Rabu, 07 Mei 2008

Non-Market Strategy

Dimalam yang gelap gulita disertai hujan deras di tengah laut yang bergelombang tinggi,

Sedang diadakan latihan perang gabungan. Tiba-tiba dikejauhan, seberkas cahaya berkedap-kedip. Panglima kapal perang langsung memberi kode morse ”kamu yang di depan, segera minggir 15 derajat”. Cahaya itu, langsung membalas:”kamu yang minggir 15 derajat”. Sang Panglima, kesal lalu membalas:”Kamu minggir 15 derajat, disini Panglima Kapal Perang”. Cahaya itu balik menukas:”Kamu yang minggir 15 derajat, disini pelaut kelas dua”. Panglima hilang kesabaran dan mengancam:” Kamu minggir, atau saya tabrak!”. ”Silakan tabrak, disini Mercu Suar” Balas Cahaya itu. Ada berapa banyak perusahaan yang kemudian mau dan bisa berubah setelah ancaman eksternal hadir dihadapan. Paling tidak, ada tiga cara yang ditempuh untuk berubah. Ada yang mau berubah setelah kondisi sangat akut. Sejumlah kerusakan, bagai kanker, sudah merasuk jauh ke jantung dan tinggal menunggu paku kematian dimartir. Model penyelamatannya: amputasi. Ada pula dengan cara reaktif. Perubahan direspon segera. Mungkin sudah ketinggalan dari pesaing, tetapi, paling tidak masih dijalur perubahan yang benar. Cara lain, disebut proaktif, yang berubah karena kekuatan visi. Mampu menatap jauh dibentangan masa depan, dan melihat pada posisi mana seharusnya perusahaan berdiri. Perusahaan unggul, menurut berbagai riset, adalah mereka yang berada di jalur ini.

David Byron (2003), dalam bukunya Business and its environment, mengajak kita untuk merambah lingkungan eksternal yang disebut: Non-Market, selain aspek Market yang menjadi concern dunia bisnis selama ini. Lingkungan Market, adalah wilayah kerja utama perusahaan, mencakup interaksi antar perusahaan, suppliers, dan customers yang diatur melalui pasar atau melalui kesepakatan-kesepakatan ( misalnya kontrak). Non-Market, adalah aspek sosial, politik, dan berbagai peraturan pemerintah yang memberikan tekanan terhadap strategi perusahaan. Oleh karena issu yang disandang non-market begitu luas, maka Perusahaan perlu menjadikannya sebagai bagian integral dari Coporate strategy. Berbagai issu seperti perlindungan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan teknologi, politik legislasi, regulasi dan antimonopoli, HAM, tekanan aktivis NGO, hubungan pemangku-kepentingan, CSR, dan etika, memerlukan pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan untuk mengelolanya. Mungkin saja, selama ini banyak perusahaan sudah melakukan analisa dan pendekatan terhadap issu tersebut. Tetapi, sifatnya sektoral, fragmen, dan sporadis, sehingga hasilnya tidak efektif. Ada BUMN yang setiap tahun kelabakan menghadapi sekelompok masyarakat yang mengklaim tanah perusahan sebagai Hak ulayat, tanah milik, space publik . Ada pula yang dijadikan ”agenda kunker” akhir tahun oleh Legislatif. Atau, Pemda mengganggu dengan ”tagihan retribusi”, padahal fasilitasnya dibangun perusahaan. Belum lagi sentimen berantai yang dipicu masalah etnik, agama, dan kelompok lainnya yang dapat merembet kepersoalan rasialisme.

Sudah saatnya perusahaan sebagai entitas bisnis, tidak hanya memikirkan aspek Market saja. Apsek non-merket memerlukan analisis yang lebih luas, seperti analisis struktur sosial-politik masyarakat. Bagaimana peta geopolitik dan sentimen sektarian dapat berkait core business perusahaan. Bagaimana Peran, aktor, jaringan, dan struktur activist pressure dari kalangan NGO yang dekat dengan issu lingkungan, tenaga kerja, HAM, dan demokrasi yang berdampak pada domestik maupun international business . Bagaimana Peran dan tekanan eksekutif dan legislatif dalam berbagai kebijakan legislasi, publik, dan politik terhadap misi perusahaan. Adakah, aspek Non-Market sudah diformulasi dalam sebuah Framework, sebagai bagian integral dari Corporate Strategy?. Saya khawatir, belum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar