Jumat, 21 Agustus 2009

Blood Money

24 maret 2003, empat hari setelah Invasi AS dan pasukan koalisi membantai Irak, saya menulis artikel ke Fajar, tapi tidak diterbitkan: Bangsa penjarah: Sebuah warisan cultural (Refleksi Setelah Iraq Jatuh). Tiga point penting saya kemukakan: pertama, serangan AS, bukan motif politik, tetapi ekonomi energy minyak. Sama halnya, ketika Afganistan dibombardir karena proyek gas lintas Siberia yang dihalangi Taliban. Kedua, invasi itu, merupakan implementasi strategi bisnis gaya “hawkis” di bawah CEO Bush untuk membuka arena pasar baru. Ketiga, serangan itu, adalah gaya baru sebuah prosesi penjarahan, mengulang sejarah nenek moyang bangsa Eropa, ketika menjarah: Inca Maya Mexico, Suku Indian Amerika, Africa, Mesir, Australia, Selandia Baru, Asia Tenggara, hingga penjarahan VOC di Indonesia. Saya membuka kembali arsip artikel saya, ketika membaca buku yang ditulis oleh T. Christian Miller :Blood Money; Wasted Billions, Lost Lives, and Corporate Greed in Irac, 2006. Miller, seorang wartawan investigative yang bekerja untuk Los Angeles Times di Biro Washington. Sarjana Universitas California, Berkley ini, telah meliput empat perang, satu kampanye presiden, dan 24 negara di lima benua.
Bagi Miller, Invasi AS 2003 ke Irak, adalah sebuah Megaproyek. Setelah pembantaian yang meluluhlantakkan negeri Aladin itu, aneka Infratsruktur dan struktur tidak berfungsi. Olehnya itu, butuh pembangunan kembali. Agenda “Irak Baru” inilah, output dari Business strategic sejumlah MNC dan kontraktor di AS. Melibatkan sejumlah kontraktor kelas kakap AS dan negara koalisi seperti Inggris, Australia, Spanyol, dengan berbagai spesifikasi dibidangnya. Ada tender senjata, infrastruktur social-ekonomi, sarana dan prasarana pemerintah, hingga penyedia akomodasi bagi pasukan koalisi dan tentara bayaran untuk pengamanan proyek. Jatuhnya tender miliaran dolar kepada perusahaan tertentu tidak lepas dari praktik KKN dan perselingkuhan: pebisnis, kontraktor, politisi dan birokrat di AS dan Irak. Sementara itu, Blue Print pembangunan dilapangan beda jauh. Penggelembungan dana terjadi disemua proyek. Ketika perusahaan dan kontraktor meraup untung, rakyat Irak tetap terbelenggu dalam kemiskinan, kelaparan, perang saudara, terror bom, dan kehinaan. Proyek penumbangan Saddam, yang diklaim Bush untuk menegakkan demokrasi dan keadilan, akhirnya tak lebih dari sebuah business strategic dalam lanskap: Neoliberalisme dengan membungkusnya dalam kemasan : terorisme, senjata biologis, anti demokrasi, anti HAM, dan sejumlah anti lainnya, bergantung kebutuhan. .