Jumat, 14 Maret 2008

PERUBAHAN EKONOMI DAN PERSAINGAN GLOBAL

Dr. M. Idrus Taba, S.E.

Dunia saat ini sedang dalam proses perubahan cepat menuju sebuah tatanan ekonomi di abad 21 yang dicirikan oleh ekonomi dan perdagangan serta investasi yang bebas dan terbuka. Lingkungan dan struktur sosial ekonomi dunia telah bergeser jauh dibanding abad sebelumnya. Demikian pula strategi, struktur, dan sistem manajemen organisasi bisnis telah berubah sangat cepat.
Lanskap baru tengah muncul diseluruh dunia bisnis: batas-batas lama ekonomi dan pasar nasional bertekuk lutut kepada globalisasi ketika dinding-dinding kantor tradisional harus menyerah kepada panorama baru yang tanpa batas (borderless). Struktur hirarkis korporasi yang kita kenal sebelumnya yang menyerupai infrastruktur ”elektromekanikal” ekonomi manufaktur telah gugur dan digantikan dengan jaringan kerja horisontal yang lebih ramping yang dimungkinkan oleh adanya infrastruktur digital era informasi. Pola hubungan jangka panjang majikan-pekerja juga runtuh ketika SDM perusahaan itu sendiri terfragmentasi menjadi satuan-satuan baru yang terpisah dan dinamis yang mengubah makna mendasar dari pekerjaan, kesempatan kerja, dan bahkan produk (Devereaux & Johansen,1996).

Terdapat empat paradigma baru yang tengah melanda di bawah permukaan yang menyemburkan larva-larva ”surga ekonomi baru” . Hal ini merupakan isyarat perubahan eksternal: politik, ekonomi, sosial, teknologi, budaya yang menyatu dan muncul kepermukaan dan mengubah kontur dunia kerja, meninggalkan kita dengan pasar baru, institusi korporat baru untuk melayani pasar baru itu, dan pekerjaan baru untuk menghasilkan barang-barang baru bagi konsumen baru dunia. Keempat paradigma tersebut adalah konsumen global, korporasi global, kesempatan kerja global, pengetahuan sebagai produk global.

Konsumen Global
Nyaris tidak ada satupun gelombang ekonomi yang memberi kontribusi paling besar terhadap realitas global baru ketimbang ekspansi eksplosif pasar konsumen kelas menengah dikawasan-kawasan yang sebelumnya berada di luar jangkauan bisnis kecuali beberapa bisnis lokal saja. Negara berkembang, yang sebelumnya terseok dalam kehidupan yang nyaris subsisten, telah melaju dengan memunculkan kelas menengah yang tangguh didukung ekspor dengan demand ekonomi yang meningkat. Efek global ini akan semakin berkembang pada dasawarsa mendatang. Meskipun sebagian besar konsumen kelas menengah (pendapatan $25.000/tahun) masih didominasi Amerika Utara (AS, Canada), Jepang, dan Eropa (Barat), tetapi diperkirakan pertumbuhan besar akan terjadi di Eropa (Timur), Asia (diluar Jepang), dan Amerika Latin. Kawasan ini yang memiliki 18% kelas konsumen global , diproyeksikan tahun 2010 akan meningkat perannya menjadi sepertiga atau 110 juta keluarga berkat laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5%, dibanding pertumbuhan tahunan rata-rata 2% untuk kelas konsumen di negara-negara industri. Jadi dimasa depan, kawasan ini akan menjadi pasar konsumen yang nyaris sebesar pasar konsumen Eropa dan Amerika Serikat saat ini (Sesit, 2002). Menakar fenomena tersebut, apa implikasi bisnis di masa depan?

Pasar konsumen global di masa depan akan menyajikan tantangan disetiap aspek: teknologi, manajerial, bahasa. Tetapi yang paling mendasar adalah mencuatnya multikulturalisme sebagai sebuah fakta kehidupan yang harus dipandang dalam perspektif positip. Hal ini akan menuntut perubahan sikap besar-besaran dari norma-norma monokulturalisme yang menjunjung tinggi keseragaman dan pandangan yang kaku bahwa setiap masalah mempunyai satu solusi terbaik. Hal ini kemudian menjadikan kompetensi budaya sebagai suatu ketrampilan manajemen kunci.

Korporasi Global
Paradigma kedua adalah pada struktur korporasi. Korporasi-korporasi dunia yang hampir duaratus tahun menguasai dunia bisnis, sekarang, ketika teknologi tua yang melayani mereka dan pasar-pasar tua yang mereka layani telah berubah dalam sekejap, raksasa-raksasa tambun bergelambir dan penuh lemak ini telah terjebak dalam efek ”dinosaurus”: mereka tidak mampu bergerak atau berkembang cepat untuk bersaing dengan ”predator” bergigi runcing yang lebih kecil dan lebih cepat dalam belantara global. Untuk bertahan hidup, strategi penciutan radikal, reorganisasi, dan penciutan jaringan kemitraan dan aliansi strategik adalah pilihan logis yang memang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi. Turbulensi ini telah memorak-morandakan semua tata hubungan, kebiasan kerja, dan ikatan majikan-karyawan korporat didunia lama dalam banyak kerancuan, kegelisahan, dan ketakutan besar-besaran. Teknologi dan kekuatan sentrifugal yang diciptakan oleh persaingan dan ekspansi pasar global telah melemparkan fungsi dan misi struktur korporat tradisional jauh dari pusat kekuatan dan pengambilan keputusan strategik. Hirarki vertikal telah mendatar. Manajemen menengah menghilang. Bahkan konsep kantor sebagai ruang-ruang sempit di gedung pencakar langit mulai meluntur ketika para manajer mulai bekerja dalam suatu moda” kapan dan dimana saja”, berhubungan dengan rekan-rekan satu tim dan perusahaan lain melalui jejaring elektronik (e-mail), konfrensi jarak jauh, serta jaringan lokal tapi area yang luas.
Mengingat semakin berkembangnya pasar global dan besarnya tekanan perusahaan global yang lebih kecil, lebih inovatif, dan lincah, tidak mengherankan jika banyak perusahaan transnasional dan multinasional terbesar bergulat untuk membongkar bentuk cetakan mereka melalui strategi downsizing, outsoursing, strategic aliance, joint venture. Kesemuanya ini cenderung mengubah bentuk korporasi dengan mengaburkan batas-batas organisasi dan merampingkan hirarki menjadi suatu pembagian tenaga kerja bukan berdasarkan nama jabatan dan wewenang melainkan lebih berdasarkan keahlian dan pengetahuan spesialisasi. Gelombang penciutan perusahaan di awal 1990-an hingga kini telah menimbulkan kecenderungan untuk menjadi lebih ramping dan berisi. Berbagai survai 1992-2003, menemukan bahwa 40% hingga 65% perusahaan-perusahaan di AS memangkas jumlah SDM mereka. Bahkan, pada industri manufaktur, sudah berlangsung satu dasawarsa, dimulai sejak 1970-an. Industri ”pengetahuan” seperti Apple bekerja dengan 15.000 karyawan (1993) yang terus menurun. Bandingkan dengan IBM yang memiliki 300.000 karyawan. Perusahaan Bioteknologi yang lebih dekat ke lini ”produk” masa depan, jauh lebih kecil. Genentech, yang terbesar, hanya mempekerjakan 2500 orang tahun 2000.

Kesempatan Kerja Global
Paradigma ketiga adalah kesempatan kerja. Restrukturisasi organisasi, pada sisi lain, menyebabkan terfragmentasinya SDM. Suatu fenomena yang meliputi; lebih singkatnya jabatan, beragamnya jenis hubungan pekerjaan yang baru, meningkatnya keragaman budaya dikalangan pekerja. Hubungan majikan-pekerja yang dulunya bisa lama, sekarang menjadi singkat. Pekerja menghabiskan waktu lebih singkat dengan majikan yang lebih banyak berdasarkan tata hubungan kerja yang baru (paruh waktu, kontrak, temporer, negosiasi lainnya).
Dalam jejaring keragaman dan fragmentasi SDM pekerja yang makin rumit dan menjadi ciri bisnis global seperti: peta bahasa, kultur, sejarah, gaya kreasi, tradisi dan hubungan kekaryawanan. Timbul pertanyaan, bagaimana para pekerja saling mengidentifikasi sesama mereka? Bagaimana membangun loyalitas dan komitmen dalam ranah yang begitu licin?. Disini diperlukan pengetahuan dan kefasihan lintas budaya, lintas fungsional, multibahasa yang merupakan salah satu asset paling berharga dalam lanskap manajerial, dimanapun seseorang bekerja; dalam organisasi global, regional, ataupun nasional. Kedepan, para pekerja lebih mengidentifikasi dirinya dengan profesinya, karyanya, pendidikannya, keahliannya, ketimbang dengan majikan mereka. Para pekerja informasi yang semakin canggih akan mengubah hubungan tawar-menawar majikan-pekerja, karena mereka telah memiliki sendiri sarana produksi (pengetahuan dan informasi) dan memiliki akses luas keperalatan itu. Dengan alat komputasi dan komunikasi yang makin ampuh, makin banyak pekerja yang akan memilih menciptakan dan menjual jasa, bukan sekedar menjual tenaganya sebagai pekerja. SDM seperti ini dalam perusahaan akan menjadi asset vital yang akan menjadi tempat bergantungnya harapan masa depan perusahaan besar, jika mereka ingin tetap dalam jalur persaingan dalam lingkungan global.

Pengetahuan Sebagai Produk Global
Produk tanpa-wujud (intangible) seperti gagasan, proses, informasi mulai mengambil alih peran yang makin penting dari perdagangan total dalam pasar global ekonomi informasi dari barang-barang tradisional berwujud (tangible) ekonomi manufaktur. Secara tradisional, alih-pengetahuan atau teknologi baru melintasi batas-batas negara tercakup dalam barang dan jasa yang dijual untuk digunakan disuatu negara asing. Tetapi kini semakin banyak alih pengetahuan terjadi dalam bentuk yang lebih langsung: misalnya dengan mengalihkan fasilitas R&D dan manusia melintasi batas-batas negara. Juga mengalihkan hak untuk menggunakan blue-print atau proses kepada negara tetangga sehingga produsen lokal dapat membuat sendiri produk atau jasa.
Walaupun saat ini pembayaran lisensi atau royalti relatif masih rendah, sekitar 2% dari total perdagangan internasional, tetapi ia tumbuh 75% lebih cepat dari pada perdagangan dunia dan 50% lebih cepat daripada total output dunia selama satu dasawarsa (World Investment Report, 2002). Produsen melihat bahwa adalah lebih efisien untuk mengalihkan gagasan dengan membiarkan negara lain memperoduksi barang dan jasa sedekat mungkin dengan pasar lokal. Disinilah, negara-negara maju yang memiliki basis pada kekuatan ilmu dan teknologi akan menemukan peran dan pengaruhnya yang sangat kuat dalam persaingan ekonomi global. Pendapatan ekspor Amerika Serikat tumbuh 20% sampai 25% penghasilan royalti, lisensi, dan waralaba dari perusahaan multinasionalnya. Per dollar perdagangan, transfer multinasional AS antara lima dan sepuluh kali lipat bersifat teknologi ketimbang Jepang ataupun Jerman (Institute fot The Future, 1999).

Kesimpulan
Jika perusahaan ingin bertahan hidup daalam ketidakpastian yang tidak terelekkan diatas bentangan empat paradigma tersebut, mereka harus mengakui adanya kebutuhan untuk redesign secara fundamental cara-cara mereka berkomunikasi, belajar, dan mengkoordinasikan kegiatan Tim di dalam dan diantara organisasi. Globalisasi bukan sekedar ekspansi. Ini merupakan jagad yang sama sekali berbeda dengan ekologi yang membatalkan semua asumsi lama. Organisasi yang dapat cepat menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baru akan berjaya. Sebaliknya, mereka yang mencoba untuk melakukan segala sesuatu dengan cara lama akan mengalami efek dinosaurus di zaman purba yang mengalami kepunahan.
Bagaimana kita membangun jembatan untuk dapat bertahan hidup di masa mendatang? Bagaimana perusahaan-perusahaan nasional yang tumbuh terlalu cepat, dan dibatasi oleh tradisi, belajar untuk melakukan perampingan, memutuskan hubungan dengan masa lalu, dan melangkahi batas-batas negara dan budaya yang sudah usang?. Tugas ini tergantung pada pemupukan pola pikir yang sama sekali baru tentang konsep pekerjaan itu sendiri, cara pekerjaan diorganisir, apa yang diproduksi dan untuk siapa?. Landasan berpikir ini akan bermuara pada kebutuhan bauran kompetensi (Competence mix) SDM di masa depan yang meliputi:
Kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi keberbagai macam kultur(multikulutralisme). Suatu kemampuan yang dimulai dengan pengetahuan tentang kultur itu sendiri.
Kompetensi teknologi di zaman menjamurnya teknologi informasi dan komunikasi secara cepat, dengan pemahaman mengenai bagaimana mereka dapat diterapkan untuk kerjasama Tim dalam lingkungan lintas budaya yang terdesentralisasi.
Ketrampilan kepemimpinan yang unik (model kepemimpinan transformasional menggantikan model transaksional) yang berkaitan dengan penciptaan dan pelestarian tim-tim bisnis dalam suatu lingkungan global.
Kompetensi seni ”memfasilitasi” yang rumit dan terus berkembang, atau melonggarkan proses-proses yang selalu kompleks dan kadang menyakitkan yang digunakan organisasi dan tim untuk menyelesaikan pekerjaan.

Terakhir, untuk direnungkan bersama. Segala perubahan lingkungan, merupakan sebuah proses yang harus diterjemahkan oleh manusia melalui pembelajaran terus menerus. Dan manusia selalu berhasil mengatasi setiap krisis dizamannya, disejarahnya, karena kemampuannya untuk berubah dan belajar. Belajar dan belajar adalah esensi hidup untuk meningkatkan kualitas kemanusian kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar