yang akan memilih menciptakan dan menjual jasa, bukan sekedar menjual tenaganya sebagai pekerja. SDM seperti ini dalam perusahaan akan menjadi asset vital yang akan menjadi tempat bergantungnya harapan masa depan perusahaan besar, jika mereka ingin tetap dalam jalur persaingan dalam lingkungan global.

Pengetahuan Sebagai Produk Global
Produk tanpa-wujud (intangible) seperti gagasan, proses, informasi mulai mengambil alih peran yang makin penting dari perdagangan total dalam pasar global ekonomi informasi dari barang-barang tradisional berwujud (tangible) ekonomi manufaktur. Secara tradisional, alih-pengetahuan atau teknologi baru melintasi batas-batas negara tercakup dalam barang dan jasa yang dijual untuk digunakan disuatu negara asing. Tetapi kini semakin banyak alih pengetahuan terjadi dalam bentuk yang lebih langsung: misalnya dengan mengalihkan fasilitas R&D dan manusia melintasi batas-batas negara. Juga mengalihkan hak untuk menggunakan blue-print atau proses kepada negara tetangga sehingga produsen lokal dapat membuat sendiri produk atau jasa.
Walaupun saat ini pembayaran lisensi atau royalti relatif masih rendah, sekitar 2% dari total perdagangan internasional, tetapi ia tumbuh 75% lebih cepat dari pada perdagangan dunia dan 50% lebih cepat daripada total output dunia selama satu dasawarsa (World Investment Report, 2002). Produsen melihat bahwa adalah lebih efisien untuk mengalihkan gagasan dengan membiarkan negara lain memperoduksi barang dan jasa sedekat mungkin dengan pasar lokal. Disinilah, negara-negara maju yang memiliki basis pada kekuatan ilmu dan teknologi akan menemukan peran dan pengaruhnya yang sangat kuat dalam persaingan ekonomi global. Pendapatan ekspor Amerika Serikat tumbuh 20% sampai 25% penghasilan royalti, lisensi, dan waralaba dari perusahaan multinasionalnya. Per dollar perdagangan, transfer multinasional AS antara lima dan sepuluh kali lipat bersifat teknologi ketimbang Jepang ataupun Jerman (Institute fot The Future, 1999).

Kesimpulan
Jika perusahaan ingin bertahan hidup daalam ketidakpastian yang tidak terelekkan diatas bentangan empat paradigma tersebut, mereka harus mengakui adanya kebutuhan untuk redesign secara fundamental cara-cara mereka berkomunikasi, belajar, dan mengkoordinasikan kegiatan Tim di dalam dan diantara organisasi. Globalisasi bukan sekedar ekspansi. Ini merupakan jagad yang sama sekali berbeda dengan ekologi yang membatalkan semua asumsi lama. Organisasi yang dapat cepat menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baru akan berjaya. Sebaliknya, mereka yang mencoba untuk melakukan segala sesuatu dengan cara lama akan mengalami efek dinosaurus di zaman purba yang mengalami kepunahan.
Bagaimana kita membangun jembatan untuk dapat bertahan hidup di masa mendatang? Bagaimana perusahaan-perusahaan nasional yang tumbuh terlalu cepat, dan dibatasi oleh tradisi, belajar untuk melakukan perampingan, memutuskan hubungan dengan masa lalu, dan melangkahi batas-batas negara dan budaya yang sudah usang?. Tugas ini tergantung pada pemupukan pola pikir yang sama sekali baru tentang konsep pekerjaan itu sendiri, cara pekerjaan diorganisir, apa yang diproduksi dan untuk siapa?. Landasan berpikir ini akan bermuara pada kebutuhan bauran kompetensi (Competence mix) SDM di masa depan yang meliputi:
Kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi keberbagai macam kultur(multikulutralisme). Suatu kemampuan yang dimulai dengan pengetahuan tentang kultur itu sendiri.
Kompetensi teknologi di zaman menjamurnya teknologi informasi dan komunikasi secara cepat, dengan pemahaman mengenai bagaimana mereka dapat diterapkan untuk kerjasama Tim dalam lingkungan lintas budaya yang terdesentralisasi.
Ketrampilan kepemimpinan yang unik (model kepemimpinan transformasional menggantikan model transaksional) yang berkaitan dengan penciptaan dan pelestarian tim-tim bisnis dalam suatu lingkungan global.
Kompetensi seni ”memfasilitasi” yang rumit dan terus berkembang, atau melonggarkan proses-proses yang selalu kompleks dan kadang menyakitkan yang digunakan organisasi dan tim untuk menyelesaikan pekerjaan.

Terakhir, untuk direnungkan bersama. Segala perubahan lingkungan, merupakan sebuah proses yang harus diterjemahkan oleh manusia melalui pembelajaran terus menerus. Dan manusia selalu berhasil mengatasi setiap krisis dizamannya, disejarahnya, karena kemampuannya untuk berubah dan belajar. Belajar dan belajar adalah esensi hidup untuk meningkatkan kualitas kemanusian kita.

ANTAGONISME POLITIK: PERSPEKTIF PILKADA DI SULSEL

Oleh: M. Idrus Taba

Sulsel merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang telah menyelenggarakan Pilkada Gubernur paling eksotis dan menawan di Indonesia. Eksotis, karena memiliki daya tarik luar biasa yang melibatkan emosi masyarakat secara luas. Menawan, karena KPU sebagai penyelenggara berhasil menggiring prosesi tahapan secara sukses, dan masyarakat pendukung kandidat dapat menampilkan kedewasaan berdemokrasi tanpa harus berkubang dalam lumpur berdarah-darah. Juga, para para kandidat, secara khusus Calon terpilih versi KPU Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang yang tetap berada dijalur benar dalam menyikapi masa “injury time” putusan PK Mahkamah Agung yang belum juga meniup peluit akhir pertandingan. Namun disisi lain, mozaik demokrasi di Sulsel juga memberi pelajaran berharga, bahwa putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Pilkada Ulang, mencuatkan kecemasan yang disebut oleh Maurice Duverger (2002) sebagai antagonisme politik dalam tataran sikap dan perilaku individu serta kolektivisme dalam tataran institusi politik.

Antagonisme Politik
Antagonisme politik menurut Duverger merupakan unsur yang paling penting dalam politik; karena antagonisme ada, maka harus ada usaha (berbagai komunitas/kelompok lawan) untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Sudut pandang antagonisme politik, bagi kaum konservati tradisional; adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan untuk menempatkan “elite”-mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan- melawan “massa”- mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah. Artinya, ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan ras-ras inferior yang bisa berpartisipasi dalam proses peradaban hanya dibawah bimbingan ras-ras superior. Bagi kaum liberal, menolak paham tentang ketidaksamaan alami dikalangan kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama seperti perjuangan ekonomi: berebut sumberdaya yang terbatas atas pemuasan kebutuhan yang tidak terperi, dimana setiap orang mencoba meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Disini homo politicus, tidaklah berbeda dengan homo economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama dengan seperti persaingan ekonomi dalam kondisi yang disebut struggle for life. Sedangkan bagi kaum Marxis, antagonisme politik, hakekatnya juga bersifat ekonomis, tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara berproduksi, pada gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial pemilik faktor produksi (kaum kapitalis) yang sangat dominan atas mereka yang hanya memiliki tenaga saja (kaum pekerja). Kaum kapitalis akan mempertahankan terus dominasinya atas kaum tidak berpunya itu yang secara alami akan menolak mati-matian penindasan tersebut. Konsekuensinya, kata Duverger, perjuangan politik disebabkan perjuangan kelas.
Selain ketiga pandangan tersebut, juga ditandai dengan lahirnya teori-teori psikoanalisa yang menjelaskan motivasi psikologis tentang pergolakan-pergolakan politik. Konflik-konflik batin, misalnya, menghasilkan frustrasi yang berkembang kearah kecenderungan agresi dan dominasi. Bahwa homo politicus: keuntungan material dari kekuasaan bukanlah selalu motif utama yang mendorong manusia untuk mengejarnya.

Sebab-Sebab Antagonisme Politik
Secara katagorikal, antagonisme politik dibedakan pada tingkat individu seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologi serta lainnya pada tingkatan kolektif seperti faktor-faktor rasial, perbedaan di dalam kelas-kelas sosial, dan faktor-faktor sosiokultural. Setiap katagori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik. Perjuangan yang berputar disekeliling kekuasaan terjadi diantara individu-individu dalam pertentangan yang bersaing mendapatkan portofolio kabinet, kursi parlementer, pos menteri, berbagai jabatan publik dan sebagainya. Dalam konteks lebih luas, konflik-konflik individual ditingkatkan magnitudenya oleh konflik-konflik universal antar kelompok di dalam masyarakat- ras, kelas, komunitas, lokal korporasi, bangsa-bangsa dan seterusnya. Dua jenis kepentingan perjuangan -individu dan kolektif- menjadi campur baur. Arti pentingnya kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh ideologi politik yang dianut: ideologi liberal terutama mempertimbangkan konflik-konflik individual dan mengabaikan konflik kolektif; ideologi sosialis dan konservatif berbuat persis sebaliknya, yang pertama menekankan konflik-konflik kelas, dan yang kedua, konflik diantara ras-ras atau “kelompok horizontal” (bangsa-bangsa, agama-agama,dan semacamnya).

Antagonisme Politik Pilkada Sulsel
Kerasnya “perlawanan” kubu Asmara untuk tetap menyoal kekalahnnya hingga kepanggung Mahkamah Agung yang membuat tahapan Pilkada memasuki “injury time”, dapat disimak sebagai sebab-sebab individual. Ada dua jenis sebab-sebab individual; pertama, perbedaan di dalam bakat alami manusia yang merasa “lebih berbakat” daripada “orang lain” dan cenderung merasa di atas angin untuk tetap menjamin kekuasaannya. Kedua, tergantung pada kecenderungan psikologis, yaitu kecenderungan untuk tetap menekankan “dominasi dan kepatuhan” kepada lawannya, sementara lawannya kurang dapat menerima kondisi taklukan. Kedua tokoh Sayang dan Asmara berada pada kondisi tersebut.

Bakat-bakat individual/pribadi ini berasal dari faktor-faktor biologis menurut konsep Charles Darwin tentang struggle for life. Menurut Darwin dalam Origin of Species (1859), setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu berhasil. Proses seleksi alam ini menjamin terpeliharanya spesis maupun pemeliharaannya. Tokoh SYL dan HAS, sedang berada di medan struggle for life, karena mereka masing-masing sebagai pemimpin sebuah “koloni” yang memiliki prinsip: kekalahan berarti musnahnya spesis dan koloni. Teori Darwin adalah ekuivalen biologis dari filsafat Borjuis yang doktrinnya tentang persaingan bebas adalah manifestasi ekonomisnya; perjuangan bagi eksistensi dengan demikian menjelman menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Didalam arena politik, dia menjadi “perjuangan untuk posisi utama” (struggle for preeminence) (G.Mosca), dan ini menjadi basis teori tentang Elite: bahwa persaingan merebut kekuasaan akan memunculkan yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah.

Pada kecenderungan psikologis, dikatakan bahwa antagonisme politik akibat dari frustrasi psikologis yang berhubungan dengan konflik dari masa kanak-kanak yang dini yang terkubur dalam alam tidak sadar. Bahwa pengalaman dari masa kanak-kanak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnnya dari seorang individu. Dalam masa kanak-kanak yang dini, orang tua memegang peranan yang sangat penting; seorang pribadi merumuskan dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat melalui mereka. Setelah itu, hubungan orang tua secara tidak sadar mempengaruhi semua hubungan sosialnya yang lain, terutama yang menyangkut otoritas. Kepatuhan pelaku politik untuk tetap berada di jalur hukum dan otoritas pada kondisi yang semakin menyesakkan dan membuka peluang untuk chaos, adalah refleksi psikologis hubungannya dengan orang tuanya. Sebaliknya, kondisi Psikologis pada pelaku politik yang “ngotot” memaksakan “golden ball” pada injury time, adalah prosesi kecemasan dari keterpaksaan atas hilangnya “surgawi” pada masa kanak-kanak yang oleh Sigmund Freud disebut infantile sexuality (seksualitas masa kanak-kanak). Kekuasaan, adalah surgawi yang akan pergi setelah Pilkada. Hal ini sangat mencemaskan. Pengalaman “traumatik” ini akan dibawanya kemasyarakat, dimana dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, “realty principle”, yang berarti dia harus melepaskan kesenangan atau membatasinya dengan sangat keras. Dia tidak lagi menggenggam “rasa ketakutan” orang yang takut dimutasi atau non-job. Dia harus patuh pada peraturan, kewajiban dan larangan yang memaksanya. Konflik antara tuntutan masyarakat dan keinginan untuk kesenangan ini menghasilkan frustrasi yang kemudian menjadi sebab fundamental bagi lahirnya antagonisme sosial.

Dari Antagonisme menuju Integrasi

Integrasi politik tentu menjadi harapan setiap pelaku politik yang sehat. Namun, haruskah integrasi politik dilalui terlebih dahulu oleh jalan “rusak” yang disebut konflik?. Memang ada ambivalensi antara Konflik dan integrasi. Walau berhadapan, tapi keduanya juga saling melengkapi. Antagonisme politik menghasilkan konflik, tetapi, juga sekaligus menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Setiap perjuangan berisikan mimpi tentang perdamaian dan merupakan usaha merealisasikan mimpi tersebut. Memang, selayaknya Konflik dan integrasi, dipandang bukan sesuatu yang berlawanan, tetapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses umum yang sama. Bahwa konflik secara alami akan menuju integrasi, dan antagonisme cenderung - mudah-mudahan- menuju ke arah menghapus dirinya sendiri (self elimination) dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial.

Pilkada Gubernur Sulsel, yang kemudian akan disusul Pilkada Bupati/Walikota, selayaknya dapat membangun pembelajaran politik yang semakin cerdas, berwawasan, dan semakin memperluas partisipasi politik rakyat secara lebih substansial, disamping bentuk-bentuk prosedural yang sudah berjalan. Antagonisme politik yang lahir dalam berbagai bentuk kelompok, simbol, dan ideologi, selayaknya tidak membuat kita berkubang dalam lumpur konflik yang berdarah, tetapi dapat terus melaju kearah prosesi-prosesi integrasi politik, yang berhasil membentuk harmoni sosial-politik yang semakin beradab.

Kamis, 13 Maret 2008

USAHA KECIL BERBASIS KERAKYATAN

Oleh: M. Idrus Taba
(Pengelola Sekolah Demokrasi Jeneponto)

Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 lalu, yang diawali dengan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan krisis moneter telah mengakibatkan suatu efek domino terhadap perekonomian Indonesia. Semua lapisan masyarakat dan hampir semua kegiatan-kegaiatn ekonomi mengalami krisis. Kita dikagetkan dengan runtuhnya satu persatu raksasa konglomerat di Indonesia, yang dari luar begitu kokoh, karena selain usahanya yang ”menggurita” juga jaringan kroninya dengan pemerintah Orba dan Militer, membuatnya seakan-akan tidak akah goyah oleh krisis. Tetapi kenyataan berbicara lain. Usaha besar konglomerasi yang begitu dimanjakan dengan kredit Likuiditas BI, ternyata sarat dengan benang kusut KKN. Kemudian kita dikagetkan pula dengan tetap tegarnya usaha kecil dan menengah menyikapi berbagai badai krisis, dengan tetap survive. Sektor yang ”dengan setengah hati” dibangun oleh pemerintah, sejak Orba hingga Kabinet Pelanginya Megawati saat ini. Walaupun sempat mencuat perjuangan ”ekonomi kerakyatan” ala Adi Sasono dikabinet Habibie, tetapi hanya menjadi ”pelipur lara” sesaat, terkesan elit politik lebih terpesona model kapitalisme, yang mengacu perputaran ekonomi tinggi, modal besar, skill tinggi. Sektor garapan: industri hulu-hilir yang memberikan Return on investment (ROI) tinggi dan cepat. Dibanding sektor UKM yang lebih mengutamakan ”pemerataan” dengan konsekwensi perputaran ekonomi relatif lamban. Keterpesonaan kita terhadap model kapitalisme” seharusnya dapat ditepis dan mencoba ekonomi kerakyatan sebagai sebuah alternatif.
Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru. Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu sumber utama krisis moneter tahun 1997. Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.
Usaha Kecil dan Menengah ( UKM) merupakan ikon ekonomi kerakyatan yang telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia. Alasannya, pertama, ekonomi rakyat telah berjasa dalam menahan krisis ekonomi secara signifikan. Ekonomi rakyat menampung banyak pengangguran yang tergusur akibat krisis (menurut BPS tahun 2000 menyerap 88,7% tenaga kerja). Bahkan ekonomi rakyat, terutama yang berorientasi ekspor dengan bahan baku dalam negeri, menunjukkan eksistensinya yang kokoh di kala krisis. Kedua, secara kualitatif pelaku sektor ekonomi kerakyatan, di mana di dalamnya tertampung koperasi dan UKM, amat tinggi. Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia 99,85% dimana usaha terbesar pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, sisanya baru usaha besar dan konglomerat (0,2%), dengan rata-rata pertumbuhan dari – 7,4% (1997/1998) menjadi 3% (1998-2000).
Dari segi penciptaan kesempatan kerja UKM di Indonesia sangat penting. Di satu sisi, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, sementara dipihak lain , usaha besar (UB) tidak mampu menyerap semua pencari kerja, karena kelompok usaha besar sangat padat modal, pendidikan dengan skill tinggi, dan pengalaman yang cukup. Sedangkan UKM sebagian besar pekerjanya berpendidikan rendah. Data dari Menegkop & UKM (2000) menununjukkan tahun 2000, lebih dari 66 juta orang bekerja disektor UK/UKM atau 99,44% dari total kesempatan kerja di Indonesia.
Ketika krisis menggempur Indonesia sejak 1997, bukan usaha Konglomerat yang menjadi penyelamat bangsa dari kemungkinan chaos yang yang lebih parah, tetapi UK/UKM yang masih memberi darah bagi pendapatan rumah tangga bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Bahkan, menurut ulasan majalah Swasembada, sejak 1990, usaha konglomerat dari pertarungannya di luar negeri hanya berhasil memasukkan devisa sebesar 5% (Swa, 1990).
Walaupun dari sisi lain, kontribusi UK/UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara total relatif masih kecil (39,8%) dibanding usaha besar (60,2%). Namun demikian sumbangan UK/UKM mengalami kenaikan dari 40% (2000) dibanding sebelumnya 38% (1997), dengan kontribusi terbesar masih dari sektor pertanian yang memang ”dikerubuti” UK/UKM sejak dulu. Usaha besar, sangat dominan kontribusinya di sektor pertambangan (90%), manufakturing (72%), listrik, gas, dan air (91%) serta jasa-jasa (64%). Hal ini dikarenakan sejumlah permasalahan seperti produktivitas tenaga kerja yang rendah, biaya transaksi yang tinggi , iklim usaha yang tidak kondusif, rendahnya kualitas SDM, penggunaan teknologi ketinggalan, informasi pemasaran, kekurangan modal, dan keterbatasan bahan baku.

Permasalahan dan Pembahasan
Kondisi UKM di atas sudah menjadi persoalan klasik dan klise, dan sudah dibahas nyaris disetiap pertemuan yang membicarakan masalah UKM serta sudah menjadi ”kalimat standar” disetiap instansi terkait. Tetapi, berkali pula, kita tidak pernah beringsut lebih jauh sejak kemarin.
Penelitian lintas negara di Asia tenggara oleh Akrasanee (1988) menunjukkan bahwa masalah pemasaran adalah termasuk growth constraints yang dihadapi oleh banyak pengusaha UKM, utamanya menyangkut mutu dan kegiatan promosi, persaingan baik pasar domestik lebih-lebih pasar ekspor. Efek aspek pemasaran ini adalah akses ke lembaga keuangan menjadi terhambat. Berbagai aturan main di pasar global, menjadi faktor penghambat lainnya, seperti tata niaga yang diatur WTO, jaringan kerjasama AFTA, NAFTA, APEC, UE serta kesepakatan internasional menyangkut lingkungan hidup dan HAM, monopoli dan politik dumping.
Masalah utama dalam hal Finansial ada dua; mobilisasi modal awal dan akses ke modal kerja dan modal jangka panjang untuk investasi demi pertumbuhan output jangka panjang. Mengharapkan modal sendiri tidak cukup. Sumber dana dari bank melalui skim-skim kredit masih jauh dari harapan karena sejumlah permasalahan: lokasi bank masih jauh dari jangkauan masyarakat, persyaratan masih dirasakan berat, urusan administrasi yang ”bertele-tele” bagi alam pikir pengusaha kecil kita, dan kurangnya informasi mengenai skim kredit.
Keterbatasan SDM juga menjadi masalah sangat serius, dan ”apa boleh buat” bagi kondisi UKM kita. Utamanya dari aspek penumbuhan jiwa entrepreneurship, organisasi dan manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, desain, quality control, akuntansi, data processing, teknik pemasaran dan riset pasar. Walaupun tidak ada data mengenai tingkat pendidikan di UKM, tetapi jika kita menyimak data BPS tahun 2001 mengenai tingkat pendidikan angkatan kerja yang masuk kategori; tidak pernah sekolah, pernah sekolah SD, tamat SD, Tamat SMP, dan Tamat SLTA yang sebesar 90,3%, maka kita sudah dapat mempekirakan kualitas SDM disektor UKM.
Kendala bahan baku, menyeret banyak usaha UKM yang gulung tikar, utamanya ketika masa krisis berat melanda Indonesia. Banyak sentra-sentra industri kecil menengah disejumlah subsektor industri manufaktur seperti sepatu dan tekstil mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya, atau karena harganya yang terkonversi dalam dolar. Contoh lain, tahun 1998, sebanyak 200 pengusaha tempe di Banjarnegara, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat terpaksa tutup karena harga kedelai impor sangat mahal, juga pengusaha rokok di Jawa Tengah berhenti berproduksi karena kesulitan bahan baku. Di Sulawesi Selatan, industri rotan juga mengalami hal yang sama.
Keterbatasan dalam teknologi, adalah suatu hal yang dilematis. UKM selalu dikategorikan dengan teknologi ”sunset” (ketinggalan), manual, produktivitas rendah, mesin tua peninggalan belanda dan sebagainya. Keinginan meraih teknologi tinggi dengan produktivitas tinggi, membutuhkan biaya tinggi dan Skill (SDM) yang juga memadai, serta ongkos pemeliharaan dan pelatihan tenaga kerja agar kemampuannya tidak kedaluarsa serta life cicle teknologi yang serba cepat. Kesemuanya itu, membutuhkan satu kata kunci: modal, yang sedari awal kita sadari bahwa kita tidak punya.
Kearah kebijakan dan Implementasi
Jika menyimak GBHN 1999-2004, terdapat 28 butir arah kebijakan pembangunan nasional, dengan tiga kerangka kerja utama (Menegkop & UKM, 2000):
1. Sistim ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar yang adil, pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas sosial, kualitas hidup, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Di bawah kerangka ini, memberdayakan KUKM menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha yang dilakukan: (a) Sistim persaingan yang adil, (b) peranan pemerintah dalam sistem pasar dan perpajakan, (c) kesempatan berusaha bagi KUKM, (d) kemitraan, (e) peningkatan penerimaan.
2. Penciptaan iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan KUKM sehingga efisien, produktif, dan kompetitif.
3. Peningkatan kapasitas KUKM untuk mampu bersaing di pasar global.

Landasan kebijakan umum di atas sebetulnya telah memberikan arah yang cukup jelas akan pemosisian UKM dalam pembangunan ekonomi nasional. Persoalannya adalah, sejauhmana implementasi ril dilapangan yang dirasakan dan dipersepsikan oleh masyarakat pelaku UKM sudah sejalan dengan arah kebijakan tersebut. Kenyataan mungkin belum berbicara banyak.
Secara makro, kebijakan pemerintah ”masih bingung” mengimplementasikan secara serius dan tidak ditunjang political will para elit politik untuk mewujudkannya. Ada empat alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001, Presiden Megawati, mengungkapkan keraguannya atas konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat. Menurutnya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya belum jelas benar pengertian lingkup, dan isi konsepnya. Bahkan, masih bersifat ”membingungkan” masyarakat. Pernyataan presiden tersebut, sengaja atau tidak, merupakan semacam upaya dekonstruksi (kalau bukan mementahkan kembali) sistem ekonomi kerakyatan. Kedua, perimbangan APBN yang belum berpihak kepada ekonomi rakyat. Hal ini bisa dibaca dari anggaran yang diberikan pada sektor koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang masih amat belum memadai. Urusan koperasi dan pengembangan UKM, hanya tertangani oleh kementerian negara yang ruang geraknya amat terbatas. Belum ditambah lagi dengan pembubaran Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (BPSKPKM) yang memiliki arti penting dalam mengoperasionalisasikan konsep ekonomi kerakyatan. Ketiga, pembaruan paket program kebijakan ekonomi dan keuangan antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF), tanggal 27 Agustus 2001, tampaknya tidak satu pun dari butir kesepakatan yang ada, menyebutkan keinginan untuk memperkuat basis ekonomi rakyat. Keempat, kebijakan pemerintah pun belum pula menunjukkan keberpihakannya pada petani yang merupakan rakyat kebanyakan. Misalnya, dengan melakukan impor 500.000 ton beras dari Vietnam . Pelaku elit politik ditingkat eksekutif dan legislatif belum secara serius menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai basis UKM menjadi media perjuangan dalam sistim perekonomian bangsa. Paradigma ekonomi rente yang terjalin tali-temali antara pemilik modal dari luar, pelaku bisnis usaha besar (UB), birokrat, dan elit politik, lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi yang mempunyai payback period lebih cepat, sehingga lebih menguntungkan secara finansial dan jangka pendek. Tetapi, apa arti ”sebuah jangka panjang” bagi mereka yang menatap hanya sejengkal ke depan. Perjuangan membangun ekonomi yang berbasiskan kekuatan dan kemampuan masyarakat secara rill serta bersumber pada SDA yang dimiliki membutuhkan keberanian, kemauan, dan kerja keras dan mungkin ”agak membosankan” bagi sebagian orang. Kesimpulan
Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil dan menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu daerah harus membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan tingkat daerah sebagai forum koordinasi dan sinkronisasi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. KPK daerah harus mampu mengidentifikasi masalahnya sendiri, memecahkan masalah, melaksanakan program, mengevaluasi dan akhirnya menyempurnakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah, yang tingkat intensitas dan sifatnya berbeda tidak hanya jenis produk atau pasar yang dilayani, tetapi juga berbeda antar wilayah/lokasi, antar sentra antar sektor, subsektor atau jenis kegiatan atau antar unit usaha dalam sub sektor yang sama. Namun terdapat masalah umum, klasik dan nyaris klise yaitu aspek modal, produksi, teknologi, bahan baku, pemasaran, dan SDM. Di tengah kompetisi global yang kerap bertindak ”kejam”, ekonomi kerakyatan, wajib perlu dilindungi oleh negara, bukan malah diterlantarkan. Artinya wilayah yang satu ini (ekonomi rakyat), tak bisa dibiarkan sendirian, dan tertatih-tatih begitu rupa menghadapi kompetisi global. Tidak hanya diperlukan perlindungan dan subsidi yang proporsional, tapi yang lebih penting adalah adanya political will dari pemerintah untuk menghormati dan sungguh-sungguh menegakkan sistem ekonomi kerakyatan. Maka, merupakan langkah mundur, bila pemerintah mencabut political will-nya dalam memajukan ekonomi kerakyatan. Hal ini tampaknya tidak akan menyelesaikan persoalan, justru, dalam banyak hal merupakan bumerang bagi upaya pemerintah memulihkan kondisi ekonomi nasional. Bila pemerintah saja tak mendukung pengembangan sistem ekonomi kerakyatan, lantas, rakyat dibiarkan begitu rupa, maka bagaimana jadinya kelak? Hampir bisa dipastikan, perekonomian rakyat menengah ke bawah akan makin terpuruk dilindas roda kompetisi global yang ”mengerikan”. Bila ini dibiarkan, boleh jadi hanya akan memperbesar biaya sosial yang harus dipikul. Adalah amat fatal bila kebijakan utama pemulihan ekonomi makro, harus menyingkirkan kebijakan ekonomi kerakyatan. Akan lebih runyam kondisinya bila, ternyata kebijakan pemulihan ekonomi makro gagal, sementara ekonomi kerakyatan telah terbengkalai akibat diabaikan keberadaannya.
Daftar Pustaka


Biro Pusat Statistik, 2000
Chossudovsky, Michel, 1997. The Globalization of Poverty: Impacts of IMF and World
Bank Reforms. Penang Malaysia, Third World Network.

GBHN, 1999-2004MacEwan, Arthur. 1999. Neo-Liberalism or Democracy?: Economic Strategy, Marketss, and Alternatives for the 21st Century, Pluto Press. Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2002. A Development Alternative for Indonesia. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press. Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM. Keen, Steve, 2001. Debunking Economics : the naked emperor of the social science. Annandale NSW, Pluto Press Australia Limited. Petras, James & Henry Veltmeyer, 2001. Globalization Unmasked: imperialism in 21st century. New York USA, Zed Books Ltd. Radius Prawiro, 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi. Jakarta, Elex. Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its Discontents. New York, W.W. Norton & Company, Inc.
Swasembada, 1990, Konglomerat hanya menyumbang 5%, Edisi spesial akhir tahun.

BANGSA PENJARAH: Sebuah Warisan Kulltural

Oleh: M. Idrus Taba
Dewan Pendiri Melania Foundation

Kekuasaan, yang mendorong motivasi seseorang untuk bertindak, bukan sex. Begitu setidaknya keluh Bertrand Russel, seorang Philosof dari Inggris, mencoba membantah Sigmund Freud si Pakar Psikoanalisa yang melihat ikhwal sex sebagai pendorong motivasi individu berperilaku. Barangkali Russel betul, atau memang Freud tidak salah. Bahwa Sex dan Kekuasaan bertemu dalam selingkuh paling mesra ketika seseorang atau suatu kaum, memegang palu. Ketika palu tergenggam kokoh di tangan, dan nyaris setiap orang mahfum dan mengamini, maka segala soal dilihatnya sebagai paku. Setidaknya begitu kira-kira seorang George W.Bush dan beberapa cheer leaders-nya: PM Inggris, Presiden Spanyol, PM. Australia, ketika melihat Iraq sebagai paku yang harus dimartir. Walaupun disitu hanya tersisa anak-anak, wanita, orang tua dan serdadu yang berusaha meneriakkan patriotisme, didasar hati yang bimbang.

Sebuah negeri berdaulat telah jatuh. Setelah 12 tahun digerogoti, tepatnya dipaksa secuil demi secuil daging, darah dan tulang anak-anak dan rakyat Iraq dikunyah oleh AS dan dunia atas nama melindungi kemanusiaan dari senjata kuman produksi seorang demagog: Saddam Hussein (yang hingga saat ini tidak pernah ditemukan). Hari itu kita menyaksikan sebuah prosesi penjarahan sebuah negeri secara paling menjijikkan dan memalukan yang dilakukan oleh sebuah negeri ,AS, yang telah memperoleh (setidaknya menurut klaimnya) magna summa cumlaude dalam demokrasi, hak azasi manusia dan penghargaan tertinggi atas nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah negeri yang mengekspor keseluruh dunia produk bersopan santun dalam demokrasi dan hak azasi manusia, khususnya terhadap dunia yang dianggapnya aneh. Ya, negeri yang tak sepaham dengan dirinya dianggap aneh dan perlu dimusnahkan. Sebuah negeri, yang entah dari Tuhan mana dia memperoleh mandat untuk membom, membakar, membunuh rakyat sipil, anak-anak, perempuan, dan orang tua, yang tanpa dibunuhpun telah mengalami pembunuhan sistematis, setidaknya pada 12 tahun masa pengisiolasian Iraq. George W.Bush, yang digambarkan religius, entah mengutip dari Kitab Suci mana, dan suara Tuhan Siapa, ketika memulai pembantaian pukul 5 pagi di Iraq. Waktu dimana rakyat Iraq akan keluar rumah untuk mengais rezeki, atau makanan, dari yang tersisa setelah Perang Teluk I.
Hari ini, kita menyaksikan bahwa sejumlah logika, argumen, dan segala macam doktrin yang coba dibangun Bush dan dinyanyikan ke rakyatnya, kesekutunya, ke PBB, ke dunia bahwa invasi ke Iraq adalah sebuah tugas suci untuk membebaskan rakyat Iraq dari seorang Diktator yang suka bermain senjata kimia, dan untuk melindungi rakyat AS dari potensi ancaman eskternal dan untuk menghilangkan Negara terrorist di dunia, pada akhirnya menemukan wajahnya sendiri pada sebuah cermin kusam yang tidak pernah berubah: Kapitalisme. George W.Bush, atau AS atau Inggris atau Australia, akhirnya tak lebih dari bangsa penjarah. Rampok. Begal. Sebuah kultur warisan dari nenek moyangnya ratusan tahun lalu ketika menjarah tanah dan harta Suku Indian, suku Inca Maya , suku Aborigin, suku Maori, suku Africa, suku mesir kuno. Yang menyisakan kesengsaraan, kemiskinan, dan kepunahan suku bangsa itu di tanah kelahirannya. Suku Indian sekarang tinggal dalam komunitas konservasi di AS sambil menunggu kepunahannya, hari demi hari. Suku Maya di Mexico telah musnah disantap bangsa Spanyol dan portugis. Suku Aborigin, penduduknya mengalami pertumbuhan negative dan menjadi kasta terhina di Australia. Demikian pula suku Maori di Selandia Baru, tidak lebih baik nasibnya dari saudaranya di Australia. Lebih lagi Suku Africa yang tercabik dalam perang saudara tiada batas akibat penjarahan dan politik adu domba bangsa Eropa. Bangsa Mesir masih lebih terhormat karena berdaulat, tetapi tidak lebih dari manekin di bawah tekanan AS dan Israel. Jejak masa silam itu menyisakan sebuah hasil pembelajaran yang dipertontonkan secara massif di abad modern ini.
Sebuah bangsa pemburu proyek pertumbuhan , tak lebih memang. Setelah dengan susah payah mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang megap akibat persaingan global yang semakin ketat: karena ada Uni Eropa dan Jepang sebagai pemain kuat, dan setelah banyak negeri tidak dapat lagi dibodohi dan dipanasi untuk saling perang , maka AS dan sekutunya memunculkan metode baru tapi lama: luluh lantakkan sebuah negeri kaya atau miskin, jejerkan boneka-boneka politiknya, jarah minyaknya atu apa saja yang berharga, dan bagi konsesi proyeknya. Maka pertumbuhan pendapatan Korporat sejumlah perusahaan minyak di AS dan sekutunya akan meningkat. Ingat, pendukung dan Kabinet Bush, sebagian besar bergerak dalam industri perminyakan. Afganisthan di bawah Pemerintahan Taliban, merasakan bagaimana akibatnya ketika sebuah pipa minyak milik perusahaan AS (pemegang sahamnya Bush Senior) di trans Siberia yang akan melintasi wilayahnya tidak diberi izin. Dalam sekejap, Kabul luluh lantak. Dan sebuah pemerintahan Manekin dibangun. Di Iraq, pasca perang, sejumlah Manekin politik juga telah dijejer pada etalase politik negeri malang itu.

Sebuah metode yang agaknya hanya dapat kita pelajari di Text Book, tetapi tidak dapat dipraktikkan. Karena sejumlah faktor pendukungnya hanya dimiliki oleh AS: Negeri kaya, maju, ekonomi kuat, mesin perang canggih, mampu menyederhanakan persoalan (karena dianggap Iraq, atau Negara lainnya punya senjata kimia, punya teroris, maka harus dihancurkan), dan kepekatan hati seorang Presiden (yang otaknya pas-pasan, dan nuraninya terganggu) untuk melakukan pembantaian. Sebuah keunggulan komparartif yang akan menjadi kekuatan AS dalam memainkan persaingan bisnis Multi National Corporation di dunia. Jepang akan terpaksa manut, Eropa akan keder, Rusia, Jerman, Cina, atau Perancis mencoba bermain save, sambil melihat peluang ceruk pasar yang dapat dimasuki. Dunia ketiga yang tidak kaya, akan digantung atau bahkan disembelih terus nasibnya lewat guillotine IMF atau World Bank. Atau membombardirnya dengan issu-issu terorisme, anti demokrasi, anti hak azasi manusia, seperti di Indonesia. Sedangkan dunia Arab yang kaya minyak akan diskenariokan dalam peta-peta proyek Perang Teluk III, IV, V dan title-titel perang lainnya. Untuk menciptakan kesetiaan Negara-negara Arab taklukan seperti Saudi Arabia, Mesir, Kuwait dan para Emir korup di kawasan teluk, maka Anjing Buldog Israel terus dibiarkan menggonggong dan memangsa Bangsa Palestina sehingga tercipta terus menerus ketegangan dan ketakutan di wilayah itu. Ketika Bangsa Palestina melawan dengan intifadah dan Bom bunuh diri, dicap sebagai terrorist. Tapi ketika Israel meratakan tanah penduduk Palestina dan membunuhi rakyat sipil, AS menyebutnya pembelaan diri. AS memang selalu gagal memakai kacamata dengan dua lensa yang sama baiknya.

Apa yang tersisa dari negeri dongeng Bagdag, Iraq? Negeri pencipta mimpi kanak-kanak kita dari cerita seribu satu malam. Negeri permadani terbang yang dikemudikan si Anak Nakal Aladin bersama pacarnya Putri Yasmin dan Jin yang selalu setia menyediakan fasilitas. Tak ada lagi. The game is over kata Duta Besar Iraq di PBB kala itu. Setidaknya ketika menyaksikan patung Saddam dirubuhkan dan diinjak oleh massa yang menari-nari eufhoria sambil mengelukan pasukan invasi. Ketika masyarakat menjarah asset pemerintah, atau harta masyarakat lainnya, hal yang tidak terjadi ketika Kabul jatuh. Ketika chaos menjebak, dan masyarakat menjadi saling curiga dan beringas kemudian saling bunuh. Lalu AS, dengan enteng dan angkat bahu mengatakan mereka tidak bertanggungjawab atas huru-hara itu. Sebuah potret yang sangat muram.
Sementara di sana, jauh di Washington, para perampok telah menggelar hasil jarahannya di atas meja-meja proyek, konsesi, dan kapling otoritas. Sejumlah perusahaan MNC perminyakan yang turut menanam saham dalam Bursa Efek Perang Teluk., telah mengajukan proposal masing-masing atas ladang-ladang minyak dan pembangunan kembali Iraq. Pada akhirnya, memang, substansi invasi AS menemukan wajahnya dicermin yang sama : wajah kapitalisme. Penguasaan terhadap faktor-faktor produksi: modal, tanah, material, manusia, dengan cara mekanisme pasar, atau, cara lain: mekanisme perang. Nun di tanah gersang Iraq, diantara reruntuhan bangunan bercampur butir pasir yang telah lelah menyerap darah anak-anaknya, rakyat Iraq hari ke hari mungkin bergumam: besok, makan apa? Dan para Penjarah juga bergumam sama: Besok, makan siapa? Dan kita tahu, para Koki AS telah menyiapkan bumbu dan material untuk menu esok: Suriah?, Iran?, Libya? Korea Utara?, atau mungkin juga Indonesia?

Amerika Serikat, dengan segala predikat kebesarannya: ekonomi, teknologi, budaya, demokrasi, yang terbangun ratusan tahun lalu dan melalui perjalanan sejarah yang panjang dan mengagumkan, akhirnya dalam tempo 3 minggu di Iraq, dalam sebuah drama musical klasik diatas panggung bersimbah darah, ceceran otak, daging dan tulang belulang manusia, telah mempertontonkan bakatnya yang paling sempurna: Pembantai, Perampok, dan, juga Pembohong.