Rabu, 07 Mei 2008

Body Language

Perhatikan ceritera berikut: 1) seorang istri menegur suaminya, katanya “Daeng, tidak usah menyiram bunga, karena sedang hujan”. Suaminya menyahut:” No, problem, saya pake Jas Hujan”. 2) Seorang murid SD ditanya Gurunya:” Badu, jika Ayahmu pinjam uang 10 ribu, dan sudah dibayar 3 ribu, sisa berapa utangnya?”. “Sepuluh ribu, Bu!” Jawab Badu mantap. “Bodoh amat kau menghitung!”. Sergah Gurunya. Badu menukas kalem:” Mungkin saya bodoh Matematika, tapi Ibu Guru tidak kenal Ayah Saya. Ayahku kalo ngutang tidak pernah bayar!”. Apa yang salah dari komunikasi itu?. Riset menunjukkan bahwa komunikasi yang buruk paling sering disebut sebagai sumber konflik antarpribadi. Karena para individu menghabiskan hampir 70 persen dari waktu kerjanya untuk berkomunikasi, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa salah satu kekuatan yang paling menghambat suksesnya kinerja kelompok adalah kurangnya komunikasi yang efektif. Komunikasi harus mencakup perpindahan dan pemahaman makna. Gagasan tidak berguna sebelum diteruskan ke dan dipahami oleh orang lain. Hanya lewat perpindahan makna dari satu orang ke orang lain, informasi dan gagasan dapat dihantarkan dan dipahami. Persoalannya, pemaknaan- obyek, orang, peristiwa- sarat dengan karakteristik psikologis individu, lingkungan sosiologis, budaya, dan pilihan media komunikasi: verbal, tulisan, dan non-verbal. Media terakhir ini, sering disebut body language communication atau bahasa tubuh. Mencakup gerakan tubuh, intonasi atau tekanan yang kita berikan pada kata-kata, ekspresi wajah, dan jarak fisik antara pengirim dan penerima. Pesan paling penting yang disampaikan bahasa tubuh adalah (1) sejauh mana individu menyukai orang lain dan berminat terhadap pandangan pemikirannya, serta (2) status yang relatif diterima antara pengirim dan penerima.

Jadi, ketika Presiden SBY yang dua kali menegur audiens ketika sedang pidato- pertama, terhadap wartawan yang asyik bicara di Istana Negara, dan kedua, terhadap Bupati yang tidur- justru menunjukkan sejauhmana “minat atau tidak minatnya”, audiens terhadap performance body language skill Presiden ketika bicara yang terkesan datar, terjaga, dan minim ekspresi. Akibatnya, ada empati yang putus. Rasa haru yang tetap nyenyak disanubari, dan, bulu kuduk yang tidak merinding untuk meneteskan airmata. Ada status yang tertolak. Bagi si wartawan dan si Bupati: bahwa verbalisme dan body language “si pengirim”, menthok, dikeasyikan “bicara sendiri” dan “tidur mendengkur”.

Seorang Pemimpin, perlu membangun karakter khas bahasa tubuh yang mengalir dan diterima oleh orang atau masyarakat receiver. Ada`komunikasi tubuh yang universal, berlaku dalam masyarakat luas. Ada pula yang khas, kontekstual, dan lokal. Dagu terangkat, mulut terkatup, dan mata memicing, artinya angkuh. Melipat kedua tangan, maksudnya tidak berminat. Badan dicondongkan, artinya saya menyimak. Memegang dagu, mungkin dia ragu. Tapi, memegang telinga, sambil menunduk saat bicara, kemungkinan dia bohong. Duduk menyilang kaki, sambil bersandar, maksudnya: saya berkuasa. Tapi, duduk dan melipat kaki disertai melipat tangan, merasa betapa tidak amannya dirinya. Mengangguk, bisa berarti ya, atau mungkin “saya mengerti”. Ada sebuah suku di pedalaman Tahiland, jika senang pada tamunya, akan menjulurkan lidahnya keluar. Bagi sebagian orang, itu menghina. Tapi, maksudnya adalah bahwa dia “bersih” dari ilmu jahat, karena lidahnya tidak hitam. Prof. Amiruddin mantan Rektor Unhas, kalau dia menggebrak meja dan marah-marah ketika memanggil para aktivis, artinya “berita baik” karena tidak akan dischorsing. Tapi, kalau sikapnya berkebalikan, pertanda “berita buruk”.Bagi seorang bawahan, penting untuk memiliki ketrampilan membaca bahasa tubuh pimpinan. Ada cerita di jaman Orde baru. Pak Presiden, pergi mancing bersama tiga menteri. Nasib baik, seekor kakap merah berhasil dipancing. Timbul masalah, bagaimana membagi secara adil ikan tersebut. Menteri 1, terkenal jujur, katanya: “dipotong 4 Pak”. “Salah!”. Sergah Presiden. Menteri 2: Bagi dua, Pak. Sepotong untuk kami bertiga, setengahnya untuk Bapak”. “Masih Salah!” Kata Beliau. Menteri 3, yang tekenal selalu minta “petunjuk Bapak Presiden” menyela: “dibagi tiga, Pak. Potongan satu, untuk makan paginya Bapak. Potongan dua, untuk makan siangnya Bapak. Potongan tiga, untuk makan malamnya Bapak”. Nah, itu baru adil” Puji Beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar