Jumat, 25 Desember 2009

Pop Culture

Saya ditawari buah merah dari Papua. “Obat ini mujarab. Mampu mengeluarkan semua penyakit dalam tubuh” Kata teman meyakinkan. “Tapi tidak termasuk kecerdasan saya juga ikut tersedot keluar, kan?” Kataku ragu. Seberapa takluk kita akan penyeragaman-penyeragaman massif dilingkungan keseharian kita?: obat, mode, fast food, restoran, olah raga, pendidikan, life style, orientasi politik, pilihan tokoh dan sebagainya. Masihkah kita hadir sebagai individu dalam kesadaran eksistensial, atau lebur dalam massa ketidakpastian? Dominic Striniti dalam Popular Culture: An Introduction to theories of popular culture (1995) menyebut, pop culture, kebudayaan yang dibuat untuk kepentingan melayani budaya konsumsi yang didukung teknologi informasi . Pop culture, ditentang kaum aufklarung, karena individu lebur dalam massa dan rasionalitas berkubang dalam kenikmatan. Kaum analitik menyorot penyeragaman langue. Aliran feminisme berang karena pengekalan stereotipisasi yang merugikan kaum perempuan. Persoalan substansinya adalah: masih ada atau berkuasakah masyarakat dalam budaya pop?. Pengalaman popular lahir dari dua kekuatan utama: budaya konsumsi dan dukungan teknologi informasi baru. Persepsi realitas, keinginan, kehendak, dan perilaku kita menanggapi lingkungan adalah atas kehendak konsumsi dan media yang didukung ideology kapitalisme. Maka, budaya pop kemudian lahir dalam lenggak-lenggok pencitraan iklan. Serigala dipoles jadi domba. Seringai ular, ditekuk menjadi senyum malu-malu kucing. Tikus got, Jadi hamster yang menggemaskan. Koruptor, dikemas jadi hero, atau ramalan dukun suku primitive jadi nubuat akhir zaman pada film 2012. Baudrillard melukiskan situasi ini sebagai implosion. Penyatuan manusia dalam satu kawah, yang meledak ke dalam: batas tradisi, geografi, bangsa, ideology, kelas untuk menjadi luluh cair. Sehingga yang tersisa hanyalah massa ketidakpastian, karena batas-batas identitas yang selama ini memberikan rasa aman dan pasti tercerabut, terbongkar. Batas-batas baru ini bergantung bagaimana suatu kelompok sosial dihadirkan menurut kemauan media.
Massifikasi dan penyeragaman konsumsi tersebut merupakan bagian dari kehendak capital dalam bentuk Strategi bisnis nasional hingga global. Proses Kapitalisasi massif ini telah “mengutuk” masyarakat dalam kurungan massal atau rasa. Konsumtifisme terus digelorakan. Semua cara akan dihalalkan (machiavellianisme) untuk mencari pasar baru, mengembangkan pasar lama, mempertahankan pasar yang ada. Bisnis adalah mesin cetak yang mengunyah masyarakat jadi: ikon, sign, brand…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar