Kamis, 25 Juni 2009

Bandit Ekonomi

Bandit Ekonomi
Oleh: M. Idrus Taba

Tidak banyak orang yang mau mengakui dirinya Bandit. Seperti pernyataan Presiden Nixon, ketika tersangkut Watergate “I’m not a crook”. Satu perkecualian adalah John Perkins. Setidaknya ketika kita membaca bukunya The secret history of The American Empire. Perkins, menamakan profesinya “Bandit ekonomi”. Sebuah gelar, karena, keahliannya pada dua hal. Satu, membuat laporan fiktif untuk IMF dan World Bank agar mengucurkan utang luar negeri kepada dunia ketiga. Dua, membangkrutkan negara pengutang. Kalau utangnya sudah menggunung, negara ditekan agar tunduk pada AS, wilayahnya dijadikan pangkalan militer, atau, melego ladang-ladang minyaknya di bawah kendali MNC (Multinational Corporation) milik negara barat, bahkan hingga mendukung seorang capres pada sebuah pemilu. Dia mulai jadi bandit ekonomi sejak 1971. Berkeliling Asia, Afrika, dan Amerika Latin menawarkan kucuran utang. Indonesia, wilayah jarahan pertamanya. Presiden Nixon, ketika itu, mengibaratkan Indonesia sebagai real estate terbesar di dunia yang harus dijarah minyaknya, sebelum Uni Sovyet dan China masuk. Strategi yang dipakai adalah ancaman komunisme dari Sovyet dan China. Padahal ujung-ujungnya: penjarahan ekonomi. Melalui rekomendasi Perkins, World Bank dan IMF kemudian mengucurkan utang, tetapi, 90%nya, disalurkan ke kontraktor-kontraktor AS untuk membangun berbagai proyek raksasa: jalan raya, energy listrik, pelabuhan, bendungan. Cerita di zaman Orba ini kemudian masih berlanjut. Perselingkuhan korporat dengan birokrasi negara yang “kleptokrasi” ini menjadikan sebuah gurita raksasa bisnis dalam lanskap “Korporatokrasi”. Inovasi dari model VOC Kolonial ala Belanda kemudian Kapitalisme abad-19 akhirnya bermetamorfosis menjadi Neoliberalisme. Banyak contoh bisa diangkat. Kongkalikong korporatokrasi dan kleptokrasi pada proyek PLTU Paiton I dan II yang nilainya 3,7 milyar $ AS. Harga listriknya, lebih mahal 60% dibanding Filipina, dan 20 kali lebih mahal dari AS. Dananya dari ECA (Export credit agencies) dimana 15,75% sahamnya dimiliki kroni Soeharto. Setelah reformasi, negosiasi ulang mengharuskan Indonesia , selama 30 tahun harus membayar ganti rugi 8,6 sen dolar AS/kWh, walau kemampuan kita cuma 2 sen dolar/ kWh. Ya, utang lagi..utang lagi. Dan listrik kita tetap byar pet.
Adanya wacana kemandirian ekonomi dengan konsep ekonomi kebangsaan atau kerakyatan bukan hal mustahil. Soekarno, sejak tahun 1951, membekukan konsesi bagi MNC melalui UU No.44/1960. Jadi, kalau ada calon pemimpin bangsa yang sangat takut dengan kemandirian ekonomi, dan memilih menjadi “anak manis” di depan tekanan korporatokrasi, neoliberalisme, dan tekanan AS, menurut Perkins: Bandit!.

Jumat, 19 Juni 2009

Multikultural
Oleh: M. Idrus Taba
Sebuah artikel menarik Kathryn Young, mengupas soal manajemen multikultural pada manajer generasi baru di Indonesia. Paham pluralisme (ideology) dan multikulturalisme (implementasi), yang saat ini sedang trend, menarik dilihat dalam praktik dan kebijakan di dunia bisnis indonesia. Dimana sebetulnya ranah pemusatan budaya dan yang memungkinkan timbulnya kesalahpahaman manajer kita ketika bekerja dengan orang asing: barat atau asia.
Menurut Adler (1986), seorang manajer yang ingin bekerja pada budaya berbeda, perlu mempelajari tiga pola interaksi rumit pada budaya. 1) nilai (penilai mendasar untuk apa yang dianggap baik atau jahat , dapat atau tidak dapat diterima) 2) perilaku (nilai ekspresi yang mempengaruhi seseorang untuk bertindak atau bereaksi dengan berbagai macam cara ) dan 3) perangai ( berbagai bentuk tindakan manusia). Hasil survey Young menunjukkan, pertama, jika manusia dari berbagai budaya berinteraksi, perbedaan di antara mereka menjadi tegas. Kedua, menerima persamaan daripada perbedaan akan memungkinkan kepuasaan pada hubungan kerja. Ketiga, semakin besar perbedaan budaya, semakin besar kemungkinan hambatan komunikasi akan timbul dan kesalahpengertian akan terjadi. Pola interaksi semakin mengeras jika perbedaan menjadi titik sentral hubungan. Padahal, justru, dengan menerima persamaan katimbang perbedaan akan meningkatkan kepuasan kerja. Namun, di sisi lain, besarnya perbedaan budaya, akan menghambat komunikasi. Sementara, salah satu factor pemicu konflik adalah distorsi komunikasi. Olehnya itu, membangun komunikasi terus menerus, akan memperluas wilayah “ketahuan”, dan akan semakin menemukan”kesamaan” dalam hiruk-pikuk multikulturalisme. Budaya manajemen Indonesia, secara khas digambarkan Hofstade (1983): kolektivitas lebih utama dibanding individualitas. Pada jarak kekuasaan: Indonesia nyaman dengan bentuk hirarkis/otokratis. Cenderung tengah dalam menghindari ketidakpastian. Lebih feminis katimbang maskulinitas. Disimpulkan bahwa manajer Indonesia dapat bekerja pada lingkungan bisnis multikultural. Bahwa gaya manajemen Indonesia dapat menggabungkan nilai Asia dan Barat dengan tetap mempertahankan unsur kuat dari budaya Indonesia asli. Pemahaman terhadap perbedaan dan persamaan budaya penting dalam menapak lingkungan global multicultural sebagai sebuah realitas dalam kehidupan.
“pagi hari, tidak hanya kita dapat membedakan pohon ara dan persik. tapi juga untuk mengenal sesamamu, dan menerima perbedaan sebagai rakhmat ilahi. Jika tanpa itu, maka hingga jam berapapun, hari masih malam...