Jumat, 14 Maret 2008

PERUBAHAN EKONOMI DAN PERSAINGAN GLOBAL

Dr. M. Idrus Taba, S.E.

Dunia saat ini sedang dalam proses perubahan cepat menuju sebuah tatanan ekonomi di abad 21 yang dicirikan oleh ekonomi dan perdagangan serta investasi yang bebas dan terbuka. Lingkungan dan struktur sosial ekonomi dunia telah bergeser jauh dibanding abad sebelumnya. Demikian pula strategi, struktur, dan sistem manajemen organisasi bisnis telah berubah sangat cepat.
Lanskap baru tengah muncul diseluruh dunia bisnis: batas-batas lama ekonomi dan pasar nasional bertekuk lutut kepada globalisasi ketika dinding-dinding kantor tradisional harus menyerah kepada panorama baru yang tanpa batas (borderless). Struktur hirarkis korporasi yang kita kenal sebelumnya yang menyerupai infrastruktur ”elektromekanikal” ekonomi manufaktur telah gugur dan digantikan dengan jaringan kerja horisontal yang lebih ramping yang dimungkinkan oleh adanya infrastruktur digital era informasi. Pola hubungan jangka panjang majikan-pekerja juga runtuh ketika SDM perusahaan itu sendiri terfragmentasi menjadi satuan-satuan baru yang terpisah dan dinamis yang mengubah makna mendasar dari pekerjaan, kesempatan kerja, dan bahkan produk (Devereaux & Johansen,1996).

Terdapat empat paradigma baru yang tengah melanda di bawah permukaan yang menyemburkan larva-larva ”surga ekonomi baru” . Hal ini merupakan isyarat perubahan eksternal: politik, ekonomi, sosial, teknologi, budaya yang menyatu dan muncul kepermukaan dan mengubah kontur dunia kerja, meninggalkan kita dengan pasar baru, institusi korporat baru untuk melayani pasar baru itu, dan pekerjaan baru untuk menghasilkan barang-barang baru bagi konsumen baru dunia. Keempat paradigma tersebut adalah konsumen global, korporasi global, kesempatan kerja global, pengetahuan sebagai produk global.

Konsumen Global
Nyaris tidak ada satupun gelombang ekonomi yang memberi kontribusi paling besar terhadap realitas global baru ketimbang ekspansi eksplosif pasar konsumen kelas menengah dikawasan-kawasan yang sebelumnya berada di luar jangkauan bisnis kecuali beberapa bisnis lokal saja. Negara berkembang, yang sebelumnya terseok dalam kehidupan yang nyaris subsisten, telah melaju dengan memunculkan kelas menengah yang tangguh didukung ekspor dengan demand ekonomi yang meningkat. Efek global ini akan semakin berkembang pada dasawarsa mendatang. Meskipun sebagian besar konsumen kelas menengah (pendapatan $25.000/tahun) masih didominasi Amerika Utara (AS, Canada), Jepang, dan Eropa (Barat), tetapi diperkirakan pertumbuhan besar akan terjadi di Eropa (Timur), Asia (diluar Jepang), dan Amerika Latin. Kawasan ini yang memiliki 18% kelas konsumen global , diproyeksikan tahun 2010 akan meningkat perannya menjadi sepertiga atau 110 juta keluarga berkat laju pertumbuhan rata-rata sebesar 5%, dibanding pertumbuhan tahunan rata-rata 2% untuk kelas konsumen di negara-negara industri. Jadi dimasa depan, kawasan ini akan menjadi pasar konsumen yang nyaris sebesar pasar konsumen Eropa dan Amerika Serikat saat ini (Sesit, 2002). Menakar fenomena tersebut, apa implikasi bisnis di masa depan?

Pasar konsumen global di masa depan akan menyajikan tantangan disetiap aspek: teknologi, manajerial, bahasa. Tetapi yang paling mendasar adalah mencuatnya multikulturalisme sebagai sebuah fakta kehidupan yang harus dipandang dalam perspektif positip. Hal ini akan menuntut perubahan sikap besar-besaran dari norma-norma monokulturalisme yang menjunjung tinggi keseragaman dan pandangan yang kaku bahwa setiap masalah mempunyai satu solusi terbaik. Hal ini kemudian menjadikan kompetensi budaya sebagai suatu ketrampilan manajemen kunci.

Korporasi Global
Paradigma kedua adalah pada struktur korporasi. Korporasi-korporasi dunia yang hampir duaratus tahun menguasai dunia bisnis, sekarang, ketika teknologi tua yang melayani mereka dan pasar-pasar tua yang mereka layani telah berubah dalam sekejap, raksasa-raksasa tambun bergelambir dan penuh lemak ini telah terjebak dalam efek ”dinosaurus”: mereka tidak mampu bergerak atau berkembang cepat untuk bersaing dengan ”predator” bergigi runcing yang lebih kecil dan lebih cepat dalam belantara global. Untuk bertahan hidup, strategi penciutan radikal, reorganisasi, dan penciutan jaringan kemitraan dan aliansi strategik adalah pilihan logis yang memang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi. Turbulensi ini telah memorak-morandakan semua tata hubungan, kebiasan kerja, dan ikatan majikan-karyawan korporat didunia lama dalam banyak kerancuan, kegelisahan, dan ketakutan besar-besaran. Teknologi dan kekuatan sentrifugal yang diciptakan oleh persaingan dan ekspansi pasar global telah melemparkan fungsi dan misi struktur korporat tradisional jauh dari pusat kekuatan dan pengambilan keputusan strategik. Hirarki vertikal telah mendatar. Manajemen menengah menghilang. Bahkan konsep kantor sebagai ruang-ruang sempit di gedung pencakar langit mulai meluntur ketika para manajer mulai bekerja dalam suatu moda” kapan dan dimana saja”, berhubungan dengan rekan-rekan satu tim dan perusahaan lain melalui jejaring elektronik (e-mail), konfrensi jarak jauh, serta jaringan lokal tapi area yang luas.
Mengingat semakin berkembangnya pasar global dan besarnya tekanan perusahaan global yang lebih kecil, lebih inovatif, dan lincah, tidak mengherankan jika banyak perusahaan transnasional dan multinasional terbesar bergulat untuk membongkar bentuk cetakan mereka melalui strategi downsizing, outsoursing, strategic aliance, joint venture. Kesemuanya ini cenderung mengubah bentuk korporasi dengan mengaburkan batas-batas organisasi dan merampingkan hirarki menjadi suatu pembagian tenaga kerja bukan berdasarkan nama jabatan dan wewenang melainkan lebih berdasarkan keahlian dan pengetahuan spesialisasi. Gelombang penciutan perusahaan di awal 1990-an hingga kini telah menimbulkan kecenderungan untuk menjadi lebih ramping dan berisi. Berbagai survai 1992-2003, menemukan bahwa 40% hingga 65% perusahaan-perusahaan di AS memangkas jumlah SDM mereka. Bahkan, pada industri manufaktur, sudah berlangsung satu dasawarsa, dimulai sejak 1970-an. Industri ”pengetahuan” seperti Apple bekerja dengan 15.000 karyawan (1993) yang terus menurun. Bandingkan dengan IBM yang memiliki 300.000 karyawan. Perusahaan Bioteknologi yang lebih dekat ke lini ”produk” masa depan, jauh lebih kecil. Genentech, yang terbesar, hanya mempekerjakan 2500 orang tahun 2000.

Kesempatan Kerja Global
Paradigma ketiga adalah kesempatan kerja. Restrukturisasi organisasi, pada sisi lain, menyebabkan terfragmentasinya SDM. Suatu fenomena yang meliputi; lebih singkatnya jabatan, beragamnya jenis hubungan pekerjaan yang baru, meningkatnya keragaman budaya dikalangan pekerja. Hubungan majikan-pekerja yang dulunya bisa lama, sekarang menjadi singkat. Pekerja menghabiskan waktu lebih singkat dengan majikan yang lebih banyak berdasarkan tata hubungan kerja yang baru (paruh waktu, kontrak, temporer, negosiasi lainnya).
Dalam jejaring keragaman dan fragmentasi SDM pekerja yang makin rumit dan menjadi ciri bisnis global seperti: peta bahasa, kultur, sejarah, gaya kreasi, tradisi dan hubungan kekaryawanan. Timbul pertanyaan, bagaimana para pekerja saling mengidentifikasi sesama mereka? Bagaimana membangun loyalitas dan komitmen dalam ranah yang begitu licin?. Disini diperlukan pengetahuan dan kefasihan lintas budaya, lintas fungsional, multibahasa yang merupakan salah satu asset paling berharga dalam lanskap manajerial, dimanapun seseorang bekerja; dalam organisasi global, regional, ataupun nasional. Kedepan, para pekerja lebih mengidentifikasi dirinya dengan profesinya, karyanya, pendidikannya, keahliannya, ketimbang dengan majikan mereka. Para pekerja informasi yang semakin canggih akan mengubah hubungan tawar-menawar majikan-pekerja, karena mereka telah memiliki sendiri sarana produksi (pengetahuan dan informasi) dan memiliki akses luas keperalatan itu. Dengan alat komputasi dan komunikasi yang makin ampuh, makin banyak pekerja yang akan memilih menciptakan dan menjual jasa, bukan sekedar menjual tenaganya sebagai pekerja. SDM seperti ini dalam perusahaan akan menjadi asset vital yang akan menjadi tempat bergantungnya harapan masa depan perusahaan besar, jika mereka ingin tetap dalam jalur persaingan dalam lingkungan global.

Pengetahuan Sebagai Produk Global
Produk tanpa-wujud (intangible) seperti gagasan, proses, informasi mulai mengambil alih peran yang makin penting dari perdagangan total dalam pasar global ekonomi informasi dari barang-barang tradisional berwujud (tangible) ekonomi manufaktur. Secara tradisional, alih-pengetahuan atau teknologi baru melintasi batas-batas negara tercakup dalam barang dan jasa yang dijual untuk digunakan disuatu negara asing. Tetapi kini semakin banyak alih pengetahuan terjadi dalam bentuk yang lebih langsung: misalnya dengan mengalihkan fasilitas R&D dan manusia melintasi batas-batas negara. Juga mengalihkan hak untuk menggunakan blue-print atau proses kepada negara tetangga sehingga produsen lokal dapat membuat sendiri produk atau jasa.
Walaupun saat ini pembayaran lisensi atau royalti relatif masih rendah, sekitar 2% dari total perdagangan internasional, tetapi ia tumbuh 75% lebih cepat dari pada perdagangan dunia dan 50% lebih cepat daripada total output dunia selama satu dasawarsa (World Investment Report, 2002). Produsen melihat bahwa adalah lebih efisien untuk mengalihkan gagasan dengan membiarkan negara lain memperoduksi barang dan jasa sedekat mungkin dengan pasar lokal. Disinilah, negara-negara maju yang memiliki basis pada kekuatan ilmu dan teknologi akan menemukan peran dan pengaruhnya yang sangat kuat dalam persaingan ekonomi global. Pendapatan ekspor Amerika Serikat tumbuh 20% sampai 25% penghasilan royalti, lisensi, dan waralaba dari perusahaan multinasionalnya. Per dollar perdagangan, transfer multinasional AS antara lima dan sepuluh kali lipat bersifat teknologi ketimbang Jepang ataupun Jerman (Institute fot The Future, 1999).

Kesimpulan
Jika perusahaan ingin bertahan hidup daalam ketidakpastian yang tidak terelekkan diatas bentangan empat paradigma tersebut, mereka harus mengakui adanya kebutuhan untuk redesign secara fundamental cara-cara mereka berkomunikasi, belajar, dan mengkoordinasikan kegiatan Tim di dalam dan diantara organisasi. Globalisasi bukan sekedar ekspansi. Ini merupakan jagad yang sama sekali berbeda dengan ekologi yang membatalkan semua asumsi lama. Organisasi yang dapat cepat menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan baru akan berjaya. Sebaliknya, mereka yang mencoba untuk melakukan segala sesuatu dengan cara lama akan mengalami efek dinosaurus di zaman purba yang mengalami kepunahan.
Bagaimana kita membangun jembatan untuk dapat bertahan hidup di masa mendatang? Bagaimana perusahaan-perusahaan nasional yang tumbuh terlalu cepat, dan dibatasi oleh tradisi, belajar untuk melakukan perampingan, memutuskan hubungan dengan masa lalu, dan melangkahi batas-batas negara dan budaya yang sudah usang?. Tugas ini tergantung pada pemupukan pola pikir yang sama sekali baru tentang konsep pekerjaan itu sendiri, cara pekerjaan diorganisir, apa yang diproduksi dan untuk siapa?. Landasan berpikir ini akan bermuara pada kebutuhan bauran kompetensi (Competence mix) SDM di masa depan yang meliputi:
Kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi keberbagai macam kultur(multikulutralisme). Suatu kemampuan yang dimulai dengan pengetahuan tentang kultur itu sendiri.
Kompetensi teknologi di zaman menjamurnya teknologi informasi dan komunikasi secara cepat, dengan pemahaman mengenai bagaimana mereka dapat diterapkan untuk kerjasama Tim dalam lingkungan lintas budaya yang terdesentralisasi.
Ketrampilan kepemimpinan yang unik (model kepemimpinan transformasional menggantikan model transaksional) yang berkaitan dengan penciptaan dan pelestarian tim-tim bisnis dalam suatu lingkungan global.
Kompetensi seni ”memfasilitasi” yang rumit dan terus berkembang, atau melonggarkan proses-proses yang selalu kompleks dan kadang menyakitkan yang digunakan organisasi dan tim untuk menyelesaikan pekerjaan.

Terakhir, untuk direnungkan bersama. Segala perubahan lingkungan, merupakan sebuah proses yang harus diterjemahkan oleh manusia melalui pembelajaran terus menerus. Dan manusia selalu berhasil mengatasi setiap krisis dizamannya, disejarahnya, karena kemampuannya untuk berubah dan belajar. Belajar dan belajar adalah esensi hidup untuk meningkatkan kualitas kemanusian kita.

ANTAGONISME POLITIK: PERSPEKTIF PILKADA DI SULSEL

Oleh: M. Idrus Taba

Sulsel merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang telah menyelenggarakan Pilkada Gubernur paling eksotis dan menawan di Indonesia. Eksotis, karena memiliki daya tarik luar biasa yang melibatkan emosi masyarakat secara luas. Menawan, karena KPU sebagai penyelenggara berhasil menggiring prosesi tahapan secara sukses, dan masyarakat pendukung kandidat dapat menampilkan kedewasaan berdemokrasi tanpa harus berkubang dalam lumpur berdarah-darah. Juga, para para kandidat, secara khusus Calon terpilih versi KPU Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang yang tetap berada dijalur benar dalam menyikapi masa “injury time” putusan PK Mahkamah Agung yang belum juga meniup peluit akhir pertandingan. Namun disisi lain, mozaik demokrasi di Sulsel juga memberi pelajaran berharga, bahwa putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Pilkada Ulang, mencuatkan kecemasan yang disebut oleh Maurice Duverger (2002) sebagai antagonisme politik dalam tataran sikap dan perilaku individu serta kolektivisme dalam tataran institusi politik.

Antagonisme Politik
Antagonisme politik menurut Duverger merupakan unsur yang paling penting dalam politik; karena antagonisme ada, maka harus ada usaha (berbagai komunitas/kelompok lawan) untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya guna mencapai integrasi sosial. Sudut pandang antagonisme politik, bagi kaum konservati tradisional; adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan untuk menempatkan “elite”-mereka yang mampu melaksanakan kekuasaan- melawan “massa”- mereka yang menolak untuk mengakui superioritas alami dari elite dan haknya untuk memerintah. Artinya, ada ras-ras superior, yang ditentukan untuk berkuasa, dan ras-ras inferior yang bisa berpartisipasi dalam proses peradaban hanya dibawah bimbingan ras-ras superior. Bagi kaum liberal, menolak paham tentang ketidaksamaan alami dikalangan kelompok-kelompok sosial atau ras. Mereka melihat perjuangan politik sama seperti perjuangan ekonomi: berebut sumberdaya yang terbatas atas pemuasan kebutuhan yang tidak terperi, dimana setiap orang mencoba meraih keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya dengan merugikan orang lain. Disini homo politicus, tidaklah berbeda dengan homo economicus. Pergumulan politik mempunyai motif yang sama dengan seperti persaingan ekonomi dalam kondisi yang disebut struggle for life. Sedangkan bagi kaum Marxis, antagonisme politik, hakekatnya juga bersifat ekonomis, tetapi mereka lebih tergantung pada sistem produksi daripada persaingan bagi benda-benda konsumsi. Keadaan teknologi menentukan cara berproduksi, pada gilirannya menghasilkan kelas-kelas sosial pemilik faktor produksi (kaum kapitalis) yang sangat dominan atas mereka yang hanya memiliki tenaga saja (kaum pekerja). Kaum kapitalis akan mempertahankan terus dominasinya atas kaum tidak berpunya itu yang secara alami akan menolak mati-matian penindasan tersebut. Konsekuensinya, kata Duverger, perjuangan politik disebabkan perjuangan kelas.
Selain ketiga pandangan tersebut, juga ditandai dengan lahirnya teori-teori psikoanalisa yang menjelaskan motivasi psikologis tentang pergolakan-pergolakan politik. Konflik-konflik batin, misalnya, menghasilkan frustrasi yang berkembang kearah kecenderungan agresi dan dominasi. Bahwa homo politicus: keuntungan material dari kekuasaan bukanlah selalu motif utama yang mendorong manusia untuk mengejarnya.

Sebab-Sebab Antagonisme Politik
Secara katagorikal, antagonisme politik dibedakan pada tingkat individu seperti kecerdasan pribadi dan faktor psikologi serta lainnya pada tingkatan kolektif seperti faktor-faktor rasial, perbedaan di dalam kelas-kelas sosial, dan faktor-faktor sosiokultural. Setiap katagori sesuai dengan sebuah bentuk perjuangan politik. Perjuangan yang berputar disekeliling kekuasaan terjadi diantara individu-individu dalam pertentangan yang bersaing mendapatkan portofolio kabinet, kursi parlementer, pos menteri, berbagai jabatan publik dan sebagainya. Dalam konteks lebih luas, konflik-konflik individual ditingkatkan magnitudenya oleh konflik-konflik universal antar kelompok di dalam masyarakat- ras, kelas, komunitas, lokal korporasi, bangsa-bangsa dan seterusnya. Dua jenis kepentingan perjuangan -individu dan kolektif- menjadi campur baur. Arti pentingnya kemudian ditafsirkan secara berbeda oleh ideologi politik yang dianut: ideologi liberal terutama mempertimbangkan konflik-konflik individual dan mengabaikan konflik kolektif; ideologi sosialis dan konservatif berbuat persis sebaliknya, yang pertama menekankan konflik-konflik kelas, dan yang kedua, konflik diantara ras-ras atau “kelompok horizontal” (bangsa-bangsa, agama-agama,dan semacamnya).

Antagonisme Politik Pilkada Sulsel
Kerasnya “perlawanan” kubu Asmara untuk tetap menyoal kekalahnnya hingga kepanggung Mahkamah Agung yang membuat tahapan Pilkada memasuki “injury time”, dapat disimak sebagai sebab-sebab individual. Ada dua jenis sebab-sebab individual; pertama, perbedaan di dalam bakat alami manusia yang merasa “lebih berbakat” daripada “orang lain” dan cenderung merasa di atas angin untuk tetap menjamin kekuasaannya. Kedua, tergantung pada kecenderungan psikologis, yaitu kecenderungan untuk tetap menekankan “dominasi dan kepatuhan” kepada lawannya, sementara lawannya kurang dapat menerima kondisi taklukan. Kedua tokoh Sayang dan Asmara berada pada kondisi tersebut.

Bakat-bakat individual/pribadi ini berasal dari faktor-faktor biologis menurut konsep Charles Darwin tentang struggle for life. Menurut Darwin dalam Origin of Species (1859), setiap individu harus bertempur melawan yang lain untuk kelangsungan hidup, dan hanya yang paling mampu berhasil. Proses seleksi alam ini menjamin terpeliharanya spesis maupun pemeliharaannya. Tokoh SYL dan HAS, sedang berada di medan struggle for life, karena mereka masing-masing sebagai pemimpin sebuah “koloni” yang memiliki prinsip: kekalahan berarti musnahnya spesis dan koloni. Teori Darwin adalah ekuivalen biologis dari filsafat Borjuis yang doktrinnya tentang persaingan bebas adalah manifestasi ekonomisnya; perjuangan bagi eksistensi dengan demikian menjelman menjadi perjuangan untuk memuaskan kebutuhan manusia. Didalam arena politik, dia menjadi “perjuangan untuk posisi utama” (struggle for preeminence) (G.Mosca), dan ini menjadi basis teori tentang Elite: bahwa persaingan merebut kekuasaan akan memunculkan yang terbaik, yang paling mampu, dan mereka yang mampu memerintah.

Pada kecenderungan psikologis, dikatakan bahwa antagonisme politik akibat dari frustrasi psikologis yang berhubungan dengan konflik dari masa kanak-kanak yang dini yang terkubur dalam alam tidak sadar. Bahwa pengalaman dari masa kanak-kanak mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan psikologis berikutnnya dari seorang individu. Dalam masa kanak-kanak yang dini, orang tua memegang peranan yang sangat penting; seorang pribadi merumuskan dirinya dalam hubungannya dengan masyarakat melalui mereka. Setelah itu, hubungan orang tua secara tidak sadar mempengaruhi semua hubungan sosialnya yang lain, terutama yang menyangkut otoritas. Kepatuhan pelaku politik untuk tetap berada di jalur hukum dan otoritas pada kondisi yang semakin menyesakkan dan membuka peluang untuk chaos, adalah refleksi psikologis hubungannya dengan orang tuanya. Sebaliknya, kondisi Psikologis pada pelaku politik yang “ngotot” memaksakan “golden ball” pada injury time, adalah prosesi kecemasan dari keterpaksaan atas hilangnya “surgawi” pada masa kanak-kanak yang oleh Sigmund Freud disebut infantile sexuality (seksualitas masa kanak-kanak). Kekuasaan, adalah surgawi yang akan pergi setelah Pilkada. Hal ini sangat mencemaskan. Pengalaman “traumatik” ini akan dibawanya kemasyarakat, dimana dia harus mengganti prinsip kesenangan dengan prinsip kenyataan, “realty principle”, yang berarti dia harus melepaskan kesenangan atau membatasinya dengan sangat keras. Dia tidak lagi menggenggam “rasa ketakutan” orang yang takut dimutasi atau non-job. Dia harus patuh pada peraturan, kewajiban dan larangan yang memaksanya. Konflik antara tuntutan masyarakat dan keinginan untuk kesenangan ini menghasilkan frustrasi yang kemudian menjadi sebab fundamental bagi lahirnya antagonisme sosial.

Dari Antagonisme menuju Integrasi

Integrasi politik tentu menjadi harapan setiap pelaku politik yang sehat. Namun, haruskah integrasi politik dilalui terlebih dahulu oleh jalan “rusak” yang disebut konflik?. Memang ada ambivalensi antara Konflik dan integrasi. Walau berhadapan, tapi keduanya juga saling melengkapi. Antagonisme politik menghasilkan konflik, tetapi, juga sekaligus menolong membatasi konflik dan meningkatkan integrasi. Setiap perjuangan berisikan mimpi tentang perdamaian dan merupakan usaha merealisasikan mimpi tersebut. Memang, selayaknya Konflik dan integrasi, dipandang bukan sesuatu yang berlawanan, tetapi menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses umum yang sama. Bahwa konflik secara alami akan menuju integrasi, dan antagonisme cenderung - mudah-mudahan- menuju ke arah menghapus dirinya sendiri (self elimination) dan berikutnya menghasilkan harmoni sosial.

Pilkada Gubernur Sulsel, yang kemudian akan disusul Pilkada Bupati/Walikota, selayaknya dapat membangun pembelajaran politik yang semakin cerdas, berwawasan, dan semakin memperluas partisipasi politik rakyat secara lebih substansial, disamping bentuk-bentuk prosedural yang sudah berjalan. Antagonisme politik yang lahir dalam berbagai bentuk kelompok, simbol, dan ideologi, selayaknya tidak membuat kita berkubang dalam lumpur konflik yang berdarah, tetapi dapat terus melaju kearah prosesi-prosesi integrasi politik, yang berhasil membentuk harmoni sosial-politik yang semakin beradab.

Kamis, 13 Maret 2008

USAHA KECIL BERBASIS KERAKYATAN

Oleh: M. Idrus Taba
(Pengelola Sekolah Demokrasi Jeneponto)

Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 lalu, yang diawali dengan krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan krisis moneter telah mengakibatkan suatu efek domino terhadap perekonomian Indonesia. Semua lapisan masyarakat dan hampir semua kegiatan-kegaiatn ekonomi mengalami krisis. Kita dikagetkan dengan runtuhnya satu persatu raksasa konglomerat di Indonesia, yang dari luar begitu kokoh, karena selain usahanya yang ”menggurita” juga jaringan kroninya dengan pemerintah Orba dan Militer, membuatnya seakan-akan tidak akah goyah oleh krisis. Tetapi kenyataan berbicara lain. Usaha besar konglomerasi yang begitu dimanjakan dengan kredit Likuiditas BI, ternyata sarat dengan benang kusut KKN. Kemudian kita dikagetkan pula dengan tetap tegarnya usaha kecil dan menengah menyikapi berbagai badai krisis, dengan tetap survive. Sektor yang ”dengan setengah hati” dibangun oleh pemerintah, sejak Orba hingga Kabinet Pelanginya Megawati saat ini. Walaupun sempat mencuat perjuangan ”ekonomi kerakyatan” ala Adi Sasono dikabinet Habibie, tetapi hanya menjadi ”pelipur lara” sesaat, terkesan elit politik lebih terpesona model kapitalisme, yang mengacu perputaran ekonomi tinggi, modal besar, skill tinggi. Sektor garapan: industri hulu-hilir yang memberikan Return on investment (ROI) tinggi dan cepat. Dibanding sektor UKM yang lebih mengutamakan ”pemerataan” dengan konsekwensi perputaran ekonomi relatif lamban. Keterpesonaan kita terhadap model kapitalisme” seharusnya dapat ditepis dan mencoba ekonomi kerakyatan sebagai sebuah alternatif.
Sejak reformasi, terutama sejak SI-MPR 1998, menjadi populer istilah Ekonomi Kerakyatan sebagai sistem ekonomi yang harus diterapkan di Indonesia, yaitu sistem ekonomi yang demokratis yang melibatkan seluruh kekuatan ekonomi rakyat. Mengapa ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi rakyat atau ekonomi Pancasila? Sebabnya adalah karena kata ekonomi rakyat dianggap berkonotasi komunis seperti di RRC (Republik Rakyat Cina), sedangkan ekonomi Pancasila dianggap telah dilaksanakan selama Orde Baru. Sistem Ekonomi Pancasila berisi aturan main kehidupan ekonomi yang mengacu pada ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, pemerintah dan masyarakat memihak pada (kepentingan) ekonomi rakyat sehingga terwujud kemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan. Inilah sistem ekonomi kerakyatan yang demokratis yang melibatkan semua orang dalam proses produksi dan hasilnya juga dinikmati oleh semua warga masyarakat.Ekonomi Indonesia yang “sosialistik” sampai 1966 berubah menjadi “kapitalistik” bersamaan dengan berakhirnya Orde Lama (1959-1966). Selama Orde Baru (1966-1998) sistem ekonomi dinyatakan didasarkan pada Pancasila dan kekeluargaan yang mengacu pasal 33 UUD 1945, tetapi dalam praktek meninggalkan ajaran moral, tidak demokratis, dan tidak adil. Ketidakadilan ekonomi dan sosial sebagai akibat dari penyimpangan/penyelewengan Pancasila dan asas kekeluargaan telah mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tajam yang selanjutnya menjadi salah satu sumber utama krisis moneter tahun 1997. Aturan main sistem ekonomi Pancasila yang lebih ditekankan pada sila ke-4 Kerakyatan (yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan) menjadi slogan baru yang diperjuangkan sejak reformasi. Melalui gerakan reformasi banyak kalangan berharap hukum dan moral dapat dijadikan landasan pikir dan landasan kerja. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya-upaya dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sub-sistem dari sistem ekonomi Pancasila, yang diharapkan mampu meredam ekses kehidupan ekonomi yang liberal.
Usaha Kecil dan Menengah ( UKM) merupakan ikon ekonomi kerakyatan yang telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia. Alasannya, pertama, ekonomi rakyat telah berjasa dalam menahan krisis ekonomi secara signifikan. Ekonomi rakyat menampung banyak pengangguran yang tergusur akibat krisis (menurut BPS tahun 2000 menyerap 88,7% tenaga kerja). Bahkan ekonomi rakyat, terutama yang berorientasi ekspor dengan bahan baku dalam negeri, menunjukkan eksistensinya yang kokoh di kala krisis. Kedua, secara kualitatif pelaku sektor ekonomi kerakyatan, di mana di dalamnya tertampung koperasi dan UKM, amat tinggi. Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah usaha kecil dan koperasi di Indonesia 99,85% dimana usaha terbesar pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, sisanya baru usaha besar dan konglomerat (0,2%), dengan rata-rata pertumbuhan dari – 7,4% (1997/1998) menjadi 3% (1998-2000).
Dari segi penciptaan kesempatan kerja UKM di Indonesia sangat penting. Di satu sisi, jumlah angkatan kerja di Indonesia sangat berlimpah mengikuti jumlah penduduk yang besar, sementara dipihak lain , usaha besar (UB) tidak mampu menyerap semua pencari kerja, karena kelompok usaha besar sangat padat modal, pendidikan dengan skill tinggi, dan pengalaman yang cukup. Sedangkan UKM sebagian besar pekerjanya berpendidikan rendah. Data dari Menegkop & UKM (2000) menununjukkan tahun 2000, lebih dari 66 juta orang bekerja disektor UK/UKM atau 99,44% dari total kesempatan kerja di Indonesia.
Ketika krisis menggempur Indonesia sejak 1997, bukan usaha Konglomerat yang menjadi penyelamat bangsa dari kemungkinan chaos yang yang lebih parah, tetapi UK/UKM yang masih memberi darah bagi pendapatan rumah tangga bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Bahkan, menurut ulasan majalah Swasembada, sejak 1990, usaha konglomerat dari pertarungannya di luar negeri hanya berhasil memasukkan devisa sebesar 5% (Swa, 1990).
Walaupun dari sisi lain, kontribusi UK/UKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) secara total relatif masih kecil (39,8%) dibanding usaha besar (60,2%). Namun demikian sumbangan UK/UKM mengalami kenaikan dari 40% (2000) dibanding sebelumnya 38% (1997), dengan kontribusi terbesar masih dari sektor pertanian yang memang ”dikerubuti” UK/UKM sejak dulu. Usaha besar, sangat dominan kontribusinya di sektor pertambangan (90%), manufakturing (72%), listrik, gas, dan air (91%) serta jasa-jasa (64%). Hal ini dikarenakan sejumlah permasalahan seperti produktivitas tenaga kerja yang rendah, biaya transaksi yang tinggi , iklim usaha yang tidak kondusif, rendahnya kualitas SDM, penggunaan teknologi ketinggalan, informasi pemasaran, kekurangan modal, dan keterbatasan bahan baku.

Permasalahan dan Pembahasan
Kondisi UKM di atas sudah menjadi persoalan klasik dan klise, dan sudah dibahas nyaris disetiap pertemuan yang membicarakan masalah UKM serta sudah menjadi ”kalimat standar” disetiap instansi terkait. Tetapi, berkali pula, kita tidak pernah beringsut lebih jauh sejak kemarin.
Penelitian lintas negara di Asia tenggara oleh Akrasanee (1988) menunjukkan bahwa masalah pemasaran adalah termasuk growth constraints yang dihadapi oleh banyak pengusaha UKM, utamanya menyangkut mutu dan kegiatan promosi, persaingan baik pasar domestik lebih-lebih pasar ekspor. Efek aspek pemasaran ini adalah akses ke lembaga keuangan menjadi terhambat. Berbagai aturan main di pasar global, menjadi faktor penghambat lainnya, seperti tata niaga yang diatur WTO, jaringan kerjasama AFTA, NAFTA, APEC, UE serta kesepakatan internasional menyangkut lingkungan hidup dan HAM, monopoli dan politik dumping.
Masalah utama dalam hal Finansial ada dua; mobilisasi modal awal dan akses ke modal kerja dan modal jangka panjang untuk investasi demi pertumbuhan output jangka panjang. Mengharapkan modal sendiri tidak cukup. Sumber dana dari bank melalui skim-skim kredit masih jauh dari harapan karena sejumlah permasalahan: lokasi bank masih jauh dari jangkauan masyarakat, persyaratan masih dirasakan berat, urusan administrasi yang ”bertele-tele” bagi alam pikir pengusaha kecil kita, dan kurangnya informasi mengenai skim kredit.
Keterbatasan SDM juga menjadi masalah sangat serius, dan ”apa boleh buat” bagi kondisi UKM kita. Utamanya dari aspek penumbuhan jiwa entrepreneurship, organisasi dan manajemen, teknik produksi, pengembangan produk, desain, quality control, akuntansi, data processing, teknik pemasaran dan riset pasar. Walaupun tidak ada data mengenai tingkat pendidikan di UKM, tetapi jika kita menyimak data BPS tahun 2001 mengenai tingkat pendidikan angkatan kerja yang masuk kategori; tidak pernah sekolah, pernah sekolah SD, tamat SD, Tamat SMP, dan Tamat SLTA yang sebesar 90,3%, maka kita sudah dapat mempekirakan kualitas SDM disektor UKM.
Kendala bahan baku, menyeret banyak usaha UKM yang gulung tikar, utamanya ketika masa krisis berat melanda Indonesia. Banyak sentra-sentra industri kecil menengah disejumlah subsektor industri manufaktur seperti sepatu dan tekstil mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya, atau karena harganya yang terkonversi dalam dolar. Contoh lain, tahun 1998, sebanyak 200 pengusaha tempe di Banjarnegara, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat terpaksa tutup karena harga kedelai impor sangat mahal, juga pengusaha rokok di Jawa Tengah berhenti berproduksi karena kesulitan bahan baku. Di Sulawesi Selatan, industri rotan juga mengalami hal yang sama.
Keterbatasan dalam teknologi, adalah suatu hal yang dilematis. UKM selalu dikategorikan dengan teknologi ”sunset” (ketinggalan), manual, produktivitas rendah, mesin tua peninggalan belanda dan sebagainya. Keinginan meraih teknologi tinggi dengan produktivitas tinggi, membutuhkan biaya tinggi dan Skill (SDM) yang juga memadai, serta ongkos pemeliharaan dan pelatihan tenaga kerja agar kemampuannya tidak kedaluarsa serta life cicle teknologi yang serba cepat. Kesemuanya itu, membutuhkan satu kata kunci: modal, yang sedari awal kita sadari bahwa kita tidak punya.
Kearah kebijakan dan Implementasi
Jika menyimak GBHN 1999-2004, terdapat 28 butir arah kebijakan pembangunan nasional, dengan tiga kerangka kerja utama (Menegkop & UKM, 2000):
1. Sistim ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar yang adil, pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas sosial, kualitas hidup, lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Di bawah kerangka ini, memberdayakan KUKM menjadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha yang dilakukan: (a) Sistim persaingan yang adil, (b) peranan pemerintah dalam sistem pasar dan perpajakan, (c) kesempatan berusaha bagi KUKM, (d) kemitraan, (e) peningkatan penerimaan.
2. Penciptaan iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan KUKM sehingga efisien, produktif, dan kompetitif.
3. Peningkatan kapasitas KUKM untuk mampu bersaing di pasar global.

Landasan kebijakan umum di atas sebetulnya telah memberikan arah yang cukup jelas akan pemosisian UKM dalam pembangunan ekonomi nasional. Persoalannya adalah, sejauhmana implementasi ril dilapangan yang dirasakan dan dipersepsikan oleh masyarakat pelaku UKM sudah sejalan dengan arah kebijakan tersebut. Kenyataan mungkin belum berbicara banyak.
Secara makro, kebijakan pemerintah ”masih bingung” mengimplementasikan secara serius dan tidak ditunjang political will para elit politik untuk mewujudkannya. Ada empat alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001, Presiden Megawati, mengungkapkan keraguannya atas konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat. Menurutnya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya belum jelas benar pengertian lingkup, dan isi konsepnya. Bahkan, masih bersifat ”membingungkan” masyarakat. Pernyataan presiden tersebut, sengaja atau tidak, merupakan semacam upaya dekonstruksi (kalau bukan mementahkan kembali) sistem ekonomi kerakyatan. Kedua, perimbangan APBN yang belum berpihak kepada ekonomi rakyat. Hal ini bisa dibaca dari anggaran yang diberikan pada sektor koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang masih amat belum memadai. Urusan koperasi dan pengembangan UKM, hanya tertangani oleh kementerian negara yang ruang geraknya amat terbatas. Belum ditambah lagi dengan pembubaran Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (BPSKPKM) yang memiliki arti penting dalam mengoperasionalisasikan konsep ekonomi kerakyatan. Ketiga, pembaruan paket program kebijakan ekonomi dan keuangan antara pemerintah Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF), tanggal 27 Agustus 2001, tampaknya tidak satu pun dari butir kesepakatan yang ada, menyebutkan keinginan untuk memperkuat basis ekonomi rakyat. Keempat, kebijakan pemerintah pun belum pula menunjukkan keberpihakannya pada petani yang merupakan rakyat kebanyakan. Misalnya, dengan melakukan impor 500.000 ton beras dari Vietnam . Pelaku elit politik ditingkat eksekutif dan legislatif belum secara serius menjadikan ekonomi kerakyatan sebagai basis UKM menjadi media perjuangan dalam sistim perekonomian bangsa. Paradigma ekonomi rente yang terjalin tali-temali antara pemilik modal dari luar, pelaku bisnis usaha besar (UB), birokrat, dan elit politik, lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi yang mempunyai payback period lebih cepat, sehingga lebih menguntungkan secara finansial dan jangka pendek. Tetapi, apa arti ”sebuah jangka panjang” bagi mereka yang menatap hanya sejengkal ke depan. Perjuangan membangun ekonomi yang berbasiskan kekuatan dan kemampuan masyarakat secara rill serta bersumber pada SDA yang dimiliki membutuhkan keberanian, kemauan, dan kerja keras dan mungkin ”agak membosankan” bagi sebagian orang. Kesimpulan
Salah satu tujuan utama dari proses pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik materiil maupun spirituil secara adil dan merata. Tujuan ini akan tercapai bila bangsa Indonesia mampu menanggulangi kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memberdayakan usaha mikro, kecil dan menengah karena usaha ini telah mampu membuktikan diri sebagai landasan perekonomian Indonesia melalui ketahanan diri yang dibuktikan selama krisis ekonomi melanda Indonesia. Selain itu UMKM merupakan sektor yang diperani oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Usaha pemberdayaan dan pengembangan UMKM dalam rangka penanggulangan kemiskinan ini tidak dapat dilakukan secara individual namun harus melibatkan berbagai stakeholder yang ada seperti pemerintah, dunia usaha, dan swasta yang merupakan sektor yang menjadi landasan perekonomian Indonesia, LSM, akademisi, lembaga-lembaga donor dan lain-lain.
Pengembangan UMKM dalam konteks penanggulangan kemiskinan tidak bisa lepas dari peran LKM karena LKM merupakan pihak yang selama ini mampu memberikan dukungan kepada UMKM khususnya dalam hal sumberdaya finansial di saat pihak perbankan komersial tidak mampu menjangkaunya karena karakteristik yang melekat pada UMKM sendiri. Berangkat dari fenomena ini maka tidak dapat dipungkiri bahwa pemberdayaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan LKM harus mencakup dua aspek, yaitu aspek regulasi dan penguatan kelembagaan. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri namun harus saling terkait dan mendukung sehingga mampu membentuk sinergi dalam mengembangkan UMKM yang diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan.
Pemerintah Daerah memiliki peran strategis dalam penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu daerah harus membentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan tingkat daerah sebagai forum koordinasi dan sinkronisasi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. KPK daerah harus mampu mengidentifikasi masalahnya sendiri, memecahkan masalah, melaksanakan program, mengevaluasi dan akhirnya menyempurnakan program sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah, yang tingkat intensitas dan sifatnya berbeda tidak hanya jenis produk atau pasar yang dilayani, tetapi juga berbeda antar wilayah/lokasi, antar sentra antar sektor, subsektor atau jenis kegiatan atau antar unit usaha dalam sub sektor yang sama. Namun terdapat masalah umum, klasik dan nyaris klise yaitu aspek modal, produksi, teknologi, bahan baku, pemasaran, dan SDM. Di tengah kompetisi global yang kerap bertindak ”kejam”, ekonomi kerakyatan, wajib perlu dilindungi oleh negara, bukan malah diterlantarkan. Artinya wilayah yang satu ini (ekonomi rakyat), tak bisa dibiarkan sendirian, dan tertatih-tatih begitu rupa menghadapi kompetisi global. Tidak hanya diperlukan perlindungan dan subsidi yang proporsional, tapi yang lebih penting adalah adanya political will dari pemerintah untuk menghormati dan sungguh-sungguh menegakkan sistem ekonomi kerakyatan. Maka, merupakan langkah mundur, bila pemerintah mencabut political will-nya dalam memajukan ekonomi kerakyatan. Hal ini tampaknya tidak akan menyelesaikan persoalan, justru, dalam banyak hal merupakan bumerang bagi upaya pemerintah memulihkan kondisi ekonomi nasional. Bila pemerintah saja tak mendukung pengembangan sistem ekonomi kerakyatan, lantas, rakyat dibiarkan begitu rupa, maka bagaimana jadinya kelak? Hampir bisa dipastikan, perekonomian rakyat menengah ke bawah akan makin terpuruk dilindas roda kompetisi global yang ”mengerikan”. Bila ini dibiarkan, boleh jadi hanya akan memperbesar biaya sosial yang harus dipikul. Adalah amat fatal bila kebijakan utama pemulihan ekonomi makro, harus menyingkirkan kebijakan ekonomi kerakyatan. Akan lebih runyam kondisinya bila, ternyata kebijakan pemulihan ekonomi makro gagal, sementara ekonomi kerakyatan telah terbengkalai akibat diabaikan keberadaannya.
Daftar Pustaka


Biro Pusat Statistik, 2000
Chossudovsky, Michel, 1997. The Globalization of Poverty: Impacts of IMF and World
Bank Reforms. Penang Malaysia, Third World Network.

GBHN, 1999-2004MacEwan, Arthur. 1999. Neo-Liberalism or Democracy?: Economic Strategy, Marketss, and Alternatives for the 21st Century, Pluto Press. Mubyarto & Daniel W. Bromley. 2002. A Development Alternative for Indonesia. Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press. Mubyarto, 2002. Ekonomi Pancasila. Yogyakarta, BPFE-UGM. Keen, Steve, 2001. Debunking Economics : the naked emperor of the social science. Annandale NSW, Pluto Press Australia Limited. Petras, James & Henry Veltmeyer, 2001. Globalization Unmasked: imperialism in 21st century. New York USA, Zed Books Ltd. Radius Prawiro, 1998. Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi: Pragmatisme dalam Aksi. Jakarta, Elex. Stiglitz, Joseph E., 2002. Globalization and Its Discontents. New York, W.W. Norton & Company, Inc.
Swasembada, 1990, Konglomerat hanya menyumbang 5%, Edisi spesial akhir tahun.

BANGSA PENJARAH: Sebuah Warisan Kulltural

Oleh: M. Idrus Taba
Dewan Pendiri Melania Foundation

Kekuasaan, yang mendorong motivasi seseorang untuk bertindak, bukan sex. Begitu setidaknya keluh Bertrand Russel, seorang Philosof dari Inggris, mencoba membantah Sigmund Freud si Pakar Psikoanalisa yang melihat ikhwal sex sebagai pendorong motivasi individu berperilaku. Barangkali Russel betul, atau memang Freud tidak salah. Bahwa Sex dan Kekuasaan bertemu dalam selingkuh paling mesra ketika seseorang atau suatu kaum, memegang palu. Ketika palu tergenggam kokoh di tangan, dan nyaris setiap orang mahfum dan mengamini, maka segala soal dilihatnya sebagai paku. Setidaknya begitu kira-kira seorang George W.Bush dan beberapa cheer leaders-nya: PM Inggris, Presiden Spanyol, PM. Australia, ketika melihat Iraq sebagai paku yang harus dimartir. Walaupun disitu hanya tersisa anak-anak, wanita, orang tua dan serdadu yang berusaha meneriakkan patriotisme, didasar hati yang bimbang.

Sebuah negeri berdaulat telah jatuh. Setelah 12 tahun digerogoti, tepatnya dipaksa secuil demi secuil daging, darah dan tulang anak-anak dan rakyat Iraq dikunyah oleh AS dan dunia atas nama melindungi kemanusiaan dari senjata kuman produksi seorang demagog: Saddam Hussein (yang hingga saat ini tidak pernah ditemukan). Hari itu kita menyaksikan sebuah prosesi penjarahan sebuah negeri secara paling menjijikkan dan memalukan yang dilakukan oleh sebuah negeri ,AS, yang telah memperoleh (setidaknya menurut klaimnya) magna summa cumlaude dalam demokrasi, hak azasi manusia dan penghargaan tertinggi atas nilai-nilai kemanusiaan. Sebuah negeri yang mengekspor keseluruh dunia produk bersopan santun dalam demokrasi dan hak azasi manusia, khususnya terhadap dunia yang dianggapnya aneh. Ya, negeri yang tak sepaham dengan dirinya dianggap aneh dan perlu dimusnahkan. Sebuah negeri, yang entah dari Tuhan mana dia memperoleh mandat untuk membom, membakar, membunuh rakyat sipil, anak-anak, perempuan, dan orang tua, yang tanpa dibunuhpun telah mengalami pembunuhan sistematis, setidaknya pada 12 tahun masa pengisiolasian Iraq. George W.Bush, yang digambarkan religius, entah mengutip dari Kitab Suci mana, dan suara Tuhan Siapa, ketika memulai pembantaian pukul 5 pagi di Iraq. Waktu dimana rakyat Iraq akan keluar rumah untuk mengais rezeki, atau makanan, dari yang tersisa setelah Perang Teluk I.
Hari ini, kita menyaksikan bahwa sejumlah logika, argumen, dan segala macam doktrin yang coba dibangun Bush dan dinyanyikan ke rakyatnya, kesekutunya, ke PBB, ke dunia bahwa invasi ke Iraq adalah sebuah tugas suci untuk membebaskan rakyat Iraq dari seorang Diktator yang suka bermain senjata kimia, dan untuk melindungi rakyat AS dari potensi ancaman eskternal dan untuk menghilangkan Negara terrorist di dunia, pada akhirnya menemukan wajahnya sendiri pada sebuah cermin kusam yang tidak pernah berubah: Kapitalisme. George W.Bush, atau AS atau Inggris atau Australia, akhirnya tak lebih dari bangsa penjarah. Rampok. Begal. Sebuah kultur warisan dari nenek moyangnya ratusan tahun lalu ketika menjarah tanah dan harta Suku Indian, suku Inca Maya , suku Aborigin, suku Maori, suku Africa, suku mesir kuno. Yang menyisakan kesengsaraan, kemiskinan, dan kepunahan suku bangsa itu di tanah kelahirannya. Suku Indian sekarang tinggal dalam komunitas konservasi di AS sambil menunggu kepunahannya, hari demi hari. Suku Maya di Mexico telah musnah disantap bangsa Spanyol dan portugis. Suku Aborigin, penduduknya mengalami pertumbuhan negative dan menjadi kasta terhina di Australia. Demikian pula suku Maori di Selandia Baru, tidak lebih baik nasibnya dari saudaranya di Australia. Lebih lagi Suku Africa yang tercabik dalam perang saudara tiada batas akibat penjarahan dan politik adu domba bangsa Eropa. Bangsa Mesir masih lebih terhormat karena berdaulat, tetapi tidak lebih dari manekin di bawah tekanan AS dan Israel. Jejak masa silam itu menyisakan sebuah hasil pembelajaran yang dipertontonkan secara massif di abad modern ini.
Sebuah bangsa pemburu proyek pertumbuhan , tak lebih memang. Setelah dengan susah payah mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang megap akibat persaingan global yang semakin ketat: karena ada Uni Eropa dan Jepang sebagai pemain kuat, dan setelah banyak negeri tidak dapat lagi dibodohi dan dipanasi untuk saling perang , maka AS dan sekutunya memunculkan metode baru tapi lama: luluh lantakkan sebuah negeri kaya atau miskin, jejerkan boneka-boneka politiknya, jarah minyaknya atu apa saja yang berharga, dan bagi konsesi proyeknya. Maka pertumbuhan pendapatan Korporat sejumlah perusahaan minyak di AS dan sekutunya akan meningkat. Ingat, pendukung dan Kabinet Bush, sebagian besar bergerak dalam industri perminyakan. Afganisthan di bawah Pemerintahan Taliban, merasakan bagaimana akibatnya ketika sebuah pipa minyak milik perusahaan AS (pemegang sahamnya Bush Senior) di trans Siberia yang akan melintasi wilayahnya tidak diberi izin. Dalam sekejap, Kabul luluh lantak. Dan sebuah pemerintahan Manekin dibangun. Di Iraq, pasca perang, sejumlah Manekin politik juga telah dijejer pada etalase politik negeri malang itu.

Sebuah metode yang agaknya hanya dapat kita pelajari di Text Book, tetapi tidak dapat dipraktikkan. Karena sejumlah faktor pendukungnya hanya dimiliki oleh AS: Negeri kaya, maju, ekonomi kuat, mesin perang canggih, mampu menyederhanakan persoalan (karena dianggap Iraq, atau Negara lainnya punya senjata kimia, punya teroris, maka harus dihancurkan), dan kepekatan hati seorang Presiden (yang otaknya pas-pasan, dan nuraninya terganggu) untuk melakukan pembantaian. Sebuah keunggulan komparartif yang akan menjadi kekuatan AS dalam memainkan persaingan bisnis Multi National Corporation di dunia. Jepang akan terpaksa manut, Eropa akan keder, Rusia, Jerman, Cina, atau Perancis mencoba bermain save, sambil melihat peluang ceruk pasar yang dapat dimasuki. Dunia ketiga yang tidak kaya, akan digantung atau bahkan disembelih terus nasibnya lewat guillotine IMF atau World Bank. Atau membombardirnya dengan issu-issu terorisme, anti demokrasi, anti hak azasi manusia, seperti di Indonesia. Sedangkan dunia Arab yang kaya minyak akan diskenariokan dalam peta-peta proyek Perang Teluk III, IV, V dan title-titel perang lainnya. Untuk menciptakan kesetiaan Negara-negara Arab taklukan seperti Saudi Arabia, Mesir, Kuwait dan para Emir korup di kawasan teluk, maka Anjing Buldog Israel terus dibiarkan menggonggong dan memangsa Bangsa Palestina sehingga tercipta terus menerus ketegangan dan ketakutan di wilayah itu. Ketika Bangsa Palestina melawan dengan intifadah dan Bom bunuh diri, dicap sebagai terrorist. Tapi ketika Israel meratakan tanah penduduk Palestina dan membunuhi rakyat sipil, AS menyebutnya pembelaan diri. AS memang selalu gagal memakai kacamata dengan dua lensa yang sama baiknya.

Apa yang tersisa dari negeri dongeng Bagdag, Iraq? Negeri pencipta mimpi kanak-kanak kita dari cerita seribu satu malam. Negeri permadani terbang yang dikemudikan si Anak Nakal Aladin bersama pacarnya Putri Yasmin dan Jin yang selalu setia menyediakan fasilitas. Tak ada lagi. The game is over kata Duta Besar Iraq di PBB kala itu. Setidaknya ketika menyaksikan patung Saddam dirubuhkan dan diinjak oleh massa yang menari-nari eufhoria sambil mengelukan pasukan invasi. Ketika masyarakat menjarah asset pemerintah, atau harta masyarakat lainnya, hal yang tidak terjadi ketika Kabul jatuh. Ketika chaos menjebak, dan masyarakat menjadi saling curiga dan beringas kemudian saling bunuh. Lalu AS, dengan enteng dan angkat bahu mengatakan mereka tidak bertanggungjawab atas huru-hara itu. Sebuah potret yang sangat muram.
Sementara di sana, jauh di Washington, para perampok telah menggelar hasil jarahannya di atas meja-meja proyek, konsesi, dan kapling otoritas. Sejumlah perusahaan MNC perminyakan yang turut menanam saham dalam Bursa Efek Perang Teluk., telah mengajukan proposal masing-masing atas ladang-ladang minyak dan pembangunan kembali Iraq. Pada akhirnya, memang, substansi invasi AS menemukan wajahnya dicermin yang sama : wajah kapitalisme. Penguasaan terhadap faktor-faktor produksi: modal, tanah, material, manusia, dengan cara mekanisme pasar, atau, cara lain: mekanisme perang. Nun di tanah gersang Iraq, diantara reruntuhan bangunan bercampur butir pasir yang telah lelah menyerap darah anak-anaknya, rakyat Iraq hari ke hari mungkin bergumam: besok, makan apa? Dan para Penjarah juga bergumam sama: Besok, makan siapa? Dan kita tahu, para Koki AS telah menyiapkan bumbu dan material untuk menu esok: Suriah?, Iran?, Libya? Korea Utara?, atau mungkin juga Indonesia?

Amerika Serikat, dengan segala predikat kebesarannya: ekonomi, teknologi, budaya, demokrasi, yang terbangun ratusan tahun lalu dan melalui perjalanan sejarah yang panjang dan mengagumkan, akhirnya dalam tempo 3 minggu di Iraq, dalam sebuah drama musical klasik diatas panggung bersimbah darah, ceceran otak, daging dan tulang belulang manusia, telah mempertontonkan bakatnya yang paling sempurna: Pembantai, Perampok, dan, juga Pembohong.