Jumat, 25 Desember 2009

Pop Culture

Saya ditawari buah merah dari Papua. “Obat ini mujarab. Mampu mengeluarkan semua penyakit dalam tubuh” Kata teman meyakinkan. “Tapi tidak termasuk kecerdasan saya juga ikut tersedot keluar, kan?” Kataku ragu. Seberapa takluk kita akan penyeragaman-penyeragaman massif dilingkungan keseharian kita?: obat, mode, fast food, restoran, olah raga, pendidikan, life style, orientasi politik, pilihan tokoh dan sebagainya. Masihkah kita hadir sebagai individu dalam kesadaran eksistensial, atau lebur dalam massa ketidakpastian? Dominic Striniti dalam Popular Culture: An Introduction to theories of popular culture (1995) menyebut, pop culture, kebudayaan yang dibuat untuk kepentingan melayani budaya konsumsi yang didukung teknologi informasi . Pop culture, ditentang kaum aufklarung, karena individu lebur dalam massa dan rasionalitas berkubang dalam kenikmatan. Kaum analitik menyorot penyeragaman langue. Aliran feminisme berang karena pengekalan stereotipisasi yang merugikan kaum perempuan. Persoalan substansinya adalah: masih ada atau berkuasakah masyarakat dalam budaya pop?. Pengalaman popular lahir dari dua kekuatan utama: budaya konsumsi dan dukungan teknologi informasi baru. Persepsi realitas, keinginan, kehendak, dan perilaku kita menanggapi lingkungan adalah atas kehendak konsumsi dan media yang didukung ideology kapitalisme. Maka, budaya pop kemudian lahir dalam lenggak-lenggok pencitraan iklan. Serigala dipoles jadi domba. Seringai ular, ditekuk menjadi senyum malu-malu kucing. Tikus got, Jadi hamster yang menggemaskan. Koruptor, dikemas jadi hero, atau ramalan dukun suku primitive jadi nubuat akhir zaman pada film 2012. Baudrillard melukiskan situasi ini sebagai implosion. Penyatuan manusia dalam satu kawah, yang meledak ke dalam: batas tradisi, geografi, bangsa, ideology, kelas untuk menjadi luluh cair. Sehingga yang tersisa hanyalah massa ketidakpastian, karena batas-batas identitas yang selama ini memberikan rasa aman dan pasti tercerabut, terbongkar. Batas-batas baru ini bergantung bagaimana suatu kelompok sosial dihadirkan menurut kemauan media.
Massifikasi dan penyeragaman konsumsi tersebut merupakan bagian dari kehendak capital dalam bentuk Strategi bisnis nasional hingga global. Proses Kapitalisasi massif ini telah “mengutuk” masyarakat dalam kurungan massal atau rasa. Konsumtifisme terus digelorakan. Semua cara akan dihalalkan (machiavellianisme) untuk mencari pasar baru, mengembangkan pasar lama, mempertahankan pasar yang ada. Bisnis adalah mesin cetak yang mengunyah masyarakat jadi: ikon, sign, brand…

Hamlet

De omnibus dubitandum!, Segala sesuatu harus diragukan, kata Rene Descartes. Bahkan ketika Hamlet, si Peragu, berseru kepada Ophelia:”doubt thou the stars are fire; doubt the sun doth move; doubt truth to be a liar; but never doubt I love (Shakespeare, Hamlet). Memang segala hal dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu (termasuk pernyataan ini). Sampai kemudian kita menemukan kebenaran. Dan kebenaran, adalah pernyataan tanpa ragu. Keraguan, timbul karena kita tidak yakin bahwa itu benar. Kalau begitu, bagaimana cara agar kita tahu bahwa sesuatu itu benar? Ada dua cara. Pertama, paham idealisme. Bahwa fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip yang kemudian jadi pengetahuannya. Prinsip itu sudah ada. Untuk mengetahuinya digunakan kemampuan berpikir rasional. Lewat penalaran rasional, didapatkan bermacam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu, tanpa ada konsensus bagi semua pihak. Karena setiap orang beda-beda cara nalarnya, apalagi yang agak telmi (telat mikir). Cara kedua, paham empirisme. Bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran, tapi lewat pengalaman kongkret yang tertangkap indera manusia. Misalnya: kalau mendung, mungkin turun hujan. Besi dipanaskan, akan memuai. Kejendut rokok, kulit melepuh. Pengamatan ini, secara konsisten benar, akhirnya menjadi pengetahuan yang digeneralisir dan diterima semua orang. Tetapi, disamping kedua cara itu, ada juga cara lain yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi, pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang, yang mumet otaknya karena utang, tib-tiba plong!, ada jalannya: ketika sedang semedi di toilet dan dengar bunyi plung!. Maslow, menganggap intuisi sebagai peak experience, sedang bagi Nietzsche sebagai intelegensia paling tinggi. Wahyu, tentu saja pengetahuan yang menjadi campur tangan Tuhan dalam tradisi kenabian. Agama, kemudian menjadi pengetahuan yang terjangkau pengalaman manusia, juga pada hal-hal yang bersifat transendental: asal muasal manusia, kiamat, surga-neraka. Disinilah bedanya pengetahuan dan agama. Agama, dimulai dengan percaya, selanjutnya bisa tambah percaya, atau menurun. Ilmu, dimulai dengan ragu dan tidak percaya, diakhiri dengan yakin atau tetap pada pendirian semula, sambil menunggu munculnya keraguan baru. So, kalau secara rasional dan empiris, Tim 8, BPK dan suara publik sudah mengatakan ada rekayasa dan kriminalisasi KPK, Markus, Mafia peradilan, serta perampokan Bank Century secara sistemik, sehingga lampu kita byar-pet, mengapa kau masih ragu Hamlet?

Avatar

Jika seorang taipan, bicara success story imperium bisnisnya, hal itu sudah lumrah. Tapi, kalau ngomong filsafat, itu baru mencengangkan. James Tjahyadi Riady (JR), putra Mohtar Riady, pemilik imperium Lippo Group, berceramah di Unhas pada Jumat, 21 Agustus lalu, dalam topic:”issu-issu globalisasi dan pendidikan tinggi”. Sejumlah Issu disampaikan:: perubahan paradigma keilmuan, teknologi virtual, pluralism/multikulturalisme, radikalisme agama, blok ekonomi, neoliberalism, dan sebagainya. Issu ini, memiliki akar filsafat yang sering tidak disadari. Padahal, akar filsafat akan menentukan cara berpikir dan bertindak yang melahirkan sejumlah kebijakan. Termasuk munculnya isu-isu global dan pendidikan di atas.

Paradigma pemikiran filsafat modern, setelah era Yunani Klasik, dapat ditelisik pada Sembilan paradigma: renaisans, rasionalisme, empirisme, pencerahan, idealisme, konservatisme/anarkhisme, positivism, materialism, dan eksistensialisme awal, hingga saat ini menuju post modernisme. Disetiap era, ada zeitgeist (ruh zaman) yang diyakini yang menajadi paradigm bersama para akhli saat itu., Filsafat Renaisans/humanism, tokohnya, antara lain: Machiavelli, Bruno, Bacon. Inti ajarannya, melepaskan pengaruh Ilahi atas manusia. Sentral realitas adalah manusia. Filsafat Rasionalisme, memunculkan Descartes, Spinoza, dan Pascal, sebagai tokoh pemikir utamanya. Mereka Justru memandang akal pikiran adalah “Tuhan”: cogito ergo sum”(aku berpikir maka aku ada). Empirisme. Pemikirnya, Hobbes, Locke, Hume. Bahwa pengetahuan, hanya sahih jika bersumber dari pengalaman (empeiria), di luar dari itu, bukan pengetahuan. Jadi, Tuhan itu nihil untuk dibincangkan oleh ilmu pengetahuan. Keempat, zaman Pencerahan (aufklarung), dengan tokohnya Voltaire, Montesquieu. Rasio merupakan cahaya baru menggantikan iman kepercayaan, mengantar pada kebenaran dan kebahagiaan manusia. Idealisme, dengan tokoh utamanya yang terkenal Immanuel Kant. Bahwa kenyataan akhir yang sungguh nyata itu adalah pikiran (idea), bukan materi diluar pikiran. Sesuatu ada karena diidealkan. Aliran Positivisme dari Auguste Comte. Bahwa pengetahuan yang benar hanyalah yang factual. Jadi: metafisika, moral, teologi, estetika…tidak sahih. Ilmu ekonomi termasuk positivisme. Materialisme: Marx, Feuerbach. Bahwa kenyataan yang sungguh nyata adalah materi. Kesadaran dan pikiran, hanya gejala sekunder dari proses material. Kau tidak bisa berpikir semangkuk coto, kalau cotonya tidak pernah ada. Eksistensialisme: Heidegger, Sartre. Manusia “keluar” melihat dirinya menjadi “ada”, sadar akan keberadaannya sebagai subyek terhadap obyek sekelilingnya. Akar berpikir filsafati ini, menjadi dasar sistem pengetahuan abad modern, dan juga, sistem pendidikan kita. Jadi, bagaimana berharap lahir orang pintar yang percaya Tuhan, kalau akar berpikir filsafati seperti ini?

JR, merasa dirinya bukan lagi sebagai pebisnis yang berasset 125 M US$. Tapi sebagai Avatar, Sang Messiah dengan sejumlah misi spiritual: membangun manusia utuh di tiga jalur: Keluarga, Sekolah, dan Sistem keagamaan.

Jumat, 21 Agustus 2009

Blood Money

24 maret 2003, empat hari setelah Invasi AS dan pasukan koalisi membantai Irak, saya menulis artikel ke Fajar, tapi tidak diterbitkan: Bangsa penjarah: Sebuah warisan cultural (Refleksi Setelah Iraq Jatuh). Tiga point penting saya kemukakan: pertama, serangan AS, bukan motif politik, tetapi ekonomi energy minyak. Sama halnya, ketika Afganistan dibombardir karena proyek gas lintas Siberia yang dihalangi Taliban. Kedua, invasi itu, merupakan implementasi strategi bisnis gaya “hawkis” di bawah CEO Bush untuk membuka arena pasar baru. Ketiga, serangan itu, adalah gaya baru sebuah prosesi penjarahan, mengulang sejarah nenek moyang bangsa Eropa, ketika menjarah: Inca Maya Mexico, Suku Indian Amerika, Africa, Mesir, Australia, Selandia Baru, Asia Tenggara, hingga penjarahan VOC di Indonesia. Saya membuka kembali arsip artikel saya, ketika membaca buku yang ditulis oleh T. Christian Miller :Blood Money; Wasted Billions, Lost Lives, and Corporate Greed in Irac, 2006. Miller, seorang wartawan investigative yang bekerja untuk Los Angeles Times di Biro Washington. Sarjana Universitas California, Berkley ini, telah meliput empat perang, satu kampanye presiden, dan 24 negara di lima benua.
Bagi Miller, Invasi AS 2003 ke Irak, adalah sebuah Megaproyek. Setelah pembantaian yang meluluhlantakkan negeri Aladin itu, aneka Infratsruktur dan struktur tidak berfungsi. Olehnya itu, butuh pembangunan kembali. Agenda “Irak Baru” inilah, output dari Business strategic sejumlah MNC dan kontraktor di AS. Melibatkan sejumlah kontraktor kelas kakap AS dan negara koalisi seperti Inggris, Australia, Spanyol, dengan berbagai spesifikasi dibidangnya. Ada tender senjata, infrastruktur social-ekonomi, sarana dan prasarana pemerintah, hingga penyedia akomodasi bagi pasukan koalisi dan tentara bayaran untuk pengamanan proyek. Jatuhnya tender miliaran dolar kepada perusahaan tertentu tidak lepas dari praktik KKN dan perselingkuhan: pebisnis, kontraktor, politisi dan birokrat di AS dan Irak. Sementara itu, Blue Print pembangunan dilapangan beda jauh. Penggelembungan dana terjadi disemua proyek. Ketika perusahaan dan kontraktor meraup untung, rakyat Irak tetap terbelenggu dalam kemiskinan, kelaparan, perang saudara, terror bom, dan kehinaan. Proyek penumbangan Saddam, yang diklaim Bush untuk menegakkan demokrasi dan keadilan, akhirnya tak lebih dari sebuah business strategic dalam lanskap: Neoliberalisme dengan membungkusnya dalam kemasan : terorisme, senjata biologis, anti demokrasi, anti HAM, dan sejumlah anti lainnya, bergantung kebutuhan. .

Kamis, 25 Juni 2009

Bandit Ekonomi

Bandit Ekonomi
Oleh: M. Idrus Taba

Tidak banyak orang yang mau mengakui dirinya Bandit. Seperti pernyataan Presiden Nixon, ketika tersangkut Watergate “I’m not a crook”. Satu perkecualian adalah John Perkins. Setidaknya ketika kita membaca bukunya The secret history of The American Empire. Perkins, menamakan profesinya “Bandit ekonomi”. Sebuah gelar, karena, keahliannya pada dua hal. Satu, membuat laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada dunia ketiga. Dua, membangkrutkan negara pengutang. Kalau utangnya sudah menggunung, negara ditekan agar tunduk pada AS, wilayahnya dijadikan pangkalan militer, atau, melego ladang-ladang minyaknya di bawah kendali MNC (Multinational Corporation) milik negara barat, bahkan hingga mendukung seorang capres pada sebuah pemilu. Dia mulai jadi bandit ekonomi sejak 1971. Berkeliling Asia, Afrika, dan Amerika Latin menawarkan kucuran utang. Indonesia, wilayah jarahan pertamanya. Presiden Nixon, ketika itu, mengibaratkan Indonesia sebagai real estate terbesar di dunia yang harus dijarah minyaknya, sebelum Uni Sovyet dan China masuk. Strategi yang dipakai adalah ancaman komunisme dari Sovyet dan China. Padahal ujung-ujungnya: penjarahan ekonomi. Melalui rekomendasi Perkins, World Bank dan IMF kemudian mengucurkan utang, tetapi, 90%nya, disalurkan ke kontraktor-kontraktor AS untuk membangun berbagai proyek raksasa: jalan raya, energy listrik, pelabuhan, bendungan. Cerita di zaman Orba ini kemudian masih berlanjut. Perselingkuhan korporat dengan birokrasi negara yang “kleptokrasi” ini menjadikan sebuah gurita raksasa bisnis dalam lanskap “Korporatokrasi”. Inovasi dari model VOC Kolonial ala Belanda kemudian Kapitalisme abad-19 akhirnya bermetamorfosis menjadi Neoliberalisme. Banyak contoh bisa diangkat. Kongkalikong korporatokrasi dan kleptokrasi pada proyek PLTU Paiton I dan II yang nilainya 3,7 milyar $ AS. Harga listriknya, lebih mahal 60% dibanding Filipina, dan 20 kali lebih mahal dari AS. Dananya dari ECA (Export credit agencies) dimana 15,75% sahamnya dimiliki kroni Soeharto. Setelah reformasi, negosiasi ulang mengharuskan Indonesia , selama 30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dolar AS/kWh, walau kemampuan kita cuma 2 sen dolar/ kWh. Ya, utang lagi..utang lagi. Dan listrik kita tetap byar pet.
Adanya wacana kemandirian ekonomi dengan konsep ekonomi kebangsaan atau kerakyatan bukan hal mustahil. Soekarno, sejak tahun 1951, membekukan konsesi bagi MNC melalui UU No.44/1960. Jadi, kalau ada calon pemimpin bangsa yang sangat takut dengan kemandirian ekonomi, dan memilih menjadi “anak manis” di depan tekanan korporatokrasi, neoliberalisme, dan tekanan AS, menurut Perkins: Bandit!.

Jumat, 19 Juni 2009

Multikultural
Oleh: M. Idrus Taba
Sebuah artikel menarik Kathryn Young, mengupas soal manajemen multikultural pada manajer generasi baru di Indonesia. Paham pluralisme (ideology) dan multikulturalisme (implementasi), yang saat ini sedang trend, menarik dilihat dalam praktik dan kebijakan di dunia bisnis indonesia. Dimana sebetulnya ranah pemusatan budaya dan yang memungkinkan timbulnya kesalahpahaman manajer kita ketika bekerja dengan orang asing: barat atau asia.
Menurut Adler (1986), seorang manajer yang ingin bekerja pada budaya berbeda, perlu mempelajari tiga pola interaksi rumit pada budaya. 1) nilai (penilai mendasar untuk apa yang dianggap baik atau jahat , dapat atau tidak dapat diterima) 2) perilaku (nilai ekspresi yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak atau bereaksi dengan berbagai macam cara ) dan 3) perangai ( berbagai bentuk tindakan manusia). Hasil survey Young menunjukkan, pertama, jika manusia dari berbagai budaya berinteraksi, perbedaan di antara mereka menjadi tegas. Kedua, menerima persamaan daripada perbedaan akan memungkinkan kepuasaan pada hubungan kerja. Ketiga, semakin besar perbedaan budaya, semakin besar kemungkinan hambatan komunikasi akan timbul dan kesalahpengertian akan terjadi. Pola interaksi semakin mengeras jika perbedaan menjadi titik sentral hubungan. Padahal, justru, dengan menerima persamaan katimbang perbedaan akan meningkatkan kepuasan kerja. Namun, di sisi lain, besarnya perbedaan budaya, akan menghambat komunikasi. Sementara, salah satu factor pemicu konflik adalah distorsi komunikasi. Olehnya itu, membangun komunikasi terus menerus, akan memperluas wilayah “ketahuan”, dan akan semakin menemukan”kesamaan” dalam hiruk-pikuk multikulturalisme. Budaya manajemen Indonesia, secara khas digambarkan Hofstade (1983): kolektivitas lebih utama dibanding individualitas. Pada jarak kekuasaan: Indonesia nyaman dengan bentuk hirarkis/otokratis. Cenderung tengah dalam menghindari ketidakpastian. Lebih feminis katimbang maskulinitas. Disimpulkan bahwa manajer Indonesia dapat bekerja pada lingkungan bisnis multikultural. Bahwa gaya manajemen Indonesia dapat menggabungkan nilai Asia dan Barat dengan tetap mempertahankan unsur kuat dari budaya Indonesia asli. Pemahaman terhadap perbedaan dan persamaan budaya penting dalam menapak lingkungan global multicultural sebagai sebuah realitas dalam kehidupan.
“pagi hari, tidak hanya kita dapat membedakan pohon ara dan persik. tapi juga untuk mengenal sesamamu, dan menerima perbedaan sebagai rakhmat ilahi. Jika tanpa itu, maka hingga jam berapapun, hari masih malam...

Rabu, 27 Mei 2009

PERTARUNGAN IDEOLOGI EKONOMI
DI ARENA CAPRES: SBYNOMICS Vs JKNOMICS
Oleh M. Idrus Taba

Seorang nelayan di Pulau Barranglompo bertanya kepada saya:”apa yang dimaksud ekonomi neolib dan ekonomi kerakyatan?” Sebagai seorang ekonom dan akademisi, pertanayaan ini mudah saya jawab. Kesulitannya adalah, karena yang bertanya seorang nelayan yang tingkat pemikirannya sederhana. Hal ini membutuhkan “pembumian”jawaban yang mudah dipahami. Saya tidak menjawab dikotomi keduanya, tapi memberinya contoh. “Jika Barrang lompo diberikan oleh pemerintah, bantuan dana bergulir 100 juta kepada 100 orang masyarakat untuk diputar agar dana tersebut produktif, maka ada dua cara untuk melakukannya. Pertama, uang 100 juta rupiah kita bagikan kepada 100 orang, sama rata. Maka, setiap orang dapat satu juta rupiah. Tetapi, pemerintah (sebagian besar) yang mengatur dan menentukan cara mengelola uangnya, mengembangkan usahanya, dan membayar utang.. Cara kedua, kita pilih lima orang kaya yang kuat modalnya, usahanya, jaringannya dan sudah dikenal oleh pemerintah. Uang 100 juta dibagikan kepada 5 orang “kuat” tersebut untuk memutar dana besar itu agar bisa menghasilkan tingkat pengembalian yang besar dan cepat. Tanpa diganggu, bagamana cara mengelola uang tersebut. Kalau ekonomi 5 orang ini tumbuh besar, maka diharapkan, usaha mereka akan memberi kucuran kepada 95 orang lainnya dan kepada pemerintah, berupa pajak. Cara ini disebut trickledown effect, yang jadi “azimat” pada masa Orba dulu, sehingga lahirlah Konglomerasi gurita didunia bisnis. Cara pertama, kita sebut ekonomi kerakyatan atau sosialis, dan cara kedua dinamakan liberal-kapitalis. Kata neoliberal, yang artinya liberal baru, adalah upaya liberalisme untuk merebut kembali kekuasaan atas pasar bebas, ekspansi modal, dan globalisasi di tangan penguasa capital ini, dengan memperlebar arenanya, bukan hanya pada kelembagaan ekonomi pasar saja, tetapi juga merambah ke kelembagaan non-pasar (nonmarket institutions) diluar bidang ekonomi. Nelayan itu manggut-manggut, tetapi mungkin maksudnya dia tambah tidak paham.

Cara pertama, walau diamanahkan dalam UUD 45, tetapi secara makro dan pilihan ideologis ekonomi, kita belum pernah memilihnya. Walaupun Soekarno tahun 1966, pernah mengemukakan istilah “demokrasi Ekonomi” yang dapat dianalogkan dengan ekonomi kerakyatan, tetapi gagasannya lebih berat kemuatan politiknya ketimbang ekonominya. Bahkan hingga lengsernya Soeharto, dan jejeran Presiden sesudahnya: Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, belum ada Presiden yang tertarik akan ideology ekonomi kerakyatan. Kalau hanya sebatas retorika, negeri ini sudah bisa tenggelam oleh “busa janji”. Sebaliknya, cara kedua, paling digandrungi oleh para presiden terdahulu, utamnya di era Orde Baru, ketika kita memulai pembangunan Repelita tahun 1969. Sistem ekonomi yang dianut saat itu dan sekarang, jelas adalah liberal-kapitalis. Walau kita berusaha menepisnya dengan mengemukakan bahwa sistim ekonomi Indonesia bukan etatisme-terpimpin dan juga bukan liberal-kapitalis. Sehingga secara berseloroh, Frans Seda pernah mengatakan bahwa sistim ekonomi Indonesia adalah sistim ekonomi serba bukan.

Pertarungan calon Pilpres saat ini antara tiga pasang Capres/Cawapres, telah mencoba menyeret ideology ekonomi ke ranah politik. Pasangan SBY-Budiono, dikonotasikan sebagai penganut sistem liberal-kapitalis (neo-lib), sedang dua pasangan lainnya JK-Wiranto dan Mega-Prabowo, lebih ke ekonomi sosialis, yang dilunakkan sebagai ekonomi kerakyatan atau kebangsaan. Pertanyaannya adalah: apakah berbagai isme-isme ideology itu masih hidup? Apakah penerapan dalam kebijakan ekonomi akan sangat berbeda?

Ideologi Ekonomi

Pertarungan ideology sangat marak di abad ke-19. Berbagai pikiran besar yang mendasari lahirnya ideology yang kita kenal saat ini , banyak lahir di masa itu. Sebut saja : Dialektika Hegel, Materialisme Feurbach, Historis-materialisme Marx dan Engel, Utilitarianisme dan Hedonisme Bentham dan Mill, Kebebasan dan individualisme Spencer dan Sumner, Hukum alamiah dalam masyarakat Grotius, Struggle for life Darwin, dan nasionalisme Mazini. Ideologi politik ini kemudian banyak mempengaruhi pembentukan ideology ekonomi. Contohnya, filsafat kebebasan individu, harmoni kepentingan, hedonisme dan utilitarian, mendorong lahirnya ideology ekonomi pertama yang lazim disebut Economic Liberalism, atau ideology ekonomi laissee-faire yang dibangun Adam Smith, David Ricardo, Malthus dan Jean Baptise Say. Sebaliknya, faham-faham sosialisme yang sudah muncul sejak abad ke-14, melalui pemikiran Owen, Proudhon atau Saint-Simon, kemudian dipertegas secara radikal melalui “sosialisme ilmiah” dari Marx, Hegel dan Engels yang lahir pada Abad ke-19 pula. Namun ketika memasuki abad 20, terjadi penurunan gagasan-gagasan politik dikalangan intelegensia barat, sehingga kemudian muncul anggapan “berakhirnya era ideology”. Walaupun, hal tersebut lebih melemah di Barat, tetapi dikawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin, justru mengalami pasang naik.

Ketika terjadi resesi ekonomi 1930 yang dikenal dengan The great depression, maka era laisess faire yang menganggap pemerintah tidak perlu campur tangan, telah berakhir. Gagasan Keynes tentang perlunya campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi permintaan dengan demikian dapat menimbulkan pengaruh terhadap kesempatan kerja, adalah paku terakhir pada peti mati laissess faire. Sejak itu, sistem ekonomi campuran (mixed economy) yang dilanjutkan Paul A.Samuelson dan Kenneth Galbraith, dijalankan. Persoalannya, sejauhmana campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi, tetap menjadi perdebatan. Kapitalisme ini, untuk membedakan kapitalismenya AdamSmith dkk, disebut Kapitalisme modern atau kapitalisme dewasa (matured capitalism). Pemerintah, masyarakat, ilmuwan ekonomi maupun social, kemudian lebih mempercayai ilmu pengetahuan yang bebas mencari kebenaran dan kegunaan, daripada percaya doktrin-doktrin ideology. Umumnya masyarakat tidak perduli, apakah ideology yang berlaku adalah kapitalisme atau yang lainnya.
Di sisi lain, ideology sosialisme atau marxisme, yang meramalkan “runtuhnya kapitalisme” dan lahirnya “masyarakat tanpa kelas”, ternyata tidak terbukti. Walaupun sejumlah negara sosialis tumbuh seperti Uni Sovyet, China, Yugoslavia, dan Eropa Timur, tetapi masyarakat tanpa kelas tidak pernah terjadi. Yang lahir justru adalah tumbuhnya negara totaliter yang teknokratis dengan semangat nasionalisme sempit yang jauh dari angan-angan Marx. Fenomena ini kemudian melahirkan sejumlah paradoksal. Negara-negara Eropa Barat yang sukses dalam pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemakmuran yang merata, mengatakan bahwa sosialisme telah tercapai disitu, tetapi menganut ideologi liberal-kapitalis. Sebaliknya, China, yang menganut ideology Marxis-fundamentalis, perekonomiannya sangat kapitalis. Rusia, sejak runtuhnya Uni Sovyet, sudah kapitalis. Sebaliknya, Amerka Serikat di era Barrack Obama, justru semakin sosialis, dengan banyaknya campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi swasta pada krisis global. Jadi, sistem ekonomi yang dianut AS bukan lagi murni kapitalisme. Setidaknya hal ini ditegaskan Robert Heilbrouner dalam The Decline of Business Civilization, yaitu dengan masuknya mekanisme perencanaan ekonomi dalam perusahaan swasta raksasa maupun pemerintah yang makin mengatur jalannya perekonomian. Indonesia, yang menyatakan sistem ekonominya adalah “demokrasi Ekonomi” (sebuah sistem yang khas Indonesia), sejatinya kalau merunut pasal 33, 34, dan pasal 27 ayat 2 UUD 45 adalah ekonomi sosialis, tetapi kenyatannya, kita sangat terperosok pada sistim liberal-kapitalis. Dualisme ini ditandai dengan hadirnya ratusan perusahaan BUMN yang “sangat negara” dan “gurita konglomerasi” yang sangat kapitalis. Namun demikian, pada tataran kajian, saat ini, para teoritisi maupun praktisi, lebih berorientasi pada ekonomi positip yang ditandai dengan semakin melemahnya pada doktrin-doktrin ideology. Kloningisasi berbagai ideology yang kemudian diuji dengan kenyataan empiris tentang kebenaran dan manfaatnya, akhirnya menghasilkan sistem ekonomi campuran (mixed economy) yang dianut oleh hampir semua negara di dunia. Dalam pandangan ekonomi politik, keempat isme: kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan ekonomi campuran (mixed economy) dapat dipetakan sebagai berikut.

Paradigma dan Sistem Ekonomi Politik
No
Sifat Dasar
Kapitalisme
Sosialisme
Komunisme
Mixed Economy
1
Pemilikan
Individu
Industri dasar milik negara, sisanay individu
Seluruhnya milik negara
Individu dan negara
2
Inisiatif pembentukan badan usaha
· Individu
· Partnership
· Korporasi
· Usaha bersama pada industry dasar dan individu lainnya
Negara
Individu dan negara
3
Inisitaif ekonomi
· Keuntungan sebagai motif utama
· Motif ekonomi dan non-ekonomi
Insentif terbatas
Ekonomi, social politik, dll
4
Mekanisme pembentukan harga
· Pasar (supply dan demand)
· Pemerintah/birokrasi
Negara
Birokrasi
Hukum Pasar
5
Kompetisi atau persaingan
· Eksis
· Ada, bila negara berkeinginan
Tidak ada
Ada, atau bisa tidak ada
6
Struktur organisasi
· Desentralisasi
· Semi sentralistik
Sentralisasi penuh
Desentralisasi
7
Inisiatif kegiatan
· Materialistik
· Sosialistik
Untuk ideology
Gabungan
Sumber: Rachbini, 2006

Karakteristik Kebijakan: “SBYnomics, JKnomics/Meganomics”

Jika (diasumsikan), SBY-Budiono akan cenderung memilih ekonomi Neolib, sedangkan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo akan lebih cenderung ke bentuk ekonomi sosialisme kerakyatan, maka karakteristik kebijakan ekonominya kelak (jika terpilih memimpin republic ini) juga akan cenderung menganut dasar ideology sistem tersebut.

Kebijakan Ekonomi Neoliberalisme
Pertama, Sistem ekonominya berdasar Kapitalisme abad ke-19. Menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Penentu utama kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri. Kedua, Mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang berkuasa. Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah. Ketiga, Menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestic. Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Keempat, Memangkas anggaran publik untuk layanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah (seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang). Kelima, deregulasi terhadap berbagai hambatan dan hukum perdagangan.. Keenam, privatisasi, dimana aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”.
Kebijakan Ekonomi Kerakyatan/Sosialisme
Pertama, sistem ekonominya berdasarkan pada demokrasi ekonomi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 45 yaitu: 1) Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. 2) Kemakmuran masyarakat yang paling utama, bukan perorangan maupun golongan. 3) Asas perekonomian pada kekeluargaan (sosialisme), bukan persaingan bebas. 4) Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. 5). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dengan demikian, privatisasi terhadap produksi vital, bertentangan dengan sistem ekonomi kerakyatan. 6) Hanya perusahaan yang tidak menguasai hayat hidup orang banyak boleh diswastanisasi.7) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini merujuk pada pengelolaan SDA seperti pertambangan, pengelolaan hutan dan laut yang dijadikan sebagai kekuatan tawar untuk kemakmuran rakyat. Kedua, sumber utama kekuatan yang dibangun adalah pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu, sistem monopoli, dalam berbagai bentuk apapun harus ditolak. Keempat, keberpihakan pemerintah secara penuh kepada rakyat, bukan pada kekuatan ekonomi asing atau konglomerasi domestic. Sikap presiden Bolivia Eva Morales dan Venezuella, Hugo Chaves, dalam menasionalisasi pertambangan di negaranya merupakan bukti keberpihakannya pada rakyat. Kelima, meningkatkan anggaran public untuk layanan social, seperti pendidikan dan kesehatan. Kuba, sebagai contoh, salah satu Negara sosialis terbaik dalam pelayanan kesehatannya.
Si Nelayan, semakin mengangguk dalam. Mungkin, dia sudah yakin, dalam Pilpres nanti, dia akan memilih siapa.

Senin, 04 Mei 2009

ANGKA


Ada cerita yang dapat membedakan, antara tujuan (goals) dan Angka statistic. Dua orang Profesor ahli statistik, sedang menunggu kereta di peron. Saking asyiknya cerita, mereka tidak menyadari kalau kereta yang ditunggu sudah tiba, bahkan telah bergerak pergi. Kontan saja, kedua Professor lari lintang-pukang memburu kereta. Hasilnya: hanya satu yang berhasil melompat ke atas. Seorang penumpang di peron, kebetulan mantan mahasiswa si Profesor datang menghibur. “Prof, walaupun ketinggalan kereta, tetapi secara statistic, anda telah berhasil 50%, karena satu dari dua orang, berhasil naik kereta”. Si Professor menyergah:”Secara statistic memang berhasil. Tetapi, secara tujuan, gagal. Karena yang mau berangkat saya. Teman saya itu cuma mengantar”. Tujuan dan angka statistic, jadi acuan yang terus dipelototi di banyak organisasi yang mematok target dan kinerja: produksi, penjualan, pemasaran, biaya, nilai saham, inflasi, pertumbuhan dan seterusnya. Dalam dunia bisnis, angka yang kuat dari hasil sebuah merger, akuisisi, aliansi, trust, holding, amalgamasi, kartel, adalah sebuah sinyal bahwa sebuah persenyawaan berbagai unsur harus dilanjutkan. Karena tujuannya sangat jelas: profit. Namun, dalam ranah politik, justru bisa lain. Signifikansi angka yang diperoleh Partai Demokrat di atas Partai Golkar, justru melahirkan sebuah perceraian SBY dan JK. Angka, telah membuat nanar mata para “owners” dan “CEO” partai Demokrat untuk membuang koalisi lama dan mencari “merger” baru. Seolah angka adalah representasi mutlak sebuah perpsepsi social politik dan kondisi psikologis masyarakat terhadap hanya “seorang tokoh”, dan bukan “tokoh lainnya”. Keberhasilan seorang CEO, seperti Lee Iacoccoa pada Chrysler, Bill Gates pada Microsoft di dunia bisnis, karena ditunjang orang-orang cerdas dan kuat disekitarnya yang dapat menerjemahkan dengan baik ide-ide besar menjadi operasional, dalam bahasa yang “jelas dan lugas”. Atau, seorang Lee Kwan Yu, Bapak Singapura, ketika membangun Singapura dari sebuah rawa dan pelabuhan nelayan, dikelilingi oleh “petarung-petarung” lapangan sebagai “transporter” ke rakyat. Angka-angka capaian Partai Demokrat, yang direpresentasikan sebagai cermin ketokohan SBY, seharusnya tidak melupakan bahwa ada seorang tokoh yang bernama JK, sebagai petarung, transporter, dan pekerja yang berani bergumul di pekerjaan yang “berlumpur” dan mengerikan seperti: konflik Aceh, Maluku, Poso dan meyelesaikannya dengan bukan darah. Esensi demokrasi ada disitu. Kualitas seorang CEO sekaligus Negarawan pada diri JK, bukan hanya sekadar sebuah angka, tetapi pada substansi tujuan.

Jumat, 03 April 2009

Jokes dan Refleksi Politik: Tertawa disecangkir kopi pahit

Jokes dan Refleksi Politik: Tertawa disecangkir kopi pahit
Oleh: M. Idrus Taba
Suatu pagi, Leonid Brehznev Perdana Menteri “mantan” Uni Sovyet, sedang santai di teras Istananya, di Kremlin. Tiba-tiba ada yang menyapanya:” Selamat Pagi, Kamerad Brehznev”. Brehznev terkejut dan menengadah ke atas, rupanya dia disapa oleh Matahari pagi. “Selamat pagi juga, wahai Matahari yang cerah”. Balas Brehznev. Siang hari, dia disapa kembali:”Selamat Siang, Kamerad Brehznev”. Brehznev senang:”Selamat siang juga, wahai matahari”. Sore hari, Brehznev kembali menunggu sapaan matahari. Tapi hingga hampir petang, tidak ada sapaan. Brehznev naik pitam lalu berteriak ke atas:”Hei, Matahari, Mengapa kau tidak menyapaku lagi”. Matahari membalas:”Brengsek kau, sekarang saya sudah di barat!”. Anekdot politik itu menggambarkan, pertarungan AS dan Uni Sovyet di era perang dingin. AS dan Barat yang kapitalis melawan Uni Sovject dan Eropa Timur yang komunis. Barat adalah perlambang kapitalisme, kemajuan, modernitas dan kebebasan. Sedang Timur adalah keterbelakangan, komunisme dan penindasan. Pertarungan mereka hingga ke wilayah jokes, memberikan pembelajaran yang cukup berarti pada dunia politik di Indonesia. Dalam konteks politik di Indonesia, seberang-menyeberang ke partai lain seperti kutu loncat, atau pecahnya “bulan madu” pasca Pemilu—Bupati Gubernur, Presiden dengan Wakilnya—telah menjadi fenomena pada mozaik politik kita saat ini. Kemesraan dalam masa pacaran pra Pemilu menjadi berantakan ketika “ayatul kursi” mulai diperebutkan dan zona-zona kekuasaan pada kue jabatan dan proyek akan dibagi. Refleksi jokes dalam perspektif demokrasi dan politik kita di atas adalah salah satu dari sekian banyak yang bisa ditertawakan, tentu didasar hati yang cukup pedih.

Menyoal nasionalisme bangsa yang semakin mengabur di era globalisasi, tetapi secara paradoksal justru mencuatkan semakin menyuburnya nasionalisme Sara ala Balkan, juga mengilhami para joker dunia mengangkatnya sebagai tema. Dimata Sovyet, warga muda AS memiliki nasionalisme yang tipis, melalui jokes berikut ini. Dua penyusup di wilayah Sovyet tertangkap KGB. Keduanya tidak mau mengaku, siapa diantara mereka yang warga AS, walau telah dipaksa dengan siksaan. Lalu dihadirkan seorang Sosiolog sebagai interrogator. Dengan tenang, si Sosiolog cuma menyuruh keduanya menyanyikan Lagu Kebangsaan AS. Ketika seorang diantaranya tidak hapal, langsung dipastikan dia Warga AS. Hal yang sama, dalam kasus yang mirip, pernah dialami oleh Prof. Edi Swasono, menantu Bung Hatta, ketika mengajar Ilmu Bumi Ekonomi di Universitas Indonesia. Beliau menyebutkan 10 daerah di Indonesia, dan mahasiswa disuruh menyebutkan letaknya dimana, misalnya Pare-Pare dan Toraja diantaranya. Dari 30 mahasiswa, hanya empat orang yang dapat menyebut tiga dari 10 secara benar. Ternyata, di benak orang Jakarta, Indonesia hanya seputaran Jabotabek. Nasionalisme kebangsaan yang seharusnya kita tuju untuk dibangun, saat ini mendapat ujian berat, ketika desentralisasi menjadi euforia di daerah yang mengedepankan nasionalisme SARA yang lebih mononjol. Keberingasan di daerah dalam ranah politik, dibungkus dengan kulit tebal sara dan lokalisme, dengan mengabaikan pertimbangan rasional lainnya. Maka percikan konflik dalam berbagai perhelatan kenduri demokrasi dan politik di daerah, tinggal menunggu waktu saja untuk meledak. Dan ranah yang paling subur dan cepat menuai panen konflik adalah SARA.

Pers AS, yang sering gagal memakai kacamata dengan lensa yang sama dalam memandang sebuah peristiwa, terutama menyangkut Islam, juga turut bertanggungjawab atas suburnya sentiment ini.. Pers bebas, pers yang memihak pada kebenaran, tetaplah sebuah entitas bisnis dalam sebuah tekanan environment politik dan psikologis budaya masyarakatnya. Tidak terkecuali di AS. Benturan peradaban Barat dan timur (Islam) seperti tesis Huntington salah satu contohnya. Di New York, Seorang anak, dikejar anjing gila. Dalam kondisi yang terdesak dan sangat berbahaya, tiba-tiba muncul seorang lelaki, dengan ciri-ciri Timur Tengah: pakai sorban, berjangggut lebat, dan berjubah gamis. Dengan sekali tebas, anjing itu terlempar dan mati. Anak itu selamat. Orang-orang yang berkerumun memberi pujian. Muncul wartawan New York Times mewawancarai. Besoknya, berita di Koran berbunyi:” seorang anak kecil dikejar oleh teroris Arab: bersorban, berjanggut, dan berjubah gamis. Untung, seekor Anjing, dengan tangkas menyelamatkan anak itu”.

Multikulturalisme dan pluralisme sebagai nilai-nilai yang menjunjung tegaknya demokrasi, juga sarat dijadikan tema-tema jokes, khususnya di Negara multirasial seperti AS. Kulit hitam di AS, sering dijadikan santapan ejekan jokes politik di Uni Sovyet yang menganggapnya sebagai sebuah noda sejarah bangsa Anglo Saxon. . Misalnya, seperti ini.. Konon, AS sudah menyiapkan penyerbuan ke Sovyet. Untuk memperoleh data akurat, diperintahkan CIA, dinas rahasia AS memata-matai. Untuk itu, CIA menyiapkan dan melatih agennya selama berbulan-bulan untuk menyusup ke Kremlin. Seluruh bahasa di Sovyet sudah dikuasainya. Ketika Agen disusupkan, langsung ditangkap oleh KGB, dinas rahasia Sovyet. Dengan heran si Agen CIA bertanya:”Kamerad, bagaimana anda langsung tahu, bahwa saya bukan orang Sovyet?”. Dengan kalem, agen KGB menjawab:”Mudah saja. Di Sovyet tidak ada orang Negro!”. Refleksi ejekan ini juga bisa menyebar ke rapuhnya institusi seperti CIA, yang memang terbukti terlalu dibesar-besarkan akurasi analisisnya. Contoh ketika Perang Teluk II di Irak. Hingga saat ini, senjata pemusnah yang diklaim AS dimiliki Saddam Hussain, tidak pernah terbukti. Kekonyolan AS menjadi konsumsi ejekan di seluruh dunia.

AS yang memiliki perusahaan-perusahaan MNC dengan manajemen modern yang sangat efisien dengan kualitas produk terbaik, menjadikan tema utama untuk mengejek perusahaan di Sovyet.. Dia membalas dengan Jokes lain. Kali ini, mengejek perusahaan BUMN di Sovyet yang sarat dengan korupsi dan output produk yang bermutu rendah. Pemerintah Sovyet memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada sebuah perusahaan Korek Api Sovyet, karena berhasil menggagalkan sebuah operasi sabotase yang dilakukan CIA di kompleks instalasi militer Sovyet. Konon, kegagalan CIA, karena ketika akan membakar sumbu peledak dengan menggunakan Korek Api buatan perusahaan tersebut, tidak ada satupun yang menyala, walau sudah habis berkardus-kardus. Pada kasus BUMN di Indonesia, jokesnya bisa begini: BUMN kita, walau monopoli, tapi terus merugi. Namun, anehnya, mereka bisa bagi-bagi bonus. Sebuah keajaiban scientifik dalam terapan financial management.

Dalam hal kekerasan institusi Negara terhadap warganya, Indonesia, termasuk salah satu Negara yang memiliki reputasi yang cukup mencengangkan, sejajar dengan Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin, khususnya ketika merujuk pada peristiwa penumpasan komunisme dulu. Kita pernah dikonyolkan dimasa rezim orde baru dengan sebuah jokes sarkasme. Konon, dalam sebuah penggalian arkeologi, ditemukan fosil di Mesir. Persoalannya, para arkeolog tidak bisa menentukan berapa usia fosil. Seluruh ahli arkeologi dunia berkumpul. Tapi, tidak satupun yang akurat menebak usia fosil dan bisa diterima bersama. Indonesia, yang mengirim seorang prajurit berpangkat Sersan, mengajukan diri. Tentu saja dia ditertawakan. Tapi, ketika si Sersan berduaan dengan fosilnya di kamar, terdengar jeritan keras fosil:”usiaku, tigaribu tahunnn..! Para arkeolog kagum dan bertanya: “Bagaimana metode anda, sehingga fosilnya mengaku?”. Si Sersan menjawab bangga:”Mudah saja, saya cabut kukunya!”

Euforia masyarakat pasca runtuhnya rezim orde baru dan menyongsong era reformasi, membuat sebagian menjadi kalap “demokrasi”. Segala hal berbau kebebasan disantap dengan lahap. Termasuk, ideology Pancasila, yang seolah sudah lupa dimana “petinya” kini diletakkan. Juga, ketika kita tergagap dan serabutan mengamandemen UUD 1945 dengan sangat tergesa-gesa. Jokes berikut mungkin dapat merfleksikan kondisi psikologi masyarakat kita. Ceritanya begini. Suatu pagi, di masa Orba, Presiden keliling istana. Dia berjumpa seorang Ibu mendorong kereta bayi. Ketika Presiden mendekat, ternyata kereta itu berisi seekor bayi kucing yang masih merah, dan dilehernya tergantung secarik kertas bertuliskan “Kucing Pancasila”. Presiden bangga melihat fanatisme rakyatnya terhadap ideology yang dianut. Dia memberinya hadiah. Keesokan harinya, mereka bersua lagi. Presiden memberinya lagi hadiah. Hari ketiga, ketika mereka bersua kembali, ternyata tulisan dileher kucing itu sudah tidak ada. Presiden bertanya: “mengapa tulisan dilehernya dilepas”. Si Ibu, menjawab: “Kucingnya sudah melek, Pak Presiden. Dia telah memilih ideologinya sendiri”. Indoktrinasi dan pemaksaan sebuah sebuah ideologi yang telah berubah wujud jadi dogma, bahkan, kitab suci kedua pada sebuah bangsa, tanpa member ruang untuk revitalisasii nilai-nilai baru, kadang malah membuat rakyat kehilangan elan vital nasionalisme sejatinya. Sebuah jokes yang mengundang rasa pahit terjadi di Uni Sovyet dulu.. Perdana Menteri Brehznev berkunjung kesebuah sekolah Taman Kanak-Kanak. Dengan suara lantang, Dia bertanya:”Anak-anak sekalian, siapa Bapakmu!?”. Serentak anak-anak menyahut: “Komunisme!”. Presiden senang, lalu bertanya lagi: “Lalu, siapa Ibumu?!”.Politbiro Partai!”.. Presiden semakin senang. “Kalau besar, mau jadi apa!?” Tanyanya lagi. ”Jadi anak yatim-piatu!!” Teriak serentak anak-anak.

Kebebalan otak seorang Presiden Reagen, menjadi sorotan pula, selain tentunya, Bush Junior. Mendengar informasi dari CIA bahwa Grenada, Spanyol akan diserang Komunis, Reagen memerintahkan agar menerjunkan pasukan dengan dalih menyelamatkan demokrasi. Wapres Mondale bertanya:” Tuan Presiden, Grenada itu dimana?”. “Cari di Peta, dong. Mungkin Afrika, atau bisa jadi di manaaaa, gitu.” Masyarakat AS yang terbiasa berpikir dan melihat dalam lanskap besar, konon, pengetahuan Geografinya sangat rendah. Bagi mereka, dunia ini adalah Amerika Serikat. Jadi, seringkali mereka heran, ketika ada orang yang tidak sama dengan cara pandang mereka: misalnya Saddam Hussain, Ahmaddinejad, Khadaffi, Kim Jong Il dan sebagainya.

Soal HAM dan Demokrasi yang sering dicap paling payah di Uni Sovyet, Amerika Latin, Afrika dan sebagian Asia, juga dijadikan bahan ejekan oleh AS, yang mengklaim dirinya sebagai pendekar Demokrasi dunia. AS pernah mengejek Sovyet tentang Demokrasi dan HAM. Konon, suatu hari, Panglima Angkatan Laut Republik Chad, Afrika Tengah, berkunjung ke Sovyet. Perdana Menteri Sovyet, dengan heran bertanya:”Seingat saya, Chad tidak punya laut. Untuk apa ada Panglima Angkatan Lautnya?”. Panglima AL Chad menjawab:” Saya juga heran, untuk apa ada Menteri Kehakiman di Sovyet?” Kalau di Indonesia, ceritanya lain lagi. Keperkasaan KPK sebagai lembaga super body mengkeretkan nyali banyak koruptor. Seorang pejabat sedang dicukur. Tukang cukur bertanya:”Pak, saya dengan KPK memanggil Bapak ya?”. Si Pejabat menepis: “Ah, tak perlu kau tanya itu”. Selang setengah menit, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, saya dengar, status Bapak sudah tersangka Ya?”. Si Pejabat jengkel: Akh, diamlah kamu. Itu bukan urusanmu!”. Dua menit kemudian, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, saya dengar status Bapak sudah tertuduh oleh KPK”. Si Pejabat naik pitam lalu membentak:”Eh, mengapa sih kamu terus bertanya. Apa urusanmu?”. Si tukang Cukur menjawab: soalnya, Setiap kali saya sebut KPK, rambut Bapak berdiri sehingga mudah digunting”.

Persoalan sogok-menyogok, juga menjadi konsumsi banyolan paling laku keras di Indonesia. Misalnya, seorang pejabat yang ketika meninggal dunia, sulit dikafani karena kedua tangannya tetap terbuka seakan sedang meminta sesuatu. Setelah dipaksa berkali-kali untuk bersedekap dan gagal, akhirnya seorang teman kerjanya menyelipkan uang seribuan di kedua jarinya. Kontan, kedua tangannya menjadi lemas sehingga mudah disedekapkan didadanya. Cerita lainnya, Seorang Pejabat yang sangat idealis, mengakhiri jabatannya dan pensiun dengan sukses tanpa cela. Pada saat acara selamatan, seorang tamu menghampiri:”Pak, saya sekarang menjadi pengusaha sukses berkat proyek yang saya peroleh semasa Bapak menjadi Pejabat. Olehnya itu, saya ingin menghadiahi Bapak sebuah mobil Mercy sebagai tanda terima kasih”. Si pejabat menggeleng: Tidak bisa. Saya seorang idealis. Saya tidak bisa menerima pemberian Saudara. Itu tetap sogokan”. Setelah didesak berkali-kali dan tetap menolak, akhirnya si pengusaha berkata:” Begini saja Pak. Supaya tidak dianggap sogokan, Bapak beli saja Mercy ini seharga limapuluh ribu rupiah”. Setelah berpikir sejenak, sipejabat setuju, lalu menyerahkan uang sebanyak dua ratus ribu rupiah. Si pengusaha heran, katanya:”Pak, harga mobilnya cuma lima puluh ribu. Uang Bapak lebih”. Si pejabat senyum, dan menukas:”Mumpung murah, saya minta tiga unit lagi”.

Keletihan yang semakin sarat pada masyarakat akibat gonjang ganjing politik dan proses-proses demokrasi yang sangat mempertontonkan rendahnya kualitas wacana dan perburuan kekuasaan sebagai tujuan utama, telah menggiring kita untuk survive dalam kondisi ini. Kebertahanan dengan tetap menjaga kejernihan berpikir dan bertindak dalam kusut masai problematika bangsa dapat dilakukan pada berbagai cara. Salah satunya, kemampuan menertawakan diri sendiri dengan melihat sisi jokes pada sebuah obyek, peristiwa, dan orang pada ranah politik, social, ekonomi dan lainnya, dapat menjaga kesadaran kita untuk tetap beridiri dikejernihan hati, pikiran , dan tindakan. Semoga.

Senin, 23 Februari 2009

Tukang Cukur

Seorang pejabat sedang dicukur. Tukang cukur bertanya:”Pak, saya dengan KPK memanggil Bapak ya?”. Si Pejabat menepis: “Ah, tak perlu kau tanya itu”. Selang setengah menit, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, saya dengar, status Bapak sudah tersangka ya?”. Si Pejabat jengkel: Akh, diamlah kamu. Itu bukan urusanmu!”. Satu menit kemudian, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, di koran, status Bapak sudah tertuduh oleh KPK”. Si Pejabat naik pitam lalu membentak:”Eh, mengapa sih kamu terus bertanya. Apa urusanmu?”. Si tukang Cukur menjawab: Soalnya, Setiap kali saya sebut KPK, rambut Bapak berdiri sehingga mudah digunting”. Stress, tanggapan situasional atau peristiwa yang membuat kondisi fisik dan psikologis seseorang bereaksi berlebihan. Karya Leo Tolstoy, novelis Rusia, seperti War and Peace dan Anne Karenina, lahir dalam arena stress yang berkecamuk di rumah tangganya. Tapi, perlukah seorang Pimpinan, menunggu “rambut karyawannya” berdiri atau depresi, untuk memperoleh performance optimal? Mungkin tidak. Tapi, yang perlu adalah memahami stress karyawan yang fungsional, sebelum menukik ambruk dikubangan stress disfungsional sehingga merusak kinerja. Yerkes dan Dodson (1907), menilai hubungan stress dan performance dalam interval rendah-tinggi. Jika, stress rendah, kinerja juga rendah, hingga mencapai kulminasi yang masih fungsional. Tapi, jika lewat titik “didih”, maka stress berubah disfungsional. Lingkungan eksternal, rumah tangga, organisasi, dan karakteristik inidividu seseorang, menjadi penyebabnya (Cooper& Payne,1984). Pertama, Faktor eksternal: politik, ekonomi, social-budaya, seperti gonjang-ganjing politik domestic dan demo Pilkada, berkorelasi tidak langsung. Kedua, faktor family dan economic problems: PHK, uang sekolah anak, biaya rumah sakit serta “khas individual” lainnya, seperti cara tanggap problem, pengalaman kerja, dan tingkat Pe De, ditambah tekanan beban tugas, ambiguitas peran, hubungan perkawanan, pimpinan yang uring-uringan, struktur dan kedewasaan organisasi, secara simultan dapat menggiring lebih cepat kearah stress disfungsional yang parah. Penyembuhannya, secara individual, sangat tergantung pada siindividu itu sendiri. Seorang pasien insomnia, menemui Dokter Psikiater. Kata Dokter:”kamu hanya butuh hiburan saja. Sebentar malam, tontonlah sebuah pertunjukan lawak yang sangat terkenal di gedung theatre. Setelah nonton, kau pasti sembuh” Si pasien, menggeleng, katanya:”Kayaknya saya tidak akan sembuh. Karena, justru sayalah pelawak itu.”

Bahasa Politik

Di zaman perang dingin, AS menyerang Uni Sovyet dengan sebuah banyolan. Seorang agen CIA yang membelot, melapor ke kantor KGB (Dinas Rahasia Sovyet). “Saya anggota CIA, mau melaporkan pembelotan saya”. “Di CIA, kamu unit apa?” Tanya agen KGB. “Sabotase”. Jawabnya. “Silakan naik ke lantai dua, belok kanan”. Di lantai dua, dia ditanya:” Sabotase benua apa?”. “Asia!”. “Silakan ke lantai tiga, belok kiri”. Dilantai tiga.”sabotase ke pemerintah atau masyarakat?”. “Pemerintah!”. “Naik ke lantai empat belok kiri”. Dilantai empat. “Sabotase pemerintah: militer atau birokrat?”. “Militer!”. “Naik ke lantai tujuh, lurus lalu kanan”. Akhirnya, di lantai tujuh, agen KGB yang ditemuinya di ruangan itu membentak:”Saudara ini tahu jam kerja tidak!?, ini sudah jam empat sore. Kantor sudah tutup. Besok saja baru datang!”. Birokrasi organisasi yang menjulang bak tangga ke langit, dan menggurita ke kiri-kanan, adalah lokomotif tua yang perlu dimuseumkan. Charles Hamdy, seorang pakar organisasi, mengatakan:”organisasi yang masih berperilaku “mesin”:dirancang, diukur, dikendalikan, dimanage sudah harus diganti dengan memandang organisasi sebagai”jaringan kerja”. Makanya, kata beliau, organisasi modern banyak mengadopsi jargon-jargon organisasi politik, menggantikan organisasi “mesin”, seperti: adhocracy, federalism, aliansi, tim, empowerment, inisiatif. Ketaatan diganti keterlibatan. Manajemen menjadi kepemimpinan. Manajer diganti pemimpin tim, coordinator proyek, mitra pemimpin, fasilitator atau ketua. Contoh, Subsidiaritas, yang dalam istilah politik dinyatakan bahwa suatu lembaga yang lebih tinggi tidak harus mengambil tanggungjawab yang dapat diselenggarakan lembaga yang lebih rendah. Jadi, untuk apa direksi banyak berkubang di seksi tim-tim kerja teknis?. Juga, wewenang. Pada organisasi “mesin”, kekuasaan berasal dari kedudukan seseorang. Dalam organisasi “politik”, pemimpin dipilih oleh rakyat untuk mengayomi mereka. Gelar dan peranan, bobotnya rendah, sampai seorang pemimpin dapat membuktikan kompetensinya. Ketiga, virtualitas. Organisasi baru berpencaran, bekerja di lokasi berbeda, beragam jabatan, dan tidak perlu menunjukkan kesetiaan pada perusahaan. Persis, sebuah organisasi politik. Menganut rumus 20/80. Hanya 20% yang masih duduk di kantor. 80%nya: kontraktor, part timer, professional mandiri, free lance. Organisasi, berubah jadi “wadah kontrak”, bukan lagi “kawasan pemakaman” yang berisi zombie, fosil, atau badak yang menunggu kemusnahannya.

Siklus karir

Saya bertemu seorang teman lama yang baru cerai. Sambil makan, dia menceramahi. “Perkawinan, adalah etape panjang yang harus kau selesaikan dalam sebuah rally seperti Paris-Dakkar. Kau perlu menjaga stamina, timing, team work, sambil tetap membangun kepercayaan antara si driver dan navigator, agar tidak tersesat. Jika gagal, kau game over”. Saya memotong.”Well, lalu, mengapa kau cerai?”. “Selingkuh!” Sergahnya, kemudian bertanya” Apa bedanya Istri dan teman selingkuh?”. Saya jawab sekenanya:”Istri, sah secara hukum. Teman selingkuh, jika celaka, bisa disahkan hukum”. Dia tersenyum. “Teman selingkuh, ibarat ikan goreng rica-rica ala Manado. Sudah tahu pedas, tapi terus juga disantap sampai bibir dower. Sedang Istri, ibarat Pizza dingin dalam kulkas. Saat tengah malam, walau dingin, tetap disantap, daripada tidak ada”. Pantas cerai, pikirku. Bagaimana anda memandang perusahaan atau tempat anda kerja saat ini? Masih tetapkah menjadi harapan meniti karir hingga akhir etape? Atau, butuh jalur baru?. Kebosanan, ekspektasi baru, ketidakpuasan, aktualisasi, tantangan baru, adalah sejumlah alasan umum untuk merambah peruntungan lain. Donald Super dan Edgard Schein (1978), dalam Career Dynamics, mengurainya sebagai siklus karir. Mereka membaginya delapan siklus. Satu, usia hingga 14 tahun, periode pengembangan konsep diri. Berinteraksi secara intens dengan orang lain, seperti keluarga, teman dan guru. Dasar nilai-nilai kepribadian sarat diterima di era ini. Dua, usia 15-24 tahun, tahap penjelajahan. Seseorang menjelajahi berbagai alternative kedudukan, dan mencocokkan dengan minat dan kemampuan. Tiga, tahap penetapan, usia 24-44 tahun. Periode karir yang menjadi jantung dari kehidupan kerja kebanyakan orang. Empat, sub tahap percobaan, usia 25-30 tahun. Orang menentukan apakah pilihan itu sudah cocok. Jika tidak, mereka berusaha merubahnya. Lima, sub tahap pemantapan, usia 30-40 tahun. Jabatan dan perencanaan karir, semakin jelas. Di sisi lain, orang sering membuat penilaian baru dan besar atas kinerjanya, dihubungkan dengan ambisi dan karir. Enam, tahap pemeliharaan, usia 45-65 tahun. Disebut tahap “mengamankan” posisinya dalam dunia kerja. Biasanya, sulit diajak berubah radikal. Tujuh, tahap kemerosotan, usia di atas 65 tahun. Periode berkurangnya level kekuasaan dan tanggungjawab. Terakhir, siklus delapan, pensiun. Jalan panjang sebuah kerja yang telah berakhir. Kita perlu sadar, bahwa sebuah karir akan berakhir, seiring usia yang terus merambat. Dikesadaran itu, kita butuh jedah.

naik pangkat

Betulkah, jika pangkat naik (job level), juga kepuasan kerja (Job satisfaction) ikut terdongkrak? Jawabnya: Ya (Arvey, Carter & Buerkley,1991). Jauh sebelumnya, Hoppock (1935), mengkaji apakah kepuasan orang bervariasi secara sistematis?. Dia menemukan bahwa kepuasan kerja bertingkat dari rendah hingga tinggi sesuai job level: pekerja semi terampil, terampil, subprofesional, dan akhirnya pekerja professional. Tapi, tidak semuanya setuju. Ada juga yang menemukan sebaliknya. Job satisfaction turun karena job level naik (Bourne, 1983;Mossolder, Bedeian & Armenakis,1981). Perbedaan para pakar, selain aspek metodologis, juga karena penentuan ruang dikotomik pekerjaan misalnya: kerah putih vs kerah biru (Jackson et.al,1987), manajemen vs non-manajemen (Louttinville&Scherman,1988), supervisor vs non-supervisor (Rexroat &Sehan,1986). Atau, menggunakan pendekatan pendapatan (McDonald &Gunderson,1974), pendidikan (Gates,1977) dan juga status social-ekonomi/prestise (Utecht&Aldag,1989). Artinya, mencoba melihat pola hubungan keduanya, akan menjadi lain, ketika kita menggunakan dimensi pengukuran yang beda.

Bagi kelompok pertama, ada dua factor yang memperkuat hubungan antara job level dan job satisfaction. Pertama, kompleksitas pekerjaan. Gaji, tunjangan, teman kerja, promosi, dan bos bertemali secara kompleks yang bermuara pada rasa puas. Bisa saja, seseorang puas dengan gaji, tapi tidak pada kerja.Atau punya teman kerja yang menjengkelkan tapi, Bosnya baik. Organisasi seharusnya dapat mengoptimalkan seluruh aspek itu. Kedua, semakin tajam perbedaan jarak kekuasaan akan semakin besar kepuasan jika naik pangkat. Artinya, jika pangkat membuat seseorang “meninggalkan”semakin jauh orang dibawahnya, maka rasa puas semakin melambung. Pada lingkungan organisasi yang feodalistis dimana perbedaan status social, prestise, dan hak-hak sangat penting, temuan ini sangat kuat. Tetapi pada lingkungan yang multicultural dan lintas budaya, jarak kekuasaan tidak diterjemahkan pada “beda darah”, tetapi pada tanggungjawab, pertumbuhan, otonomi, dan aktualisasi.

Kerja, memang misterius..“kau bekerja, supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini...mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam...” (Kahlil Gibran, The Prophet).

Jumat, 09 Januari 2009

“Rapor” Ekonomi Kita Ditengah Krisis

Rilis mutakhir Bank Dunia terhadap Perekonomian Indonesia dalam Indonesia Economic Briefing Note, pada 10 Desember 2008, telah memberikan warning, untuk bersiap menghadapi masa sulit ke depan pada 2009. Krisis keuangan Global pada 2008 ini, sebetulnya “lampu kunignya” telah berkedap-kedip sejak tahun 2006, ketika bisnis subprime mortage (sector perumahan) sedang menggeliat. Tetapi, karena bersamaan itu terjadi pula krisis pangan dan energy yang harganya melonjak gila-gilaan, maka sector subprime mortage menjadi luput dari perhatian. Tetapi ketika tiga bulan lalu, sector financial di AS ambruk, terpaksa kita cepat melakukan pembenahan untuk mengantisipasi krisis tersebut. Berbagai manuver dilakukan pemerintah, termasuk merubah asumsi-asumsi APBN, kebijakan sector Moneter, pembenahan sektor ril, dan yang tak kalah “panasnya”, gerakan PNPM, penurunan harga BBM—dua kali dalam tempo dua minggu—yang “diteriaki” sebagai manuver SBY-Kalla menjelang Pilpres 2009. Belum lagi kritik pedas sejumlah rival capres seperti Mega, Wiranto, dan Prabowo yang menganggap Rapor kabinet ini “merah”. Betulkah gagal? Kita coba simak, angka-angka dari “Guru” yang bernama “Pak World Bank”.

“Rapor” Makroekonomi Tahun 2008

Sejak 2007 hingga pertengahan 2008, kinerja ekonomi Indonesia mencapai puncak performancenya, sejak dilanda krisis 1990-an, bahkan masuk triwulan ketiga 2008, melonjak di atas harapan. “Rapornya”, boleh dikatakan, rata-rata biru. Angka PDB naik 6,1%, (2007) hingga triwulan keempat 2008, sesudah tumbuh dari 6,3% (2007) naik 6,4% pada 2008. Gerbong ekonomi kita tidak melambat sampai semester pertama 2008—seperti yang dialami Negara lain—karena demand dalam negeri, utamanya investasi swasta menjadi pemicu utama pertumbuhan. Investasi naik hamper 26% dari PDB. Pertumbuhan ini menunjukkan pertumbuhan berlandasan luas.

Pada Neraca pembayaran, tetap menunjukkan surplus secara berurutan di tahun ketiga selama tiga triwulan pertama tahun 2008. Sementara itu, cadangan bertambah secara signifikan, sebelum kembali melemah seperti pada tahun 2007. Indonesia menikmati surplus neraca pembayaran sebesar 2,5% dari PDB (2007), kemudian 1,8% dari PDB selama triwulan pertama 2008. Akumulasi cadangan luar negeri kita selama semester pertama 2008, menerobos hingga USD 60 milyar hingga tengah tahun sebelum meluncur ke USD 50 milyar akhir oktober. Hal ini disebabkan Bank Indonesia melakukan intervensi untuk menjaga nilai rupiah terhadap gejolak di pasar-pasar keuangan internasional. Total utang eksternal jatuh dibawah 35% dari PDB pada oktober 2008, dimana 16%nya akan jatuh tempo dalam satu tahun.

Defisit anggaran kita, relatif dikatagorikan rendah menurut standard internasional. Pada 2007, deficit anggaran dibawah 1,3% PDB, sedang pada tahun fiscal 2008, sesuai proyeksi dipatok 1,0% PDB. Hal ini disebabkan pemerintah berusaha meminimalkan pembiayaan. Daya gejolak saat ini pada pasar komoditi dan devisa di pasar internasional, ditambah ketidakpastian akhir dari krisis global, mengakibatkan marjin error bisa lebih besar dari biasanya.

Pada kebijakan fiscal, Indonesia cukup disiplin, utamanya ketika mengambil kebijakan spesifik terkait subsidi energy. Kenaikan harga BBM pada mei 2008 ditempuh untuk meringankan sebagaian dari beban anggaran akibat harga-harga yang melambung. Sebagian penghematan itu kemudian digunakan untuk mendanai program transfer tunai (BLT) untuk mengimbangi biaya BBM dan pangan yang bergerak kencang keatas dan sangat menekan 70 juta penduduk miskin dan prasejahtera kita. Untuk tahun 2009, pemerintah melakukan terobosan inovatif untuk memagari biaya anggaran untuk subsidi energy. Dengah persetujuan DPR, pemerintah akan menurunkan basis efektif untuk transfer regional dengan jumlah total subsidi yang disediakan. Langkah ini, secara efektif akan menurunkan biaya subsidi 26% untuk pemerintah pusat, dan menyejajarkan nilai sentif pemerintah-pemerintah daerah, yang kemudian akan berbagai dalam pendapatan dari pengurangan subsidi BBM dan subsidi lain di masa datang. Jatuhnya harga minyak secara tajam selama November, menghantar harga BBM internasional di bawah tingkatr harga BBM di Indonesia. Maka sebagai respon, pemerintah, pada 1 desember menurunkan harga bensin dalam negeri sebanyak 8 %, menjadi Rp 5.500 perliter. Kemudian, pada dinihari tadi, 15 Desember, harga bensin diturunkan lagi menjadi Rp 5.000, perliter. Penuruna ini diharapkan akan memicu penrimaan pasar domestic.

Pada sisi perpajakan, penerapannya selama ini telah iktu memperkuat system keuangan Indonesia. Total penerimaan pajak selama 10 bulan pertama, November 2008, sekitar Rp 508,5T, naik 41% lebih tinggi pada kurun waktu yang sama tahun 2007 Yang mencapai Rp 364 T. Penghasilan Non-Migas, menempati ranking pertama, mencapai Rp 226,1 T, disusul PPN dan PPnB Rp 183,5T dan PPh Migas 71,1 T. Perbaikan internalisasi organisasi perpajakan dan pemberian insentif Kepada pengusaha di sector komoditi memberikan dorongan yang cukup berarti terhadap penerimaan pajak Negara.

Inflasi, yang secara konvensioanl diupayakan di bawah dua digit, ternyata terus merayap naik hingga mencapai puncaknya pada triwulan tiga 2008, setelah respon BI dan tekanan harga batas atas terus berkurang. Laju inflasi, sejak 2007 hingga pertengahan 2008 mencapai 11,7%. Desakan harga barang pangan yang menohok angka 40% IHG Indonesia memang terjadi sepanjang periode itu. Inflasi ini kemudian berdampak luas karena kenaikan rata-rata 28,7 % dalam harga BBM pada akhir mei memberi dampak langsung terhadap penyesuaian harga secara umum. Sejak mei 2008, BI berusaha mengerem pertumbuhan kredit yang semakin cepat dan menaikkan harapan inflasi dengan menggeser lebijakan moneter ke arah landasan berkontraksi.

Tingkat kemiskinan Indonesia, jatuh pada 16,6% pada maret 2007 menjadi 15,4% maret 2008. Secara umum, baik diperkotaan maupun dipedesaan, mengalami penurunan tingkat kemiskinan secara menyeluruh. Jika menyoal pertumbuhan 2007-2008 yang mantap, diharapkan kemiskinan akan menurun, seandainya tidak terjadi desakan harga pangan yang hampir 16 % antara april 2007 dan april 2008. Pasar buruh, juga menuju ke jalan “yang benar”, dimana “pertumbuhan tanpa pekerjaan” mulai berkurang. Dalam tingkat pekerjaan, pangsa angkatan buruh dalam pekerjaan non-tani, maupun pangsa pekerjaan disektor formal, semuanya menunjuukkan tren naik, sedangkan angka pengangguran terbuka semakin berkurang.

Pengaruh Krisis Global Terhadap Sektor Keuangan

Sejak awal Desember 2008, Bursa Efek Indonesia telah jatuh 56%, sama halnya dengan bursa efek di berbagai kawasan lainnya. Saham sekotr pertambangan dan pertanian menukik tajam sejak awal 2008 yang mencerminkan adanya harapan harga-harga komoditi akan turun. Saham sector keuangan, walau secara umum jatuh, tetapi tidak menyeluruh. Hal ini mencerminkan kemampuan pengendalian perbankan Indonesia terhadap gejolak pasar-pasar keuangan di AS. Selain itu, landasan modal kuta dan tingkat pengendalian kredit macet yang berkisar 3,9% hingga September 2008, relative dapat dikendalikan.

Pergerakan rupiah terhadap dollar AS yang mengalami gerakan stabil selama 12 bulan hingga agustus 2008, ternyata anjlog 29% pada awal desember 2008. BI mengintervensi di pasar Spot terutama pada bulan September dan oktober. Hal ini dipicu kekhawatiran BI jika rupiah beringsut naik melewati ambang 10.000 per USD karena bisa memicu capital flight modal domestic keluar negeri.
Pengaruh krisis keuangan AS terhadap system perbankan doemestik, relative rendah. Tetapi, tantangan yang dihadapi bank-bank di Indonesia adalah tingginya pertumbuhan pinjaman di atas 36%. Dengan pertumbuhan deposito yang tumbuh hanya setengahnya, akan mengurangi krisis likuiditas. Depresiasi dan distorsi supply ini akan mempengaruhi pendapatan perusahaan dan mengakibatkan peningkatan NPL dan terjadinya erosi modal bank di masa depan.

Menghadapi krisis financial tersebut, ada desakan untuk membenahi sector ril. Tapi, bagaimana wajah sector ril kita. Analisis Bank Dunia menunjukkan bahwa kondisi rentan sector bisnis kita relative sudah berkurang. Perusahaan kita kebanyakan membiayai investasinya melalui pendapatan yang ditahan dimana rasio pinjaman mengalami tren turun. Tetapi, jika meminjam, pilihannya kebanyakan dari luar negeri. Sepanjang tahun 2007, nyaris seluruh pembiayaan ekstern mereka dari sumber luar negeri. Hal ini menyebabkan perusahaan kita rentan terhadap syarat-syarat pasar keuangan global ketika pinjamannya jatuh tempo. Selain itu, terdapat laporan bahwa semakin banyak bank-bank di indonesia yang tidak dapat melunasi L/C dari bank luar negeri, akibat masalah likuiditas dollar dan persepsi resiko rekanan yang terus meningkat.

Prospek “Naik kelas” di 2009

Dengan mempertimbangkan melemahnya ekonomi dunia serta menciutnya pertumbuhan perdagangan dunia, maka agak sulit untuk membayangkan Indonesia luput dari gelombang perlambatan ekonomi global. IMF memproyeksikan bahwa ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) akan bertumbuh 4,2%, atau turun 0,7% dari proyeksi Oktober 2008. Apabila dalam proyeksi Oktober 2008 IMF memperkirakan Indonesia bertumbuh 5,5% pada 2009, koreksi IMF minggu lalu mengisyaratkan Indonesia akan bertumbuh lebih lambat dari 5,5%. Namun, mengingat Indonesia secara umum bertumbuh di atas rata-rata ASEAN-5 dan struktur ekonomi Indonesia yang lebih berbasis konsumsi dalam negeri, porsi Indonesia diperkirakan termasuk kecil dalam diskon atas pertumbuhan Asean-5.
Kendati begitu, pemerintah tentu harus bersikap proaktif. Tidak bisa lagi kita hanya memandang ancaman semata berasal dari ekspor Indonesia ke Amerika ataupun menurunnya FDI. Namun, harus secara komprehensif mempertimbangkan efek perlambatan ekonomi di berbagai blok ekonomi lain. Di sisi lain, manajemen perdagangan perlu lebih hati-hati dilakukan. Menyusutnya volume perdagangan dunia, akan memicu restriksi impor dari berbagai pihak yang ekonominya melambat. Kita tidak bisa berharap ekspor kita meningkat apabila tidak disertai dengan pertimbangan teliti atas berbagai produk impor yang kita perlukan. Mustahil kita bisa menjual, bila kita sama sekali tidak mau membeli.
Mengingat motor pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum ada di sektor konsumsi, maka penting bagi pemerintah menjaga daya beli masyarakat agar penopang ekonomi kita ini tidak ambruk. Lewat kerja sama dengan BI seyogianya fokus diarahkan pada usaha untuk mengendalikan inflasi. Disinilah saya kira, pembenaran dan keabsahan dari program PNPM pemerintah, walaupun diteriaki sebagai manuver politik pada etalase Pilpres 2009. Saya kira para rival, seharusnya tidak hanya berteriak kegagalan pada cabinet ini. Karena dari rapor World Bank di atas, rapor ekonomi kita tidak merah-merah amat. Malah lebih banyak juga birunya. Artinya, dalam perpspektif ekonomi politik, berbagai kebijakan yang dilakukan telah berada dijalur yang benar. Atas hal tersebut maka diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 sekalipun berlangsung lebih lambat, akan dapat menyisakan peningkatan kualitas, lewat realisasi yang lebih terencana dan tepat guna. Sebagaimana umum terjadi, kualitas hanya akan meningkat pada saat munculnya kesadaran akan krisis. Mudah-mudahan, di tahun 2009, kita bisa “naik kelas”, walau seperti biasa, masih sulit dapat ranking.