Senin, 29 September 2008

Distorsi Sosial hubungan antar manusia


Disebuah pesta, seorang wanita yang dandanannya sangat menor, Nampak sangat dominan diantara para tamu. Nyaris setiap orang disapanya: kenal atau tidak, sembari tertawa mengikik, yang, justru sangat menganggu tamu lain. Seorang lelaki, sejak tadi memperhatikan sambil menahan kejengkelannya, dan tak lupa berdoa: semoga wanita itu cepat menemukan “sapu lidinya” dan segera terbang. Karena sudah tidak tahan, lelaki itu lalu berbisik kepada seorang tamu disampingnya:”Eh, Bung. Siap sich, wanita itu. Gayanya sangat menjengkelkan. Sudah jelek, bertingkah pula!”. Dengan suara memelas, orang itu menyahut:”Maaf, Pak. Dia itu Istri saya”. Kontan lelaki itu gelagapan, dan menimpali cepat: Maaf, Bung. Maksud saya, wanita yang disampingnya. Itu. Lho yang gemuk”. Tamu itu, kembali menyahut lebih memelas:”Oooh, kalau yang itu, anak saya”. Katanya Sambil ngeloyor pergi. Apa yang menarik, ion sinisme, ketidaksukaan, rasa jengkel kita terhadap orang lain? Walaupun orang itu tidak kita kenal, atau, tidak menciderai kita? Hubungan antar manusia (human relation), merupakan satu genre peralihan dalam studi manajemen (1930-1940), dari studi organisasi klasik era Henri Fayol (1900-1940) ke studi organizational behaviour. (1940 an-sekarang).
Baru-baru ini, Daniel Goleman, penulis buku emotional intelligence, kembali mengkaji Social intelligence: sebuah revolusi tentang hubungan antar manusia. Menjawab pertanyaan mengapa tamu itu terjebak dalam kejengkelannya. Menurut Goleman, jangan-jangan kita bagian dari “tiga serangkai kelam”, yang mendistorsi empati kita kepada orang lain: sebuah kodrati untuk memperlakukan manusia sebagai manusia. Tiga serangkai kelam itu adalah: Narsisis, Machiavellian, dan Psikopat.Ketiganya punya kesamaan: berniat jahat secara social, berniat menipu, egosentris dan agresi, serta sikap dingin secara emosional.
Narsisis, orang yang melihat dirinya sebagai pusat dunia, didorong satu motif; mimpi akan kejayaan. Sebenarnya, mereka innovator-inovator bisnis, yang digerakkan oleh unsur penghargaan istimewa dan kejayaan. Namun, sering tanpa peduli, berapapun biaya manusianya. Empati mereka selektif: musuh dan bukan musuh, atas dasar membantu dia atau tidak. Menutup perusahaan atau PHK, tanpa simpati dan penyesalan akan penderitaan karyawan. Tidak punya pride, harga diri, rentan terhadap kritik, abai terhadap feedback. Serakah untuk meraup segalanya, sebagai manifestasi kekuasan dan kejayaan.
Machiavellian (Tipe Mach), dari nama tokoh penciptanya: Niccolo Machiavelli, seorang pakar politik, penulis Sang Pangeran yang terkenal dengan “sabdanya”: tujuanku menghalalkan caraku”. Seorang tipe Mach, bisa saja tampil memikat di depan bosnya, atau klienya. Tapi ketika kembali kelingkungan anak buahnya, dia berubah jadi tiran kecil: menindas, mencekal, mengebiri, mengecilkan prestasi orang lain. Orang tipe ini, wawasannya tentang kehidupan dipenuhi dengan sikap sinisme pada apapun yang terjadi. Bakatnya tercermin dalam:daya tarik yang dangkal, licik, kalkulatif, arogan, dan amat ingin bertindak dalam cara yang merusak kepercayaan serta kerjasama. Tidak suka membangun hubungan emosional, melihat orang dalam perspektif utilitarian—sesuatu yang bisa dimanipulatif untuk kepentingan pribadi. Mungkin saja mereka bisa sukses dengan gaya manajerial: jilat atas, sikut kiri-kanan, dan tendang ke bawah. Namun dalam jangka panjang, akan menaggung resiko hancur, karena pola hubungan yang buruk itu. Empati mereka bervisi terowongan: bisa merasa empati pada orang, karena bermaksud memanfaatkannya. Sikap dingin ini didasari kegagalan dalam memperoses emosi—baik dalam dirinya, lebih-lebih pada orang lain. Melihat dunia dalam kerangka rasional dan probabilistic. Hampa dari emosi, juga kosong secara etis dari kepedulian manusia. Seperti pembunuh berantai, sebagian diri mereka telah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar