Senin, 04 Mei 2009

ANGKA


Ada cerita yang dapat membedakan, antara tujuan (goals) dan Angka statistic. Dua orang Profesor ahli statistik, sedang menunggu kereta di peron. Saking asyiknya cerita, mereka tidak menyadari kalau kereta yang ditunggu sudah tiba, bahkan telah bergerak pergi. Kontan saja, kedua Professor lari lintang-pukang memburu kereta. Hasilnya: hanya satu yang berhasil melompat ke atas. Seorang penumpang di peron, kebetulan mantan mahasiswa si Profesor datang menghibur. “Prof, walaupun ketinggalan kereta, tetapi secara statistic, anda telah berhasil 50%, karena satu dari dua orang, berhasil naik kereta”. Si Professor menyergah:”Secara statistic memang berhasil. Tetapi, secara tujuan, gagal. Karena yang mau berangkat saya. Teman saya itu cuma mengantar”. Tujuan dan angka statistic, jadi acuan yang terus dipelototi di banyak organisasi yang mematok target dan kinerja: produksi, penjualan, pemasaran, biaya, nilai saham, inflasi, pertumbuhan dan seterusnya. Dalam dunia bisnis, angka yang kuat dari hasil sebuah merger, akuisisi, aliansi, trust, holding, amalgamasi, kartel, adalah sebuah sinyal bahwa sebuah persenyawaan berbagai unsur harus dilanjutkan. Karena tujuannya sangat jelas: profit. Namun, dalam ranah politik, justru bisa lain. Signifikansi angka yang diperoleh Partai Demokrat di atas Partai Golkar, justru melahirkan sebuah perceraian SBY dan JK. Angka, telah membuat nanar mata para “owners” dan “CEO” partai Demokrat untuk membuang koalisi lama dan mencari “merger” baru. Seolah angka adalah representasi mutlak sebuah perpsepsi social politik dan kondisi psikologis masyarakat terhadap hanya “seorang tokoh”, dan bukan “tokoh lainnya”. Keberhasilan seorang CEO, seperti Lee Iacoccoa pada Chrysler, Bill Gates pada Microsoft di dunia bisnis, karena ditunjang orang-orang cerdas dan kuat disekitarnya yang dapat menerjemahkan dengan baik ide-ide besar menjadi operasional, dalam bahasa yang “jelas dan lugas”. Atau, seorang Lee Kwan Yu, Bapak Singapura, ketika membangun Singapura dari sebuah rawa dan pelabuhan nelayan, dikelilingi oleh “petarung-petarung” lapangan sebagai “transporter” ke rakyat. Angka-angka capaian Partai Demokrat, yang direpresentasikan sebagai cermin ketokohan SBY, seharusnya tidak melupakan bahwa ada seorang tokoh yang bernama JK, sebagai petarung, transporter, dan pekerja yang berani bergumul di pekerjaan yang “berlumpur” dan mengerikan seperti: konflik Aceh, Maluku, Poso dan meyelesaikannya dengan bukan darah. Esensi demokrasi ada disitu. Kualitas seorang CEO sekaligus Negarawan pada diri JK, bukan hanya sekadar sebuah angka, tetapi pada substansi tujuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar