Jumat, 25 Juli 2008

Bakri Mustafa: menjadi seseorang

Bakri Mustafa: Menjadi Seseorang

Oleh: M. Idrus Taba

Bakri Mustafa, seorang tukang perahu di selat Bosporus. Rutenya, menyeberangkan penumpang dari Istambul, Turki ke Kadikoy, Anatolia. Karena persaingan ketat, Bakri Mustafa, menservis penumpangnya dengan secangkir arak. Padahal arak saat itu dilarang. Tapi, justru penumpang Bakri Mustafa melonjak. Tukang perahu lainnya iri, lalu melapor ke Sultan. Sultan bersama perdana menteri bermaksud menangkap basah Bakri Mustafa, dengan cara menyamar sebagai penumpang. Banar saja, ketika perahu melaju ditengah sungai, Bakri Mustafa menjamu tamunya arak. Setelah perahu tiba diseberang, Perdana Menteri lalu membentak: “Bakri mustafa, kamu ditangkap, karena menyuguhkan kami minuman arak yang dilarang!”. Bakri balas membentak:”Memangnya kamu siapa berani melarang saya?”. “Kamu tidak kenal kami? Saya adalah Perdana Menteri. Dan disamping saya adalah Baginda Sultan!” Balas Perdana Menteri. Bakri Mustafa tertawa terbahak, katanya: “Hei Bung, aku sudah minum arak bertahun-tahun, belum pernah mengaku diri menjadi seseorang. Tapi kalian, baru minum arak satu cangkir, sudah mengaku diri Perdana Menteri dan Sultan. Seandainya habis sebotol, mungkin kalian berdua mengaku diri Nabi dan Tuhan!”.

Dalam hidup, kita sering memerankan diri dalam multi peran. Peran-peran ini, sering dipilah dalam sekat: peran yang kita harapkan, yang diharapkan tempat kita bekerja, yang diharapkan keluarga, dan yang diharapkan masyarakat. Masalahnya adalah, dimensi berbagai peran tersebut, lebih banyak yang tidak sejalan. Harapan kita secara individual, ingin selalu menampilkan peran protogonis, yang secara fitrawi dan juga secara sosial menjadi harapan setiap manusia, organisasi dan masyarakat. Namun realitasnya, seringkali kita justru tampil dengan peran-peran antagonis.

Dalam konteks organisasi, apa sebenarnya peran-peran yang dimainkan seorang manajer? Berbagai peran, akan semakin kompleks seiring dengan perkembangan dan perubahan lingkungan. Namun, terdapat peran-peran yang secara konsisten tetap dimainkan, sejak dulu hingga kini, walau dengan berbagai variasi yang beda. Mintzberg dalam The Nature Managerial Work (1973),memetakan tiga peran besar seorang manajer, yaitu: peran interpersonal, peran informasional, dan peran decision maker.

Peran interpersonal, menuntut manajer menjalankan tugas-tugas yang bersifat seremonial dan simbolik. Paling tidak, ada tiga peran yang dimainkan: sebagai pemimpin lambang (figurehead) ,yaitu kala si pemimpin menyematkan tanda jasa, pukul gong, atau pidato sambutan. Pemimpin (leader) yaitu kala dia memotivasi, melatih, mendisiplinkan karyawan, dan penghubung (liason) ketika ia mengalirkan informasi internal organisasi ke pihak eksternal, atau sebaliknya.

Peran Informasional, memerikan posisi manajer sebagai pengumpul komponen informasi dari berbagai organisasi atau lembaga eksternal, kemudian merakitnya menjadi peta informasi yang penting bagi organisasi. Peran ini memerlukan kepekaan indera dan kejernihan hati, pikiran dan akal dalam menangkap berbagai “perbincangan”, lewat bahasa verbal, non verbal, dan tanda-tanda zaman. Hasil olah perbincangan, kemudian disalurkan kepada anggota organisasi dalam narasi yang akrab dibalut nilai-nilai yang sama. Peran sebagai disseminator ini memerlukan ketrampilan komunikasi yang ditunjang oleh kemampuan soft skill yang memadai.

Peran ketiga, sebagai decision maker, memerankan empat lakon, yaitu sebagai entrepreneur, menangani krisis, distributor sumberdaya, dan negosiator. Peran entrepreneur, menempatkan posisi manajer sebagai innovator, sumber enerji perubahan dan inspirator ide-ide kreatif terhadap lingkungannya. Dalam kondisi krisis, manajer berani “masuk”, bergelut dan melakukan koreksi internal. Berhadapan dengan resistensi yang siap menggilas. Pada posisi yang sulit ini, akan menentukan kualitas seorang manajer: sebagai The winner atau terkapar sebagai pecundang. Pada peran distributor sumberdaya –manusia, fisik, keuangan— akan menghadapkan pilihan antara distribusi efektif, atau atas dasar kekuasaan. Godaan untuk menguasai sumberdaya, secara individual atau kelompok, akan menimbulkan ketidakpuasan dan merusak secara sistemik organisasi. Terakhir, peran negosiator, manajer sebagai representasi organisasi dalam melakukan perundingan, baik dengan karyawan dalam hubungan industrial juga dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders). Kemampuan sebagai negosiator menuntut keahlian dalam komunikasi, hukum ketenagakerjaan, psikologi social, individual, dan social skill yang memadai.

Bakri Mustafa, suskses sebagai tukang perahu yang sangat memahami kebutuhan customernya. Tapi dai tidak mengerti, mengapa seseorang harus mengaku sebagai “seseorang yang lain” hanya karena menenggak secangkir arak. Dunia peran, adalah dunia yang aneh. Dunia yang membuat kita terlipat didalamnya, menjadi huruf, kata dan kalimat berbagai arti. Aneh

Selasa, 01 Juli 2008

Butterflies: maka berubahlah

Seorang pasien kejiwaan, merasa dirinya sebutir jagung, sehingga selalu ketakutan ketika melihat seekor ayam atau itik, karena merasa akan dipatuk atau ditelan. Setelah dirawat setahun, Dokter menyatakan dia sudah sembuh. “Dok, betulkah saya sudah sembuh?” Tanyanya ragu. Dokter mengiyakan mantap.” Apakah, saya sudah tidak merasa diri sebutir jagung lagi?” Lanjutnya. “TIdak lagi. Kamu sudah sembuh total”. Dokter meyakinkan. Dengan gembira, si pasien berjalan keluar, tapi tiba-tiba berbalik dan bertanya ragu:” Tapi Dok, apakah ayam dan Itik itu tidak lagi menganggap diriku sebutir jagung?”.Dokter memutuskan tidak menandatangani keterangan kesembuhannya. “if nothing ever changed, there’d be no butterflies”. Tak ada kupu-kupu yang mengepakkan sayap menembus cakrawala, jika tak ada metamorfosis kepompong.

Perubahan telah menjadi sebuah keniscayaan, setidaknya, dalam sepuluh tahun terakhir ini. Meningkatnya ketidakpastian, turbulensi pereknomian dunia, gonjang-ganjing politik domestic, lemahnya supremasi hukum , dan eforia otonomi daerah, telah menggiring dunia bisnis di Indonesia, melakukan cloning strategi: dengan cara cerdas hingga bahkan primitive dalam upayanya “membaca” Perubahan.

Anderson dan Anderson (2001) membagi tiga kelompok perubahan, yaitu: yang bersifat Developmental, Transtitional, dan Transformational. Perubahan Developmental berbentuk penyempurnaan pengetahuan, ketrampilan, metode, bahkan kondisi kekinian, tanpa mempertimbangkan jangka panjang. Penyebabnya, misalnya, karena training, approach baru sebuah problem solving dan decision making, job enrichment, hasil survai kepuasan, dan perluasan pasar. Perubahan trantitional, lebih kompleks. Lebih merupakan respon terhadap lingkungan eksternal yang bersifat jangka panjang. Contohnya, perubahan struktur organisasi, imbal jasa, merger, akuisisi, komputerisasi, inovasi produk baru. Diperlukan ketrampilan baru dan strong leader untuk berubah. Perubahan ketiga, Transformational, dipandang kompleks dan sulit dipahami. Perubahan tipe ini sifatnya radikal mengubah organisasi. Bukan saja mengubah perilaku tetapi lebih menekankan pada cara pandang dan mindset individu dan organisasi. Perubahan dipilih, karena “organisasi telah mendarat ditepi pantai, perahu dibelakangnya sudah dibakar, dan benteng kemenangan menunggu untuk direbut di depan”. Pilihannya cuma dua: berubah sama sekali, atau mati!. Namun disadari pula bahwa resistensi terhadap perubahan selalu hadir. Sejumlah orang yang merasa keenakan dengan pola lama dan merasa gamang serta terancam, akan menolak, sehingga perubahan akan menuai kegagalan. . Lalu faktor apa yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan sebuah perubahan?. Menurut survai PPM Jakarta terhadap eksekutif di Indonesia, paling tidak ada lima, yaitu: kemauan dan keteladanan pemimpin, dukungan manajemen yang kompeten, defenisi sasaran yang jelas, rencana yang rapi, dan komunikasi yang jelas. Kekuatan pemimpin untuk mengubah jalannya sejarah organsiasi menuju perubahan menjadi mutlak. Untuk itu, perubahan seharusnya dimulai dari si Pemimpin. Akan sia-sia sebuah proses perubahan, jika pemimpin tetap terkungkung di dalam kepompongnya, terpenjara dalam mindset lamanya, dan berkomunikasi dalam narasi bisu yang sia-sia.

Memang, sangat sulit untuk mengubah diri sendiri. Diperlukan kemauan, kemampuan, dan kesadaran diri untuk bersikap keras terhadap diri sendiri untuk berubah. Kata bijak diucapkan seorang ahli motivator, Wongso, katanya: ”jika kau bersikap lunak terhadap dirimu, maka dunia akan bersikap keras terhadapmu. Tapi jika kau bersikap keras terhadap dirimu, maka dunia akan melunak terhadapmu”. Berubah, memang selayaknya dimulai dari diri sendiri. Everyone thinks of changing the world, but no one thinks of changing himself” (Leo Tolstoy, 1828-1910 ).