Jumat, 25 Desember 2009

Pop Culture

Saya ditawari buah merah dari Papua. “Obat ini mujarab. Mampu mengeluarkan semua penyakit dalam tubuh” Kata teman meyakinkan. “Tapi tidak termasuk kecerdasan saya juga ikut tersedot keluar, kan?” Kataku ragu. Seberapa takluk kita akan penyeragaman-penyeragaman massif dilingkungan keseharian kita?: obat, mode, fast food, restoran, olah raga, pendidikan, life style, orientasi politik, pilihan tokoh dan sebagainya. Masihkah kita hadir sebagai individu dalam kesadaran eksistensial, atau lebur dalam massa ketidakpastian? Dominic Striniti dalam Popular Culture: An Introduction to theories of popular culture (1995) menyebut, pop culture, kebudayaan yang dibuat untuk kepentingan melayani budaya konsumsi yang didukung teknologi informasi . Pop culture, ditentang kaum aufklarung, karena individu lebur dalam massa dan rasionalitas berkubang dalam kenikmatan. Kaum analitik menyorot penyeragaman langue. Aliran feminisme berang karena pengekalan stereotipisasi yang merugikan kaum perempuan. Persoalan substansinya adalah: masih ada atau berkuasakah masyarakat dalam budaya pop?. Pengalaman popular lahir dari dua kekuatan utama: budaya konsumsi dan dukungan teknologi informasi baru. Persepsi realitas, keinginan, kehendak, dan perilaku kita menanggapi lingkungan adalah atas kehendak konsumsi dan media yang didukung ideology kapitalisme. Maka, budaya pop kemudian lahir dalam lenggak-lenggok pencitraan iklan. Serigala dipoles jadi domba. Seringai ular, ditekuk menjadi senyum malu-malu kucing. Tikus got, Jadi hamster yang menggemaskan. Koruptor, dikemas jadi hero, atau ramalan dukun suku primitive jadi nubuat akhir zaman pada film 2012. Baudrillard melukiskan situasi ini sebagai implosion. Penyatuan manusia dalam satu kawah, yang meledak ke dalam: batas tradisi, geografi, bangsa, ideology, kelas untuk menjadi luluh cair. Sehingga yang tersisa hanyalah massa ketidakpastian, karena batas-batas identitas yang selama ini memberikan rasa aman dan pasti tercerabut, terbongkar. Batas-batas baru ini bergantung bagaimana suatu kelompok sosial dihadirkan menurut kemauan media.
Massifikasi dan penyeragaman konsumsi tersebut merupakan bagian dari kehendak capital dalam bentuk Strategi bisnis nasional hingga global. Proses Kapitalisasi massif ini telah “mengutuk” masyarakat dalam kurungan massal atau rasa. Konsumtifisme terus digelorakan. Semua cara akan dihalalkan (machiavellianisme) untuk mencari pasar baru, mengembangkan pasar lama, mempertahankan pasar yang ada. Bisnis adalah mesin cetak yang mengunyah masyarakat jadi: ikon, sign, brand…

Hamlet

De omnibus dubitandum!, Segala sesuatu harus diragukan, kata Rene Descartes. Bahkan ketika Hamlet, si Peragu, berseru kepada Ophelia:”doubt thou the stars are fire; doubt the sun doth move; doubt truth to be a liar; but never doubt I love (Shakespeare, Hamlet). Memang segala hal dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu (termasuk pernyataan ini). Sampai kemudian kita menemukan kebenaran. Dan kebenaran, adalah pernyataan tanpa ragu. Keraguan, timbul karena kita tidak yakin bahwa itu benar. Kalau begitu, bagaimana cara agar kita tahu bahwa sesuatu itu benar? Ada dua cara. Pertama, paham idealisme. Bahwa fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali prinsip yang kemudian jadi pengetahuannya. Prinsip itu sudah ada. Untuk mengetahuinya digunakan kemampuan berpikir rasional. Lewat penalaran rasional, didapatkan bermacam pengetahuan mengenai suatu obyek tertentu, tanpa ada konsensus bagi semua pihak. Karena setiap orang beda-beda cara nalarnya, apalagi yang agak telmi (telat mikir). Cara kedua, paham empirisme. Bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran, tapi lewat pengalaman kongkret yang tertangkap indera manusia. Misalnya: kalau mendung, mungkin turun hujan. Besi dipanaskan, akan memuai. Kejendut rokok, kulit melepuh. Pengamatan ini, secara konsisten benar, akhirnya menjadi pengetahuan yang digeneralisir dan diterima semua orang. Tetapi, disamping kedua cara itu, ada juga cara lain yaitu intuisi dan wahyu. Intuisi, pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang, yang mumet otaknya karena utang, tib-tiba plong!, ada jalannya: ketika sedang semedi di toilet dan dengar bunyi plung!. Maslow, menganggap intuisi sebagai peak experience, sedang bagi Nietzsche sebagai intelegensia paling tinggi. Wahyu, tentu saja pengetahuan yang menjadi campur tangan Tuhan dalam tradisi kenabian. Agama, kemudian menjadi pengetahuan yang terjangkau pengalaman manusia, juga pada hal-hal yang bersifat transendental: asal muasal manusia, kiamat, surga-neraka. Disinilah bedanya pengetahuan dan agama. Agama, dimulai dengan percaya, selanjutnya bisa tambah percaya, atau menurun. Ilmu, dimulai dengan ragu dan tidak percaya, diakhiri dengan yakin atau tetap pada pendirian semula, sambil menunggu munculnya keraguan baru. So, kalau secara rasional dan empiris, Tim 8, BPK dan suara publik sudah mengatakan ada rekayasa dan kriminalisasi KPK, Markus, Mafia peradilan, serta perampokan Bank Century secara sistemik, sehingga lampu kita byar-pet, mengapa kau masih ragu Hamlet?

Avatar

Jika seorang taipan, bicara success story imperium bisnisnya, hal itu sudah lumrah. Tapi, kalau ngomong filsafat, itu baru mencengangkan. James Tjahyadi Riady (JR), putra Mohtar Riady, pemilik imperium Lippo Group, berceramah di Unhas pada Jumat, 21 Agustus lalu, dalam topic:”issu-issu globalisasi dan pendidikan tinggi”. Sejumlah Issu disampaikan:: perubahan paradigma keilmuan, teknologi virtual, pluralism/multikulturalisme, radikalisme agama, blok ekonomi, neoliberalism, dan sebagainya. Issu ini, memiliki akar filsafat yang sering tidak disadari. Padahal, akar filsafat akan menentukan cara berpikir dan bertindak yang melahirkan sejumlah kebijakan. Termasuk munculnya isu-isu global dan pendidikan di atas.

Paradigma pemikiran filsafat modern, setelah era Yunani Klasik, dapat ditelisik pada Sembilan paradigma: renaisans, rasionalisme, empirisme, pencerahan, idealisme, konservatisme/anarkhisme, positivism, materialism, dan eksistensialisme awal, hingga saat ini menuju post modernisme. Disetiap era, ada zeitgeist (ruh zaman) yang diyakini yang menajadi paradigm bersama para akhli saat itu., Filsafat Renaisans/humanism, tokohnya, antara lain: Machiavelli, Bruno, Bacon. Inti ajarannya, melepaskan pengaruh Ilahi atas manusia. Sentral realitas adalah manusia. Filsafat Rasionalisme, memunculkan Descartes, Spinoza, dan Pascal, sebagai tokoh pemikir utamanya. Mereka Justru memandang akal pikiran adalah “Tuhan”: cogito ergo sum”(aku berpikir maka aku ada). Empirisme. Pemikirnya, Hobbes, Locke, Hume. Bahwa pengetahuan, hanya sahih jika bersumber dari pengalaman (empeiria), di luar dari itu, bukan pengetahuan. Jadi, Tuhan itu nihil untuk dibincangkan oleh ilmu pengetahuan. Keempat, zaman Pencerahan (aufklarung), dengan tokohnya Voltaire, Montesquieu. Rasio merupakan cahaya baru menggantikan iman kepercayaan, mengantar pada kebenaran dan kebahagiaan manusia. Idealisme, dengan tokoh utamanya yang terkenal Immanuel Kant. Bahwa kenyataan akhir yang sungguh nyata itu adalah pikiran (idea), bukan materi diluar pikiran. Sesuatu ada karena diidealkan. Aliran Positivisme dari Auguste Comte. Bahwa pengetahuan yang benar hanyalah yang factual. Jadi: metafisika, moral, teologi, estetika…tidak sahih. Ilmu ekonomi termasuk positivisme. Materialisme: Marx, Feuerbach. Bahwa kenyataan yang sungguh nyata adalah materi. Kesadaran dan pikiran, hanya gejala sekunder dari proses material. Kau tidak bisa berpikir semangkuk coto, kalau cotonya tidak pernah ada. Eksistensialisme: Heidegger, Sartre. Manusia “keluar” melihat dirinya menjadi “ada”, sadar akan keberadaannya sebagai subyek terhadap obyek sekelilingnya. Akar berpikir filsafati ini, menjadi dasar sistem pengetahuan abad modern, dan juga, sistem pendidikan kita. Jadi, bagaimana berharap lahir orang pintar yang percaya Tuhan, kalau akar berpikir filsafati seperti ini?

JR, merasa dirinya bukan lagi sebagai pebisnis yang berasset 125 M US$. Tapi sebagai Avatar, Sang Messiah dengan sejumlah misi spiritual: membangun manusia utuh di tiga jalur: Keluarga, Sekolah, dan Sistem keagamaan.

Jumat, 21 Agustus 2009

Blood Money

24 maret 2003, empat hari setelah Invasi AS dan pasukan koalisi membantai Irak, saya menulis artikel ke Fajar, tapi tidak diterbitkan: Bangsa penjarah: Sebuah warisan cultural (Refleksi Setelah Iraq Jatuh). Tiga point penting saya kemukakan: pertama, serangan AS, bukan motif politik, tetapi ekonomi energy minyak. Sama halnya, ketika Afganistan dibombardir karena proyek gas lintas Siberia yang dihalangi Taliban. Kedua, invasi itu, merupakan implementasi strategi bisnis gaya “hawkis” di bawah CEO Bush untuk membuka arena pasar baru. Ketiga, serangan itu, adalah gaya baru sebuah prosesi penjarahan, mengulang sejarah nenek moyang bangsa Eropa, ketika menjarah: Inca Maya Mexico, Suku Indian Amerika, Africa, Mesir, Australia, Selandia Baru, Asia Tenggara, hingga penjarahan VOC di Indonesia. Saya membuka kembali arsip artikel saya, ketika membaca buku yang ditulis oleh T. Christian Miller :Blood Money; Wasted Billions, Lost Lives, and Corporate Greed in Irac, 2006. Miller, seorang wartawan investigative yang bekerja untuk Los Angeles Times di Biro Washington. Sarjana Universitas California, Berkley ini, telah meliput empat perang, satu kampanye presiden, dan 24 negara di lima benua.
Bagi Miller, Invasi AS 2003 ke Irak, adalah sebuah Megaproyek. Setelah pembantaian yang meluluhlantakkan negeri Aladin itu, aneka Infratsruktur dan struktur tidak berfungsi. Olehnya itu, butuh pembangunan kembali. Agenda “Irak Baru” inilah, output dari Business strategic sejumlah MNC dan kontraktor di AS. Melibatkan sejumlah kontraktor kelas kakap AS dan negara koalisi seperti Inggris, Australia, Spanyol, dengan berbagai spesifikasi dibidangnya. Ada tender senjata, infrastruktur social-ekonomi, sarana dan prasarana pemerintah, hingga penyedia akomodasi bagi pasukan koalisi dan tentara bayaran untuk pengamanan proyek. Jatuhnya tender miliaran dolar kepada perusahaan tertentu tidak lepas dari praktik KKN dan perselingkuhan: pebisnis, kontraktor, politisi dan birokrat di AS dan Irak. Sementara itu, Blue Print pembangunan dilapangan beda jauh. Penggelembungan dana terjadi disemua proyek. Ketika perusahaan dan kontraktor meraup untung, rakyat Irak tetap terbelenggu dalam kemiskinan, kelaparan, perang saudara, terror bom, dan kehinaan. Proyek penumbangan Saddam, yang diklaim Bush untuk menegakkan demokrasi dan keadilan, akhirnya tak lebih dari sebuah business strategic dalam lanskap: Neoliberalisme dengan membungkusnya dalam kemasan : terorisme, senjata biologis, anti demokrasi, anti HAM, dan sejumlah anti lainnya, bergantung kebutuhan. .

Kamis, 25 Juni 2009

Bandit Ekonomi

Bandit Ekonomi
Oleh: M. Idrus Taba

Tidak banyak orang yang mau mengakui dirinya Bandit. Seperti pernyataan Presiden Nixon, ketika tersangkut Watergate “I’m not a crook”. Satu perkecualian adalah John Perkins. Setidaknya ketika kita membaca bukunya The secret history of The American Empire. Perkins, menamakan profesinya “Bandit ekonomi”. Sebuah gelar, karena, keahliannya pada dua hal. Satu, membuat laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada dunia ketiga. Dua, membangkrutkan negara pengutang. Kalau utangnya sudah menggunung, negara ditekan agar tunduk pada AS, wilayahnya dijadikan pangkalan militer, atau, melego ladang-ladang minyaknya di bawah kendali MNC (Multinational Corporation) milik negara barat, bahkan hingga mendukung seorang capres pada sebuah pemilu. Dia mulai jadi bandit ekonomi sejak 1971. Berkeliling Asia, Afrika, dan Amerika Latin menawarkan kucuran utang. Indonesia, wilayah jarahan pertamanya. Presiden Nixon, ketika itu, mengibaratkan Indonesia sebagai real estate terbesar di dunia yang harus dijarah minyaknya, sebelum Uni Sovyet dan China masuk. Strategi yang dipakai adalah ancaman komunisme dari Sovyet dan China. Padahal ujung-ujungnya: penjarahan ekonomi. Melalui rekomendasi Perkins, World Bank dan IMF kemudian mengucurkan utang, tetapi, 90%nya, disalurkan ke kontraktor-kontraktor AS untuk membangun berbagai proyek raksasa: jalan raya, energy listrik, pelabuhan, bendungan. Cerita di zaman Orba ini kemudian masih berlanjut. Perselingkuhan korporat dengan birokrasi negara yang “kleptokrasi” ini menjadikan sebuah gurita raksasa bisnis dalam lanskap “Korporatokrasi”. Inovasi dari model VOC Kolonial ala Belanda kemudian Kapitalisme abad-19 akhirnya bermetamorfosis menjadi Neoliberalisme. Banyak contoh bisa diangkat. Kongkalikong korporatokrasi dan kleptokrasi pada proyek PLTU Paiton I dan II yang nilainya 3,7 milyar $ AS. Harga listriknya, lebih mahal 60% dibanding Filipina, dan 20 kali lebih mahal dari AS. Dananya dari ECA (Export credit agencies) dimana 15,75% sahamnya dimiliki kroni Soeharto. Setelah reformasi, negosiasi ulang mengharuskan Indonesia , selama 30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dolar AS/kWh, walau kemampuan kita cuma 2 sen dolar/ kWh. Ya, utang lagi..utang lagi. Dan listrik kita tetap byar pet.
Adanya wacana kemandirian ekonomi dengan konsep ekonomi kebangsaan atau kerakyatan bukan hal mustahil. Soekarno, sejak tahun 1951, membekukan konsesi bagi MNC melalui UU No.44/1960. Jadi, kalau ada calon pemimpin bangsa yang sangat takut dengan kemandirian ekonomi, dan memilih menjadi “anak manis” di depan tekanan korporatokrasi, neoliberalisme, dan tekanan AS, menurut Perkins: Bandit!.

Jumat, 19 Juni 2009

Multikultural
Oleh: M. Idrus Taba
Sebuah artikel menarik Kathryn Young, mengupas soal manajemen multikultural pada manajer generasi baru di Indonesia. Paham pluralisme (ideology) dan multikulturalisme (implementasi), yang saat ini sedang trend, menarik dilihat dalam praktik dan kebijakan di dunia bisnis indonesia. Dimana sebetulnya ranah pemusatan budaya dan yang memungkinkan timbulnya kesalahpahaman manajer kita ketika bekerja dengan orang asing: barat atau asia.
Menurut Adler (1986), seorang manajer yang ingin bekerja pada budaya berbeda, perlu mempelajari tiga pola interaksi rumit pada budaya. 1) nilai (penilai mendasar untuk apa yang dianggap baik atau jahat , dapat atau tidak dapat diterima) 2) perilaku (nilai ekspresi yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak atau bereaksi dengan berbagai macam cara ) dan 3) perangai ( berbagai bentuk tindakan manusia). Hasil survey Young menunjukkan, pertama, jika manusia dari berbagai budaya berinteraksi, perbedaan di antara mereka menjadi tegas. Kedua, menerima persamaan daripada perbedaan akan memungkinkan kepuasaan pada hubungan kerja. Ketiga, semakin besar perbedaan budaya, semakin besar kemungkinan hambatan komunikasi akan timbul dan kesalahpengertian akan terjadi. Pola interaksi semakin mengeras jika perbedaan menjadi titik sentral hubungan. Padahal, justru, dengan menerima persamaan katimbang perbedaan akan meningkatkan kepuasan kerja. Namun, di sisi lain, besarnya perbedaan budaya, akan menghambat komunikasi. Sementara, salah satu factor pemicu konflik adalah distorsi komunikasi. Olehnya itu, membangun komunikasi terus menerus, akan memperluas wilayah “ketahuan”, dan akan semakin menemukan”kesamaan” dalam hiruk-pikuk multikulturalisme. Budaya manajemen Indonesia, secara khas digambarkan Hofstade (1983): kolektivitas lebih utama dibanding individualitas. Pada jarak kekuasaan: Indonesia nyaman dengan bentuk hirarkis/otokratis. Cenderung tengah dalam menghindari ketidakpastian. Lebih feminis katimbang maskulinitas. Disimpulkan bahwa manajer Indonesia dapat bekerja pada lingkungan bisnis multikultural. Bahwa gaya manajemen Indonesia dapat menggabungkan nilai Asia dan Barat dengan tetap mempertahankan unsur kuat dari budaya Indonesia asli. Pemahaman terhadap perbedaan dan persamaan budaya penting dalam menapak lingkungan global multicultural sebagai sebuah realitas dalam kehidupan.
“pagi hari, tidak hanya kita dapat membedakan pohon ara dan persik. tapi juga untuk mengenal sesamamu, dan menerima perbedaan sebagai rakhmat ilahi. Jika tanpa itu, maka hingga jam berapapun, hari masih malam...

Rabu, 27 Mei 2009

PERTARUNGAN IDEOLOGI EKONOMI
DI ARENA CAPRES: SBYNOMICS Vs JKNOMICS
Oleh M. Idrus Taba

Seorang nelayan di Pulau Barranglompo bertanya kepada saya:”apa yang dimaksud ekonomi neolib dan ekonomi kerakyatan?” Sebagai seorang ekonom dan akademisi, pertanayaan ini mudah saya jawab. Kesulitannya adalah, karena yang bertanya seorang nelayan yang tingkat pemikirannya sederhana. Hal ini membutuhkan “pembumian”jawaban yang mudah dipahami. Saya tidak menjawab dikotomi keduanya, tapi memberinya contoh. “Jika Barrang lompo diberikan oleh pemerintah, bantuan dana bergulir 100 juta kepada 100 orang masyarakat untuk diputar agar dana tersebut produktif, maka ada dua cara untuk melakukannya. Pertama, uang 100 juta rupiah kita bagikan kepada 100 orang, sama rata. Maka, setiap orang dapat satu juta rupiah. Tetapi, pemerintah (sebagian besar) yang mengatur dan menentukan cara mengelola uangnya, mengembangkan usahanya, dan membayar utang.. Cara kedua, kita pilih lima orang kaya yang kuat modalnya, usahanya, jaringannya dan sudah dikenal oleh pemerintah. Uang 100 juta dibagikan kepada 5 orang “kuat” tersebut untuk memutar dana besar itu agar bisa menghasilkan tingkat pengembalian yang besar dan cepat. Tanpa diganggu, bagamana cara mengelola uang tersebut. Kalau ekonomi 5 orang ini tumbuh besar, maka diharapkan, usaha mereka akan memberi kucuran kepada 95 orang lainnya dan kepada pemerintah, berupa pajak. Cara ini disebut trickledown effect, yang jadi “azimat” pada masa Orba dulu, sehingga lahirlah Konglomerasi gurita didunia bisnis. Cara pertama, kita sebut ekonomi kerakyatan atau sosialis, dan cara kedua dinamakan liberal-kapitalis. Kata neoliberal, yang artinya liberal baru, adalah upaya liberalisme untuk merebut kembali kekuasaan atas pasar bebas, ekspansi modal, dan globalisasi di tangan penguasa capital ini, dengan memperlebar arenanya, bukan hanya pada kelembagaan ekonomi pasar saja, tetapi juga merambah ke kelembagaan non-pasar (nonmarket institutions) diluar bidang ekonomi. Nelayan itu manggut-manggut, tetapi mungkin maksudnya dia tambah tidak paham.

Cara pertama, walau diamanahkan dalam UUD 45, tetapi secara makro dan pilihan ideologis ekonomi, kita belum pernah memilihnya. Walaupun Soekarno tahun 1966, pernah mengemukakan istilah “demokrasi Ekonomi” yang dapat dianalogkan dengan ekonomi kerakyatan, tetapi gagasannya lebih berat kemuatan politiknya ketimbang ekonominya. Bahkan hingga lengsernya Soeharto, dan jejeran Presiden sesudahnya: Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, belum ada Presiden yang tertarik akan ideology ekonomi kerakyatan. Kalau hanya sebatas retorika, negeri ini sudah bisa tenggelam oleh “busa janji”. Sebaliknya, cara kedua, paling digandrungi oleh para presiden terdahulu, utamnya di era Orde Baru, ketika kita memulai pembangunan Repelita tahun 1969. Sistem ekonomi yang dianut saat itu dan sekarang, jelas adalah liberal-kapitalis. Walau kita berusaha menepisnya dengan mengemukakan bahwa sistim ekonomi Indonesia bukan etatisme-terpimpin dan juga bukan liberal-kapitalis. Sehingga secara berseloroh, Frans Seda pernah mengatakan bahwa sistim ekonomi Indonesia adalah sistim ekonomi serba bukan.

Pertarungan calon Pilpres saat ini antara tiga pasang Capres/Cawapres, telah mencoba menyeret ideology ekonomi ke ranah politik. Pasangan SBY-Budiono, dikonotasikan sebagai penganut sistem liberal-kapitalis (neo-lib), sedang dua pasangan lainnya JK-Wiranto dan Mega-Prabowo, lebih ke ekonomi sosialis, yang dilunakkan sebagai ekonomi kerakyatan atau kebangsaan. Pertanyaannya adalah: apakah berbagai isme-isme ideology itu masih hidup? Apakah penerapan dalam kebijakan ekonomi akan sangat berbeda?

Ideologi Ekonomi

Pertarungan ideology sangat marak di abad ke-19. Berbagai pikiran besar yang mendasari lahirnya ideology yang kita kenal saat ini , banyak lahir di masa itu. Sebut saja : Dialektika Hegel, Materialisme Feurbach, Historis-materialisme Marx dan Engel, Utilitarianisme dan Hedonisme Bentham dan Mill, Kebebasan dan individualisme Spencer dan Sumner, Hukum alamiah dalam masyarakat Grotius, Struggle for life Darwin, dan nasionalisme Mazini. Ideologi politik ini kemudian banyak mempengaruhi pembentukan ideology ekonomi. Contohnya, filsafat kebebasan individu, harmoni kepentingan, hedonisme dan utilitarian, mendorong lahirnya ideology ekonomi pertama yang lazim disebut Economic Liberalism, atau ideology ekonomi laissee-faire yang dibangun Adam Smith, David Ricardo, Malthus dan Jean Baptise Say. Sebaliknya, faham-faham sosialisme yang sudah muncul sejak abad ke-14, melalui pemikiran Owen, Proudhon atau Saint-Simon, kemudian dipertegas secara radikal melalui “sosialisme ilmiah” dari Marx, Hegel dan Engels yang lahir pada Abad ke-19 pula. Namun ketika memasuki abad 20, terjadi penurunan gagasan-gagasan politik dikalangan intelegensia barat, sehingga kemudian muncul anggapan “berakhirnya era ideology”. Walaupun, hal tersebut lebih melemah di Barat, tetapi dikawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin, justru mengalami pasang naik.

Ketika terjadi resesi ekonomi 1930 yang dikenal dengan The great depression, maka era laisess faire yang menganggap pemerintah tidak perlu campur tangan, telah berakhir. Gagasan Keynes tentang perlunya campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi permintaan dengan demikian dapat menimbulkan pengaruh terhadap kesempatan kerja, adalah paku terakhir pada peti mati laissess faire. Sejak itu, sistem ekonomi campuran (mixed economy) yang dilanjutkan Paul A.Samuelson dan Kenneth Galbraith, dijalankan. Persoalannya, sejauhmana campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi, tetap menjadi perdebatan. Kapitalisme ini, untuk membedakan kapitalismenya AdamSmith dkk, disebut Kapitalisme modern atau kapitalisme dewasa (matured capitalism). Pemerintah, masyarakat, ilmuwan ekonomi maupun social, kemudian lebih mempercayai ilmu pengetahuan yang bebas mencari kebenaran dan kegunaan, daripada percaya doktrin-doktrin ideology. Umumnya masyarakat tidak perduli, apakah ideology yang berlaku adalah kapitalisme atau yang lainnya.
Di sisi lain, ideology sosialisme atau marxisme, yang meramalkan “runtuhnya kapitalisme” dan lahirnya “masyarakat tanpa kelas”, ternyata tidak terbukti. Walaupun sejumlah negara sosialis tumbuh seperti Uni Sovyet, China, Yugoslavia, dan Eropa Timur, tetapi masyarakat tanpa kelas tidak pernah terjadi. Yang lahir justru adalah tumbuhnya negara totaliter yang teknokratis dengan semangat nasionalisme sempit yang jauh dari angan-angan Marx. Fenomena ini kemudian melahirkan sejumlah paradoksal. Negara-negara Eropa Barat yang sukses dalam pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemakmuran yang merata, mengatakan bahwa sosialisme telah tercapai disitu, tetapi menganut ideologi liberal-kapitalis. Sebaliknya, China, yang menganut ideology Marxis-fundamentalis, perekonomiannya sangat kapitalis. Rusia, sejak runtuhnya Uni Sovyet, sudah kapitalis. Sebaliknya, Amerka Serikat di era Barrack Obama, justru semakin sosialis, dengan banyaknya campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi swasta pada krisis global. Jadi, sistem ekonomi yang dianut AS bukan lagi murni kapitalisme. Setidaknya hal ini ditegaskan Robert Heilbrouner dalam The Decline of Business Civilization, yaitu dengan masuknya mekanisme perencanaan ekonomi dalam perusahaan swasta raksasa maupun pemerintah yang makin mengatur jalannya perekonomian. Indonesia, yang menyatakan sistem ekonominya adalah “demokrasi Ekonomi” (sebuah sistem yang khas Indonesia), sejatinya kalau merunut pasal 33, 34, dan pasal 27 ayat 2 UUD 45 adalah ekonomi sosialis, tetapi kenyatannya, kita sangat terperosok pada sistim liberal-kapitalis. Dualisme ini ditandai dengan hadirnya ratusan perusahaan BUMN yang “sangat negara” dan “gurita konglomerasi” yang sangat kapitalis. Namun demikian, pada tataran kajian, saat ini, para teoritisi maupun praktisi, lebih berorientasi pada ekonomi positip yang ditandai dengan semakin melemahnya pada doktrin-doktrin ideology. Kloningisasi berbagai ideology yang kemudian diuji dengan kenyataan empiris tentang kebenaran dan manfaatnya, akhirnya menghasilkan sistem ekonomi campuran (mixed economy) yang dianut oleh hampir semua negara di dunia. Dalam pandangan ekonomi politik, keempat isme: kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan ekonomi campuran (mixed economy) dapat dipetakan sebagai berikut.

Paradigma dan Sistem Ekonomi Politik
No
Sifat Dasar
Kapitalisme
Sosialisme
Komunisme
Mixed Economy
1
Pemilikan
Individu
Industri dasar milik negara, sisanay individu
Seluruhnya milik negara
Individu dan negara
2
Inisiatif pembentukan badan usaha
· Individu
· Partnership
· Korporasi
· Usaha bersama pada industry dasar dan individu lainnya
Negara
Individu dan negara
3
Inisitaif ekonomi
· Keuntungan sebagai motif utama
· Motif ekonomi dan non-ekonomi
Insentif terbatas
Ekonomi, social politik, dll
4
Mekanisme pembentukan harga
· Pasar (supply dan demand)
· Pemerintah/birokrasi
Negara
Birokrasi
Hukum Pasar
5
Kompetisi atau persaingan
· Eksis
· Ada, bila negara berkeinginan
Tidak ada
Ada, atau bisa tidak ada
6
Struktur organisasi
· Desentralisasi
· Semi sentralistik
Sentralisasi penuh
Desentralisasi
7
Inisiatif kegiatan
· Materialistik
· Sosialistik
Untuk ideology
Gabungan
Sumber: Rachbini, 2006

Karakteristik Kebijakan: “SBYnomics, JKnomics/Meganomics”

Jika (diasumsikan), SBY-Budiono akan cenderung memilih ekonomi Neolib, sedangkan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo akan lebih cenderung ke bentuk ekonomi sosialisme kerakyatan, maka karakteristik kebijakan ekonominya kelak (jika terpilih memimpin republic ini) juga akan cenderung menganut dasar ideology sistem tersebut.

Kebijakan Ekonomi Neoliberalisme
Pertama, Sistem ekonominya berdasar Kapitalisme abad ke-19. Menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Penentu utama kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri. Kedua, Mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang berkuasa. Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah. Ketiga, Menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestic. Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Keempat, Memangkas anggaran publik untuk layanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah (seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang). Kelima, deregulasi terhadap berbagai hambatan dan hukum perdagangan.. Keenam, privatisasi, dimana aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”.
Kebijakan Ekonomi Kerakyatan/Sosialisme
Pertama, sistem ekonominya berdasarkan pada demokrasi ekonomi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 45 yaitu: 1) Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. 2) Kemakmuran masyarakat yang paling utama, bukan perorangan maupun golongan. 3) Asas perekonomian pada kekeluargaan (sosialisme), bukan persaingan bebas. 4) Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. 5). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dengan demikian, privatisasi terhadap produksi vital, bertentangan dengan sistem ekonomi kerakyatan. 6) Hanya perusahaan yang tidak menguasai hayat hidup orang banyak boleh diswastanisasi.7) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini merujuk pada pengelolaan SDA seperti pertambangan, pengelolaan hutan dan laut yang dijadikan sebagai kekuatan tawar untuk kemakmuran rakyat. Kedua, sumber utama kekuatan yang dibangun adalah pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu, sistem monopoli, dalam berbagai bentuk apapun harus ditolak. Keempat, keberpihakan pemerintah secara penuh kepada rakyat, bukan pada kekuatan ekonomi asing atau konglomerasi domestic. Sikap presiden Bolivia Eva Morales dan Venezuella, Hugo Chaves, dalam menasionalisasi pertambangan di negaranya merupakan bukti keberpihakannya pada rakyat. Kelima, meningkatkan anggaran public untuk layanan social, seperti pendidikan dan kesehatan. Kuba, sebagai contoh, salah satu Negara sosialis terbaik dalam pelayanan kesehatannya.
Si Nelayan, semakin mengangguk dalam. Mungkin, dia sudah yakin, dalam Pilpres nanti, dia akan memilih siapa.