Jumat, 26 September 2008

PERSEPSI

Serombongan Politisi sedang Kunker ke desa. Nasib malang, mobil rombongan terbalik. Penduduk desa ramai-ramai menolong dan selanjutnya melapor ke polisi. “Berapa orang legislator yang korban” Tanya Polisi. “semuanya berjumlah 20 orang . Yang meninggal langsung, 15 orang. Tapi, ada lima orang yang masih merintih minta tolong bahwa mereka masih hidup”. Jawab penduduk. “Lalu, dimana korban yang masih hidup itu”. Tanya Polisi. “Ooh, sudah kami kubur juga Pak. Bapak kan tahu, bagaimana politisi kita kalau ngomong. Bilangnya masih hidup, padahal dia sudah mati. Jadi kami tidak mau tertipu lagi”. Jawab penduduk mantap. Apakah penduduk itu salah? Tidak. Itulah hasil dari sebuah persepsi.
Sebuah persepsi, kata Robbins (2005), adalah bagaimana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan, dengan inderanya, untuk menanggapi lingkungan realitasnya. Akibatnya, banyak persepsi yang jauh dari realitas, seperti korban kubur paksa politisi kita di atas. Memang, kata robbins, pertengkaran dan konflik manusia, lebih banyak berkubang di persoalan persepsi, bukan pada realitas itu sendiri. Seorang yang mengendap di luar rumah pada jam dua malam, dipersepsikan pencuri. Padahal, mungkin saja, dia sedang cari kodok untuk digoreng swiki.
Dalam studi organisasi, persepsi individu, dipengaruhi tiga factor: sipemersepsi, situasi, dan target/obyek. Pertama, Sipemersepsi, punya attitudes, motives,interest, dan expectation yang beda pada setiap orang. Attitudes yang negative thingking, memang selalu salah tanggap. Pria brewok dan wanita cantik muntah, dikira teler dan hamil. Motives,adalah alasan dasar tanggapan. Sumbernya dari kebutuhan. Kalau saya butuh jabatan manajer, maka segala hal tentang manajer menjadi sudut pandang melihat sesuatu. Demikian pula Interest dan expectation berlebihan akan fasilitas sebuah jabatan, sering melahirkan frustrasi melihat realitas yang jauh berbeda.

Hal kedua, factor situasi. Waktu, setting pekerjaan dan lingkungan social juga turut mempengaruhi. Pagi, siang,sore dan malam sering memberi tanggapan yang berbeda-beda. Bahkan Batman, punya kata bertuah”malam, tidak pernah bersahabat dengan orang-orang baik”. Setting pekerjaan, yang memiliki tensi tinggi, rendah, longgar dan ketat, bukan Cuma membuat beda tanggapan, tetapi bahkan mempengaruhi karakter, jika berlangsung Spartan dan permanen. Apalagi, jika settingnya berlangsung dalam sebuah lingkungan social, yang sarat dengan nuansa sosiologis: struktur, strata, symbol, prestise, trah. Tidak heran, jika sapa-menyapa di organisasi Pemerintahan berlangsung dalam setting sosiologis ini. Seorang bawahan bisa merasa sangat tertekan, ketika dia lupa menyapa pimpinannya dengan “Puang, Karaeng, atau Andi” saat bicara. Atau Pimpinan yang kemudian melihat karyawannya akan gagal mencapai kinerja, karena tidak mengindahkan lagi “nilai-nilai lama”.

Ketiga, persoalan target atau obyek itu sendiri. Obyek baru, lama, tua, muda, besar, kecil, dekat, jauh, dan latar belakang obyek berada atau berasal, akan menghasilkan tanggapan yang multi. Penyair Goenawan Mohamad dan Umar Kayyam, ketika pertama kali menginjak New York menyimpulkan: “New York, sebuah kuali besar, tempat jutaan manusia menggelegak didalamnya”. Atau anda, ketika masih culun, saat baru diterima kerja, maka CEO perusahaan dibayangkan sebagai: orang sangat besar, wibawa, dengan suara bariton. Walau, yang muncul kemudian, adalah sosok Goblin, makhluk petugas Bank dalam cerita Harry Potter. Ketika pertama kali ditugaskan mengajar di Papua, saya harus membaca ulang buku Geografi anak saya tentang Papua. Sebuah hal baru, visi baru, pengalaman baru, pada sebuah obyek yang baru. Ternyata, memang banyak yang beda dalam persepsi saya. Persepsi penting dipahami karena dapat berseberangan jauh dengan realitas sebenarnya. Padahal, realitaslah yang mestinya dibereskan. Jangan sampai karena salah persepsi, kita harus kehilangan lima anggota legislator yang dikubur paksa masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar