Jumat, 09 Januari 2009

“Rapor” Ekonomi Kita Ditengah Krisis

Rilis mutakhir Bank Dunia terhadap Perekonomian Indonesia dalam Indonesia Economic Briefing Note, pada 10 Desember 2008, telah memberikan warning, untuk bersiap menghadapi masa sulit ke depan pada 2009. Krisis keuangan Global pada 2008 ini, sebetulnya “lampu kunignya” telah berkedap-kedip sejak tahun 2006, ketika bisnis subprime mortage (sector perumahan) sedang menggeliat. Tetapi, karena bersamaan itu terjadi pula krisis pangan dan energy yang harganya melonjak gila-gilaan, maka sector subprime mortage menjadi luput dari perhatian. Tetapi ketika tiga bulan lalu, sector financial di AS ambruk, terpaksa kita cepat melakukan pembenahan untuk mengantisipasi krisis tersebut. Berbagai manuver dilakukan pemerintah, termasuk merubah asumsi-asumsi APBN, kebijakan sector Moneter, pembenahan sektor ril, dan yang tak kalah “panasnya”, gerakan PNPM, penurunan harga BBM—dua kali dalam tempo dua minggu—yang “diteriaki” sebagai manuver SBY-Kalla menjelang Pilpres 2009. Belum lagi kritik pedas sejumlah rival capres seperti Mega, Wiranto, dan Prabowo yang menganggap Rapor kabinet ini “merah”. Betulkah gagal? Kita coba simak, angka-angka dari “Guru” yang bernama “Pak World Bank”.

“Rapor” Makroekonomi Tahun 2008

Sejak 2007 hingga pertengahan 2008, kinerja ekonomi Indonesia mencapai puncak performancenya, sejak dilanda krisis 1990-an, bahkan masuk triwulan ketiga 2008, melonjak di atas harapan. “Rapornya”, boleh dikatakan, rata-rata biru. Angka PDB naik 6,1%, (2007) hingga triwulan keempat 2008, sesudah tumbuh dari 6,3% (2007) naik 6,4% pada 2008. Gerbong ekonomi kita tidak melambat sampai semester pertama 2008—seperti yang dialami Negara lain—karena demand dalam negeri, utamanya investasi swasta menjadi pemicu utama pertumbuhan. Investasi naik hamper 26% dari PDB. Pertumbuhan ini menunjukkan pertumbuhan berlandasan luas.

Pada Neraca pembayaran, tetap menunjukkan surplus secara berurutan di tahun ketiga selama tiga triwulan pertama tahun 2008. Sementara itu, cadangan bertambah secara signifikan, sebelum kembali melemah seperti pada tahun 2007. Indonesia menikmati surplus neraca pembayaran sebesar 2,5% dari PDB (2007), kemudian 1,8% dari PDB selama triwulan pertama 2008. Akumulasi cadangan luar negeri kita selama semester pertama 2008, menerobos hingga USD 60 milyar hingga tengah tahun sebelum meluncur ke USD 50 milyar akhir oktober. Hal ini disebabkan Bank Indonesia melakukan intervensi untuk menjaga nilai rupiah terhadap gejolak di pasar-pasar keuangan internasional. Total utang eksternal jatuh dibawah 35% dari PDB pada oktober 2008, dimana 16%nya akan jatuh tempo dalam satu tahun.

Defisit anggaran kita, relatif dikatagorikan rendah menurut standard internasional. Pada 2007, deficit anggaran dibawah 1,3% PDB, sedang pada tahun fiscal 2008, sesuai proyeksi dipatok 1,0% PDB. Hal ini disebabkan pemerintah berusaha meminimalkan pembiayaan. Daya gejolak saat ini pada pasar komoditi dan devisa di pasar internasional, ditambah ketidakpastian akhir dari krisis global, mengakibatkan marjin error bisa lebih besar dari biasanya.

Pada kebijakan fiscal, Indonesia cukup disiplin, utamanya ketika mengambil kebijakan spesifik terkait subsidi energy. Kenaikan harga BBM pada mei 2008 ditempuh untuk meringankan sebagaian dari beban anggaran akibat harga-harga yang melambung. Sebagian penghematan itu kemudian digunakan untuk mendanai program transfer tunai (BLT) untuk mengimbangi biaya BBM dan pangan yang bergerak kencang keatas dan sangat menekan 70 juta penduduk miskin dan prasejahtera kita. Untuk tahun 2009, pemerintah melakukan terobosan inovatif untuk memagari biaya anggaran untuk subsidi energy. Dengah persetujuan DPR, pemerintah akan menurunkan basis efektif untuk transfer regional dengan jumlah total subsidi yang disediakan. Langkah ini, secara efektif akan menurunkan biaya subsidi 26% untuk pemerintah pusat, dan menyejajarkan nilai sentif pemerintah-pemerintah daerah, yang kemudian akan berbagai dalam pendapatan dari pengurangan subsidi BBM dan subsidi lain di masa datang. Jatuhnya harga minyak secara tajam selama November, menghantar harga BBM internasional di bawah tingkatr harga BBM di Indonesia. Maka sebagai respon, pemerintah, pada 1 desember menurunkan harga bensin dalam negeri sebanyak 8 %, menjadi Rp 5.500 perliter. Kemudian, pada dinihari tadi, 15 Desember, harga bensin diturunkan lagi menjadi Rp 5.000, perliter. Penuruna ini diharapkan akan memicu penrimaan pasar domestic.

Pada sisi perpajakan, penerapannya selama ini telah iktu memperkuat system keuangan Indonesia. Total penerimaan pajak selama 10 bulan pertama, November 2008, sekitar Rp 508,5T, naik 41% lebih tinggi pada kurun waktu yang sama tahun 2007 Yang mencapai Rp 364 T. Penghasilan Non-Migas, menempati ranking pertama, mencapai Rp 226,1 T, disusul PPN dan PPnB Rp 183,5T dan PPh Migas 71,1 T. Perbaikan internalisasi organisasi perpajakan dan pemberian insentif Kepada pengusaha di sector komoditi memberikan dorongan yang cukup berarti terhadap penerimaan pajak Negara.

Inflasi, yang secara konvensioanl diupayakan di bawah dua digit, ternyata terus merayap naik hingga mencapai puncaknya pada triwulan tiga 2008, setelah respon BI dan tekanan harga batas atas terus berkurang. Laju inflasi, sejak 2007 hingga pertengahan 2008 mencapai 11,7%. Desakan harga barang pangan yang menohok angka 40% IHG Indonesia memang terjadi sepanjang periode itu. Inflasi ini kemudian berdampak luas karena kenaikan rata-rata 28,7 % dalam harga BBM pada akhir mei memberi dampak langsung terhadap penyesuaian harga secara umum. Sejak mei 2008, BI berusaha mengerem pertumbuhan kredit yang semakin cepat dan menaikkan harapan inflasi dengan menggeser lebijakan moneter ke arah landasan berkontraksi.

Tingkat kemiskinan Indonesia, jatuh pada 16,6% pada maret 2007 menjadi 15,4% maret 2008. Secara umum, baik diperkotaan maupun dipedesaan, mengalami penurunan tingkat kemiskinan secara menyeluruh. Jika menyoal pertumbuhan 2007-2008 yang mantap, diharapkan kemiskinan akan menurun, seandainya tidak terjadi desakan harga pangan yang hampir 16 % antara april 2007 dan april 2008. Pasar buruh, juga menuju ke jalan “yang benar”, dimana “pertumbuhan tanpa pekerjaan” mulai berkurang. Dalam tingkat pekerjaan, pangsa angkatan buruh dalam pekerjaan non-tani, maupun pangsa pekerjaan disektor formal, semuanya menunjuukkan tren naik, sedangkan angka pengangguran terbuka semakin berkurang.

Pengaruh Krisis Global Terhadap Sektor Keuangan

Sejak awal Desember 2008, Bursa Efek Indonesia telah jatuh 56%, sama halnya dengan bursa efek di berbagai kawasan lainnya. Saham sekotr pertambangan dan pertanian menukik tajam sejak awal 2008 yang mencerminkan adanya harapan harga-harga komoditi akan turun. Saham sector keuangan, walau secara umum jatuh, tetapi tidak menyeluruh. Hal ini mencerminkan kemampuan pengendalian perbankan Indonesia terhadap gejolak pasar-pasar keuangan di AS. Selain itu, landasan modal kuta dan tingkat pengendalian kredit macet yang berkisar 3,9% hingga September 2008, relative dapat dikendalikan.

Pergerakan rupiah terhadap dollar AS yang mengalami gerakan stabil selama 12 bulan hingga agustus 2008, ternyata anjlog 29% pada awal desember 2008. BI mengintervensi di pasar Spot terutama pada bulan September dan oktober. Hal ini dipicu kekhawatiran BI jika rupiah beringsut naik melewati ambang 10.000 per USD karena bisa memicu capital flight modal domestic keluar negeri.
Pengaruh krisis keuangan AS terhadap system perbankan doemestik, relative rendah. Tetapi, tantangan yang dihadapi bank-bank di Indonesia adalah tingginya pertumbuhan pinjaman di atas 36%. Dengan pertumbuhan deposito yang tumbuh hanya setengahnya, akan mengurangi krisis likuiditas. Depresiasi dan distorsi supply ini akan mempengaruhi pendapatan perusahaan dan mengakibatkan peningkatan NPL dan terjadinya erosi modal bank di masa depan.

Menghadapi krisis financial tersebut, ada desakan untuk membenahi sector ril. Tapi, bagaimana wajah sector ril kita. Analisis Bank Dunia menunjukkan bahwa kondisi rentan sector bisnis kita relative sudah berkurang. Perusahaan kita kebanyakan membiayai investasinya melalui pendapatan yang ditahan dimana rasio pinjaman mengalami tren turun. Tetapi, jika meminjam, pilihannya kebanyakan dari luar negeri. Sepanjang tahun 2007, nyaris seluruh pembiayaan ekstern mereka dari sumber luar negeri. Hal ini menyebabkan perusahaan kita rentan terhadap syarat-syarat pasar keuangan global ketika pinjamannya jatuh tempo. Selain itu, terdapat laporan bahwa semakin banyak bank-bank di indonesia yang tidak dapat melunasi L/C dari bank luar negeri, akibat masalah likuiditas dollar dan persepsi resiko rekanan yang terus meningkat.

Prospek “Naik kelas” di 2009

Dengan mempertimbangkan melemahnya ekonomi dunia serta menciutnya pertumbuhan perdagangan dunia, maka agak sulit untuk membayangkan Indonesia luput dari gelombang perlambatan ekonomi global. IMF memproyeksikan bahwa ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam) akan bertumbuh 4,2%, atau turun 0,7% dari proyeksi Oktober 2008. Apabila dalam proyeksi Oktober 2008 IMF memperkirakan Indonesia bertumbuh 5,5% pada 2009, koreksi IMF minggu lalu mengisyaratkan Indonesia akan bertumbuh lebih lambat dari 5,5%. Namun, mengingat Indonesia secara umum bertumbuh di atas rata-rata ASEAN-5 dan struktur ekonomi Indonesia yang lebih berbasis konsumsi dalam negeri, porsi Indonesia diperkirakan termasuk kecil dalam diskon atas pertumbuhan Asean-5.
Kendati begitu, pemerintah tentu harus bersikap proaktif. Tidak bisa lagi kita hanya memandang ancaman semata berasal dari ekspor Indonesia ke Amerika ataupun menurunnya FDI. Namun, harus secara komprehensif mempertimbangkan efek perlambatan ekonomi di berbagai blok ekonomi lain. Di sisi lain, manajemen perdagangan perlu lebih hati-hati dilakukan. Menyusutnya volume perdagangan dunia, akan memicu restriksi impor dari berbagai pihak yang ekonominya melambat. Kita tidak bisa berharap ekspor kita meningkat apabila tidak disertai dengan pertimbangan teliti atas berbagai produk impor yang kita perlukan. Mustahil kita bisa menjual, bila kita sama sekali tidak mau membeli.
Mengingat motor pertumbuhan ekonomi Indonesia secara umum ada di sektor konsumsi, maka penting bagi pemerintah menjaga daya beli masyarakat agar penopang ekonomi kita ini tidak ambruk. Lewat kerja sama dengan BI seyogianya fokus diarahkan pada usaha untuk mengendalikan inflasi. Disinilah saya kira, pembenaran dan keabsahan dari program PNPM pemerintah, walaupun diteriaki sebagai manuver politik pada etalase Pilpres 2009. Saya kira para rival, seharusnya tidak hanya berteriak kegagalan pada cabinet ini. Karena dari rapor World Bank di atas, rapor ekonomi kita tidak merah-merah amat. Malah lebih banyak juga birunya. Artinya, dalam perpspektif ekonomi politik, berbagai kebijakan yang dilakukan telah berada dijalur yang benar. Atas hal tersebut maka diharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 sekalipun berlangsung lebih lambat, akan dapat menyisakan peningkatan kualitas, lewat realisasi yang lebih terencana dan tepat guna. Sebagaimana umum terjadi, kualitas hanya akan meningkat pada saat munculnya kesadaran akan krisis. Mudah-mudahan, di tahun 2009, kita bisa “naik kelas”, walau seperti biasa, masih sulit dapat ranking.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar