Jumat, 14 Maret 2008

ANTAGONISME POLITIK: PERSPEKTIF PILKADA DI SULSEL

Oleh: M. Idrus Taba

Sulsel merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang telah menyelenggarakan Pilkada Gubernur paling eksotis dan menawan di Indonesia. Eksotis, karena memiliki daya tarik luar biasa yang melibatkan emosi masyarakat secara luas. Menawan, karena KPU sebagai penyelenggara berhasil menggiring prosesi tahapan secara sukses, dan masyarakat pendukung kandidat dapat menampilkan kedewasaan berdemokrasi tanpa harus berkubang dalam lumpur berdarah-darah. Juga, para para kandidat, secara khusus Calon terpilih versi KPU Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang yang tetap berada dijalur benar dalam menyikapi masa “injury time” putusan PK Mahkamah Agung yang belum juga meniup peluit akhir pertandingan. Namun disisi lain, mozaik demokrasi di Sulsel juga memberi pelajaran berharga, bahwa putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Pilkada Ulang, mencuatkan kecemasan yang disebut oleh Maurice Duverger (2002) sebagai antagonisme politik dalam tataran sikap dan perilaku individu serta kolektivisme dalam tataran institusi politik.

Antagonisme Politik
Antagonisme politik menurut Duverger merupakan unsur yang paling penting dalam politik; karena antagonisme ada, maka harus ada usaha (berbagai komunitas/kelompok lawan) untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Sudut pandang antagonisme politik, bagi kaum konservati tradisional; adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan untuk menempatkan “elite”-mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan- melawan “massa”- mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah. Artinya, ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan ras-ras inferior yang bisa berpartisipasi dalam proses peradaban hanya dibawah bimbingan ras-ras superior. Bagi kaum liberal, menolak paham tentang ketidaksamaan alami dikalangan kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama seperti perjuangan ekonomi: berebut sumberdaya yang terbatas atas pemuasan kebutuhan yang tidak terperi, dimana setiap orang mencoba meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Disini homo politicus, tidaklah berbeda dengan homo economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama dengan seperti persaingan ekonomi dalam kondisi yang disebut struggle for life. Sedangkan bagi kaum Marxis, antagonisme politik, hakekatnya juga bersifat ekonomis, tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara berproduksi, pada gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial pemilik faktor produksi (kaum kapitalis) yang sangat dominan atas mereka yang hanya memiliki tenaga saja (kaum pekerja). Kaum kapitalis akan mempertahankan terus dominasinya atas kaum tidak berpunya itu yang secara alami akan menolak mati-matian penindasan tersebut. Konsekuensinya, kata Duverger, perjuangan politik disebabkan perjuangan kelas.
Selain ketiga pandangan tersebut, juga ditandai dengan lahirnya teori-teori psikoanalisa yang menjelaskan motivasi psikologis tentang pergolakan-pergolakan politik. Konflik-konflik batin, misalnya, menghasilkan frustrasi yang berkembang kearah kecenderungan agresi dan dominasi. Bahwa homo politicus: keuntungan material dari kekuasaan bukanlah selalu motif utama yang mendorong manusia untuk mengejarnya.

Sebab-Sebab Antagonisme Politik
Secara katagorikal, antagonisme politik dibedakan pada tingkat individu seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologi serta lainnya pada tingkatan kolektif seperti faktor-faktor rasial, perbedaan di dalam kelas-kelas sosial, dan faktor-faktor sosiokultural. Setiap katagori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik. Perjuangan yang berputar disekeliling kekuasaan terjadi diantara individu-individu dalam pertentangan yang bersaing mendapatkan portofolio kabinet, kursi parlementer, pos menteri, berbagai jabatan publik dan sebagainya. Dalam konteks lebih luas, konflik-konflik individual ditingkatkan magnitudenya oleh konflik-konflik universal antar kelompok di dalam masyarakat- ras, kelas, komunitas, lokal korporasi, bangsa-bangsa dan seterusnya. Dua jenis kepentingan perjuangan -individu dan kolektif- menjadi campur baur. Arti pentingnya kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh ideologi politik yang dianut: ideologi liberal terutama mempertimbangkan konflik-konflik individual dan mengabaikan konflik kolektif; ideologi sosialis dan konservatif berbuat persis sebaliknya, yang pertama menekankan konflik-konflik kelas, dan yang kedua, konflik diantara ras-ras atau “kelompok horizontal” (bangsa-bangsa, agama-agama,dan semacamnya).

Antagonisme Politik Pilkada Sulsel
Kerasnya “perlawanan” kubu Asmara untuk tetap menyoal kekalahnnya hingga kepanggung Mahkamah Agung yang membuat tahapan Pilkada memasuki “injury time”, dapat disimak sebagai sebab-sebab individual. Ada dua jenis sebab-sebab individual; pertama, perbedaan di dalam bakat alami manusia yang merasa “lebih berbakat” daripada “orang lain” dan cenderung merasa di atas angin untuk tetap menjamin kekuasaannya. Kedua, tergantung pada kecenderungan psikologis, yaitu kecenderungan untuk tetap menekankan “dominasi dan kepatuhan” kepada lawannya, sementara lawannya kurang dapat menerima kondisi taklukan. Kedua tokoh Sayang dan Asmara berada pada kondisi tersebut.

Bakat-bakat individual/pribadi ini berasal dari faktor-faktor biologis menurut konsep Charles Darwin tentang struggle for life. Menurut Darwin dalam Origin of Species (1859), setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu berhasil. Proses seleksi alam ini menjamin terpeliharanya spesis maupun pemeliharaannya. Tokoh SYL dan HAS, sedang berada di medan struggle for life, karena mereka masing-masing sebagai pemimpin sebuah “koloni” yang memiliki prinsip: kekalahan berarti musnahnya spesis dan koloni. Teori Darwin adalah ekuivalen biologis dari filsafat Borjuis yang doktrinnya tentang persaingan bebas adalah manifestasi ekonomisnya; perjuangan bagi eksistensi dengan demikian menjelman menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Didalam arena politik, dia menjadi “perjuangan untuk posisi utama” (struggle for preeminence) (G.Mosca), dan ini menjadi basis teori tentang Elite: bahwa persaingan merebut kekuasaan akan memunculkan yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah.

Pada kecenderungan psikologis, dikatakan bahwa antagonisme politik akibat dari frustrasi psikologis yang berhubungan dengan konflik dari masa kanak-kanak yang dini yang terkubur dalam alam tidak sadar. Bahwa pengalaman dari masa kanak-kanak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnnya dari seorang individu. Dalam masa kanak-kanak yang dini, orang tua memegang peranan yang sangat penting; seorang pribadi merumuskan dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat melalui mereka. Setelah itu, hubungan orang tua secara tidak sadar mempengaruhi semua hubungan sosialnya yang lain, terutama yang menyangkut otoritas. Kepatuhan pelaku politik untuk tetap berada di jalur hukum dan otoritas pada kondisi yang semakin menyesakkan dan membuka peluang untuk chaos, adalah refleksi psikologis hubungannya dengan orang tuanya. Sebaliknya, kondisi Psikologis pada pelaku politik yang “ngotot” memaksakan “golden ball” pada injury time, adalah prosesi kecemasan dari keterpaksaan atas hilangnya “surgawi” pada masa kanak-kanak yang oleh Sigmund Freud disebut infantile sexuality (seksualitas masa kanak-kanak). Kekuasaan, adalah surgawi yang akan pergi setelah Pilkada. Hal ini sangat mencemaskan. Pengalaman “traumatik” ini akan dibawanya kemasyarakat, dimana dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, “realty principle”, yang berarti dia harus melepaskan kesenangan atau membatasinya dengan sangat keras. Dia tidak lagi menggenggam “rasa ketakutan” orang yang takut dimutasi atau non-job. Dia harus patuh pada peraturan, kewajiban dan larangan yang memaksanya. Konflik antara tuntutan masyarakat dan keinginan untuk kesenangan ini menghasilkan frustrasi yang kemudian menjadi sebab fundamental bagi lahirnya antagonisme sosial.

Dari Antagonisme menuju Integrasi

Integrasi politik tentu menjadi harapan setiap pelaku politik yang sehat. Namun, haruskah integrasi politik dilalui terlebih dahulu oleh jalan “rusak” yang disebut konflik?. Memang ada ambivalensi antara Konflik dan integrasi. Walau berhadapan, tapi keduanya juga saling melengkapi. Antagonisme politik menghasilkan konflik, tetapi, juga sekaligus menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Setiap perjuangan berisikan mimpi tentang perdamaian dan merupakan usaha merealisasikan mimpi tersebut. Memang, selayaknya Konflik dan integrasi, dipandang bukan sesuatu yang berlawanan, tetapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses umum yang sama. Bahwa konflik secara alami akan menuju integrasi, dan antagonisme cenderung - mudah-mudahan- menuju ke arah menghapus dirinya sendiri (self elimination) dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial.

Pilkada Gubernur Sulsel, yang kemudian akan disusul Pilkada Bupati/Walikota, selayaknya dapat membangun pembelajaran politik yang semakin cerdas, berwawasan, dan semakin memperluas partisipasi politik rakyat secara lebih substansial, disamping bentuk-bentuk prosedural yang sudah berjalan. Antagonisme politik yang lahir dalam berbagai bentuk kelompok, simbol, dan ideologi, selayaknya tidak membuat kita berkubang dalam lumpur konflik yang berdarah, tetapi dapat terus melaju kearah prosesi-prosesi integrasi politik, yang berhasil membentuk harmoni sosial-politik yang semakin beradab.

1 komentar:

  1. Ketika muncul antagonisme politik di permukaan masyarakat,secara terus menerus maka menandakan bahwa ada kekawatiran diri yang berlebihan,sehingga mencapai puncak (wrong decition taken)sehingga terjadilah yang namanya Self determination..disitulah terjadi keretakan politik untuk selamanya...Oleh Filomena Oliveira (Teodora).

    BalasHapus