Kamis, 13 Maret 2008

USAHA KECIL BERBASIS KERAKYATAN

Oleh: M. Idrus Taba
(Pengelola Sekolah Demokrasi Jeneponto)

Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 lalu, yang diawali dengan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan krisis moneter telah mengakibatkan suatu efek domino terhadap perekonomian Indonesia. Semua lapisan masyarakat dan hampir semua kegiatan-kegaiatn ekonomi mengalami krisis. Kita dikagetkan dengan runtuhnya satu persatu raksasa konglomerat di Indonesia, yang dari luar begitu kokoh, karena selain usahanya yang ”menggurita” juga jaringan kroninya dengan pemerintah Orba dan Militer, membuatnya seakan-akan tidak akah goyah oleh krisis. Tetapi kenyataan berbicara lain. Usaha besar konglomerasi yang begitu dimanjakan dengan kredit Likuiditas BI, ternyata sarat dengan benang kusut KKN. Kemudian kita dikagetkan pula dengan tetap tegarnya usaha kecil dan menengah menyikapi berbagai badai krisis, dengan tetap survive. Sektor yang ”dengan setengah hati” dibangun oleh pemerintah, sejak Orba hingga Kabinet Pelanginya Megawati saat ini. Walaupun sempat mencuat perjuangan ”ekonomi kerakyatan” ala Adi Sasono dikabinet Habibie, tetapi hanya menjadi ”pelipur lara” sesaat, terkesan elit politik lebih terpesona model kapitalisme, yang mengacu perputaran ekonomi tinggi, modal besar, skill tinggi. Sektor garapan: industri hulu-hilir yang memberikan Return on investment (ROI) tinggi dan cepat. Dibanding sektor UKM yang lebih mengutamakan ”pemerataan” dengan konsekwensi perputaran ekonomi relatif lamban. Keterpesonaan kita terhadap model kapitalisme” seharusnya dapat ditepis dan mencoba ekonomi kerakyatan sebagai sebuah alternatif.
Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru. Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu sumber utama krisis moneter tahun 1997. Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.
Usaha Kecil dan Menengah ( UKM) merupakan ikon ekonomi kerakyatan yang telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia. Alasannya, pertama, ekonomi rakyat telah berjasa dalam menahan krisis ekonomi secara signifikan. Ekonomi rakyat menampung banyak pengangguran yang tergusur akibat krisis (menurut BPS tahun 2000 menyerap 88,7% tenaga kerja). Bahkan ekonomi rakyat, terutama yang berorientasi ekspor dengan bahan baku dalam negeri, menunjukkan eksistensinya yang kokoh di kala krisis. Kedua, secara kualitatif pelaku sektor ekonomi kerakyatan, di mana di dalamnya tertampung koperasi dan UKM, amat tinggi. Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia 99,85% dimana usaha terbesar pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, sisanya baru usaha besar dan konglomerat (0,2%), dengan rata-rata pertumbuhan dari – 7,4% (1997/1998) menjadi 3% (1998-2000).
Dari segi penciptaan kesempatan kerja UKM di Indonesia sangat penting. Di satu sisi, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, sementara dipihak lain , usaha besar (UB) tidak mampu menyerap semua pencari kerja, karena kelompok usaha besar sangat padat modal, pendidikan dengan skill tinggi, dan pengalaman yang cukup. Sedangkan UKM sebagian besar pekerjanya berpendidikan rendah. Data dari Menegkop & UKM (2000) menununjukkan tahun 2000, lebih dari 66 juta orang bekerja disektor UK/UKM atau 99,44% dari total kesempatan kerja di Indonesia.
Ketika krisis menggempur Indonesia sejak 1997, bukan usaha Konglomerat yang menjadi penyelamat bangsa dari kemungkinan chaos yang yang lebih parah, tetapi UK/UKM yang masih memberi darah bagi pendapatan rumah tangga bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Bahkan, menurut ulasan majalah Swasembada, sejak 1990, usaha konglomerat dari pertarungannya di luar negeri hanya berhasil memasukkan devisa sebesar 5% (Swa, 1990).
Walaupun dari sisi lain, kontribusi UK/UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara total relatif masih kecil (39,8%) dibanding usaha besar (60,2%). Namun demikian sumbangan UK/UKM mengalami kenaikan dari 40% (2000) dibanding sebelumnya 38% (1997), dengan kontribusi terbesar masih dari sektor pertanian yang memang ”dikerubuti” UK/UKM sejak dulu. Usaha besar, sangat dominan kontribusinya di sektor pertambangan (90%), manufakturing (72%), listrik, gas, dan air (91%) serta jasa-jasa (64%). Hal ini dikarenakan sejumlah permasalahan seperti produktivitas tenaga kerja yang rendah, biaya transaksi yang tinggi , iklim usaha yang tidak kondusif, rendahnya kualitas SDM, penggunaan teknologi ketinggalan, informasi pemasaran, kekurangan modal, dan keterbatasan bahan baku.

Permasalahan dan Pembahasan
Kondisi UKM di atas sudah menjadi persoalan klasik dan klise, dan sudah dibahas nyaris disetiap pertemuan yang membicarakan masalah UKM serta sudah menjadi ”kalimat standar” disetiap instansi terkait. Tetapi, berkali pula, kita tidak pernah beringsut lebih jauh sejak kemarin.
Penelitian lintas negara di Asia tenggara oleh Akrasanee (1988) menunjukkan bahwa masalah pemasaran adalah termasuk growth constraints yang dihadapi oleh banyak pengusaha UKM, utamanya menyangkut mutu dan kegiatan promosi, persaingan baik pasar domestik lebih-lebih pasar ekspor. Efek aspek pemasaran ini adalah akses ke lembaga keuangan menjadi terhambat. Berbagai aturan main di pasar global, menjadi faktor penghambat lainnya, seperti tata niaga yang diatur WTO, jaringan kerjasama AFTA, NAFTA, APEC, UE serta kesepakatan internasional menyangkut lingkungan hidup dan HAM, monopoli dan politik dumping.
Masalah utama dalam hal Finansial ada dua; mobilisasi modal awal dan akses ke modal kerja dan modal jangka panjang untuk investasi demi pertumbuhan output jangka panjang. Mengharapkan modal sendiri tidak cukup. Sumber dana dari bank melalui skim-skim kredit masih jauh dari harapan karena sejumlah permasalahan: lokasi bank masih jauh dari jangkauan masyarakat, persyaratan masih dirasakan berat, urusan administrasi yang ”bertele-tele” bagi alam pikir pengusaha kecil kita, dan kurangnya informasi mengenai skim kredit.
Keterbatasan SDM juga menjadi masalah sangat serius, dan ”apa boleh buat” bagi kondisi UKM kita. Utamanya dari aspek penumbuhan jiwa entrepreneurship, organisasi dan manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, desain, quality control, akuntansi, data processing, teknik pemasaran dan riset pasar. Walaupun tidak ada data mengenai tingkat pendidikan di UKM, tetapi jika kita menyimak data BPS tahun 2001 mengenai tingkat pendidikan angkatan kerja yang masuk kategori; tidak pernah sekolah, pernah sekolah SD, tamat SD, Tamat SMP, dan Tamat SLTA yang sebesar 90,3%, maka kita sudah dapat mempekirakan kualitas SDM disektor UKM.
Kendala bahan baku, menyeret banyak usaha UKM yang gulung tikar, utamanya ketika masa krisis berat melanda Indonesia. Banyak sentra-sentra industri kecil menengah disejumlah subsektor industri manufaktur seperti sepatu dan tekstil mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya, atau karena harganya yang terkonversi dalam dolar. Contoh lain, tahun 1998, sebanyak 200 pengusaha tempe di Banjarnegara, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat terpaksa tutup karena harga kedelai impor sangat mahal, juga pengusaha rokok di Jawa Tengah berhenti berproduksi karena kesulitan bahan baku. Di Sulawesi Selatan, industri rotan juga mengalami hal yang sama.
Keterbatasan dalam teknologi, adalah suatu hal yang dilematis. UKM selalu dikategorikan dengan teknologi ”sunset” (ketinggalan), manual, produktivitas rendah, mesin tua peninggalan belanda dan sebagainya. Keinginan meraih teknologi tinggi dengan produktivitas tinggi, membutuhkan biaya tinggi dan Skill (SDM) yang juga memadai, serta ongkos pemeliharaan dan pelatihan tenaga kerja agar kemampuannya tidak kedaluarsa serta life cicle teknologi yang serba cepat. Kesemuanya itu, membutuhkan satu kata kunci: modal, yang sedari awal kita sadari bahwa kita tidak punya.
Kearah kebijakan dan Implementasi
Jika menyimak GBHN 1999-2004, terdapat 28 butir arah kebijakan pembangunan nasional, dengan tiga kerangka kerja utama (Menegkop & UKM, 2000):
1. Sistim ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar yang adil, pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas sosial, kualitas hidup, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Di bawah kerangka ini, memberdayakan KUKM menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha yang dilakukan: (a) Sistim persaingan yang adil, (b) peranan pemerintah dalam sistem pasar dan perpajakan, (c) kesempatan berusaha bagi KUKM, (d) kemitraan, (e) peningkatan penerimaan.
2. Penciptaan iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan KUKM sehingga efisien, produktif, dan kompetitif.
3. Peningkatan kapasitas KUKM untuk mampu bersaing di pasar global.

Landasan kebijakan umum di atas sebetulnya telah memberikan arah yang cukup jelas akan pemosisian UKM dalam pembangunan ekonomi nasional. Persoalannya adalah, sejauhmana implementasi ril dilapangan yang dirasakan dan dipersepsikan oleh masyarakat pelaku UKM sudah sejalan dengan arah kebijakan tersebut. Kenyataan mungkin belum berbicara banyak.
Secara makro, kebijakan pemerintah ”masih bingung” mengimplementasikan secara serius dan tidak ditunjang political will para elit politik untuk mewujudkannya. Ada empat alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001, Presiden Megawati, mengungkapkan keraguannya atas konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat. Menurutnya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya belum jelas benar pengertian lingkup, dan isi konsepnya. Bahkan, masih bersifat ”membingungkan” masyarakat. Pernyataan presiden tersebut, sengaja atau tidak, merupakan semacam upaya dekonstruksi (kalau bukan mementahkan kembali) sistem ekonomi kerakyatan. Kedua, perimbangan APBN yang belum berpihak kepada ekonomi rakyat. Hal ini bisa dibaca dari anggaran yang diberikan pada sektor koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang masih amat belum memadai. Urusan koperasi dan pengembangan UKM, hanya tertangani oleh kementerian negara yang ruang geraknya amat terbatas. Belum ditambah lagi dengan pembubaran Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (BPSKPKM) yang memiliki arti penting dalam mengoperasionalisasikan konsep ekonomi kerakyatan. Ketiga, pembaruan paket program kebijakan ekonomi dan keuangan antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF), tanggal 27 Agustus 2001, tampaknya tidak satu pun dari butir kesepakatan yang ada, menyebutkan keinginan untuk memperkuat basis ekonomi rakyat. Keempat, kebijakan pemerintah pun belum pula menunjukkan keberpihakannya pada petani yang merupakan rakyat kebanyakan. Misalnya, dengan melakukan impor 500.000 ton beras dari Vietnam . Pelaku elit politik ditingkat eksekutif dan legislatif belum secara serius menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai basis UKM menjadi media perjuangan dalam sistim perekonomian bangsa. Paradigma ekonomi rente yang terjalin tali-temali antara pemilik modal dari luar, pelaku bisnis usaha besar (UB), birokrat, dan elit politik, lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi yang mempunyai payback period lebih cepat, sehingga lebih menguntungkan secara finansial dan jangka pendek. Tetapi, apa arti ”sebuah jangka panjang” bagi mereka yang menatap hanya sejengkal ke depan. Perjuangan membangun ekonomi yang berbasiskan kekuatan dan kemampuan masyarakat secara rill serta bersumber pada SDA yang dimiliki membutuhkan keberanian, kemauan, dan kerja keras dan mungkin ”agak membosankan” bagi sebagian orang. Kesimpulan
Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil dan menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu daerah harus membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan tingkat daerah sebagai forum koordinasi dan sinkronisasi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. KPK daerah harus mampu mengidentifikasi masalahnya sendiri, memecahkan masalah, melaksanakan program, mengevaluasi dan akhirnya menyempurnakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah, yang tingkat intensitas dan sifatnya berbeda tidak hanya jenis produk atau pasar yang dilayani, tetapi juga berbeda antar wilayah/lokasi, antar sentra antar sektor, subsektor atau jenis kegiatan atau antar unit usaha dalam sub sektor yang sama. Namun terdapat masalah umum, klasik dan nyaris klise yaitu aspek modal, produksi, teknologi, bahan baku, pemasaran, dan SDM. Di tengah kompetisi global yang kerap bertindak ”kejam”, ekonomi kerakyatan, wajib perlu dilindungi oleh negara, bukan malah diterlantarkan. Artinya wilayah yang satu ini (ekonomi rakyat), tak bisa dibiarkan sendirian, dan tertatih-tatih begitu rupa menghadapi kompetisi global. Tidak hanya diperlukan perlindungan dan subsidi yang proporsional, tapi yang lebih penting adalah adanya political will dari pemerintah untuk menghormati dan sungguh-sungguh menegakkan sistem ekonomi kerakyatan. Maka, merupakan langkah mundur, bila pemerintah mencabut political will-nya dalam memajukan ekonomi kerakyatan. Hal ini tampaknya tidak akan menyelesaikan persoalan, justru, dalam banyak hal merupakan bumerang bagi upaya pemerintah memulihkan kondisi ekonomi nasional. Bila pemerintah saja tak mendukung pengembangan sistem ekonomi kerakyatan, lantas, rakyat dibiarkan begitu rupa, maka bagaimana jadinya kelak? Hampir bisa dipastikan, perekonomian rakyat menengah ke bawah akan makin terpuruk dilindas roda kompetisi global yang ”mengerikan”. Bila ini dibiarkan, boleh jadi hanya akan memperbesar biaya sosial yang harus dipikul. Adalah amat fatal bila kebijakan utama pemulihan ekonomi makro, harus menyingkirkan kebijakan ekonomi kerakyatan. Akan lebih runyam kondisinya bila, ternyata kebijakan pemulihan ekonomi makro gagal, sementara ekonomi kerakyatan telah terbengkalai akibat diabaikan keberadaannya.
Daftar Pustaka


Biro Pusat Statistik, 2000
Chossudovsky, Michel, 1997. The Globalization of Poverty: Impacts of IMF and World
Bank Reforms. Penang Malaysia, Third World Network.

GBHN, 1999-2004MacEwan, Arthur. 1999. Neo-Liberalism or Democracy?: Economic Strategy, Marketss, and Alternatives for the 21st Century, Pluto Press. Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2002. A Development Alternative for Indonesia. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press. Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM. Keen, Steve, 2001. Debunking Economics : the naked emperor of the social science. Annandale NSW, Pluto Press Australia Limited. Petras, James & Henry Veltmeyer, 2001. Globalization Unmasked: imperialism in 21st century. New York USA, Zed Books Ltd. Radius Prawiro, 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi. Jakarta, Elex. Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its Discontents. New York, W.W. Norton & Company, Inc.
Swasembada, 1990, Konglomerat hanya menyumbang 5%, Edisi spesial akhir tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar