Rabu, 27 Mei 2009

PERTARUNGAN IDEOLOGI EKONOMI
DI ARENA CAPRES: SBYNOMICS Vs JKNOMICS
Oleh M. Idrus Taba

Seorang nelayan di Pulau Barranglompo bertanya kepada saya:”apa yang dimaksud ekonomi neolib dan ekonomi kerakyatan?” Sebagai seorang ekonom dan akademisi, pertanayaan ini mudah saya jawab. Kesulitannya adalah, karena yang bertanya seorang nelayan yang tingkat pemikirannya sederhana. Hal ini membutuhkan “pembumian”jawaban yang mudah dipahami. Saya tidak menjawab dikotomi keduanya, tapi memberinya contoh. “Jika Barrang lompo diberikan oleh pemerintah, bantuan dana bergulir 100 juta kepada 100 orang masyarakat untuk diputar agar dana tersebut produktif, maka ada dua cara untuk melakukannya. Pertama, uang 100 juta rupiah kita bagikan kepada 100 orang, sama rata. Maka, setiap orang dapat satu juta rupiah. Tetapi, pemerintah (sebagian besar) yang mengatur dan menentukan cara mengelola uangnya, mengembangkan usahanya, dan membayar utang.. Cara kedua, kita pilih lima orang kaya yang kuat modalnya, usahanya, jaringannya dan sudah dikenal oleh pemerintah. Uang 100 juta dibagikan kepada 5 orang “kuat” tersebut untuk memutar dana besar itu agar bisa menghasilkan tingkat pengembalian yang besar dan cepat. Tanpa diganggu, bagamana cara mengelola uang tersebut. Kalau ekonomi 5 orang ini tumbuh besar, maka diharapkan, usaha mereka akan memberi kucuran kepada 95 orang lainnya dan kepada pemerintah, berupa pajak. Cara ini disebut trickledown effect, yang jadi “azimat” pada masa Orba dulu, sehingga lahirlah Konglomerasi gurita didunia bisnis. Cara pertama, kita sebut ekonomi kerakyatan atau sosialis, dan cara kedua dinamakan liberal-kapitalis. Kata neoliberal, yang artinya liberal baru, adalah upaya liberalisme untuk merebut kembali kekuasaan atas pasar bebas, ekspansi modal, dan globalisasi di tangan penguasa capital ini, dengan memperlebar arenanya, bukan hanya pada kelembagaan ekonomi pasar saja, tetapi juga merambah ke kelembagaan non-pasar (nonmarket institutions) diluar bidang ekonomi. Nelayan itu manggut-manggut, tetapi mungkin maksudnya dia tambah tidak paham.

Cara pertama, walau diamanahkan dalam UUD 45, tetapi secara makro dan pilihan ideologis ekonomi, kita belum pernah memilihnya. Walaupun Soekarno tahun 1966, pernah mengemukakan istilah “demokrasi Ekonomi” yang dapat dianalogkan dengan ekonomi kerakyatan, tetapi gagasannya lebih berat kemuatan politiknya ketimbang ekonominya. Bahkan hingga lengsernya Soeharto, dan jejeran Presiden sesudahnya: Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, belum ada Presiden yang tertarik akan ideology ekonomi kerakyatan. Kalau hanya sebatas retorika, negeri ini sudah bisa tenggelam oleh “busa janji”. Sebaliknya, cara kedua, paling digandrungi oleh para presiden terdahulu, utamnya di era Orde Baru, ketika kita memulai pembangunan Repelita tahun 1969. Sistem ekonomi yang dianut saat itu dan sekarang, jelas adalah liberal-kapitalis. Walau kita berusaha menepisnya dengan mengemukakan bahwa sistim ekonomi Indonesia bukan etatisme-terpimpin dan juga bukan liberal-kapitalis. Sehingga secara berseloroh, Frans Seda pernah mengatakan bahwa sistim ekonomi Indonesia adalah sistim ekonomi serba bukan.

Pertarungan calon Pilpres saat ini antara tiga pasang Capres/Cawapres, telah mencoba menyeret ideology ekonomi ke ranah politik. Pasangan SBY-Budiono, dikonotasikan sebagai penganut sistem liberal-kapitalis (neo-lib), sedang dua pasangan lainnya JK-Wiranto dan Mega-Prabowo, lebih ke ekonomi sosialis, yang dilunakkan sebagai ekonomi kerakyatan atau kebangsaan. Pertanyaannya adalah: apakah berbagai isme-isme ideology itu masih hidup? Apakah penerapan dalam kebijakan ekonomi akan sangat berbeda?

Ideologi Ekonomi

Pertarungan ideology sangat marak di abad ke-19. Berbagai pikiran besar yang mendasari lahirnya ideology yang kita kenal saat ini , banyak lahir di masa itu. Sebut saja : Dialektika Hegel, Materialisme Feurbach, Historis-materialisme Marx dan Engel, Utilitarianisme dan Hedonisme Bentham dan Mill, Kebebasan dan individualisme Spencer dan Sumner, Hukum alamiah dalam masyarakat Grotius, Struggle for life Darwin, dan nasionalisme Mazini. Ideologi politik ini kemudian banyak mempengaruhi pembentukan ideology ekonomi. Contohnya, filsafat kebebasan individu, harmoni kepentingan, hedonisme dan utilitarian, mendorong lahirnya ideology ekonomi pertama yang lazim disebut Economic Liberalism, atau ideology ekonomi laissee-faire yang dibangun Adam Smith, David Ricardo, Malthus dan Jean Baptise Say. Sebaliknya, faham-faham sosialisme yang sudah muncul sejak abad ke-14, melalui pemikiran Owen, Proudhon atau Saint-Simon, kemudian dipertegas secara radikal melalui “sosialisme ilmiah” dari Marx, Hegel dan Engels yang lahir pada Abad ke-19 pula. Namun ketika memasuki abad 20, terjadi penurunan gagasan-gagasan politik dikalangan intelegensia barat, sehingga kemudian muncul anggapan “berakhirnya era ideology”. Walaupun, hal tersebut lebih melemah di Barat, tetapi dikawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin, justru mengalami pasang naik.

Ketika terjadi resesi ekonomi 1930 yang dikenal dengan The great depression, maka era laisess faire yang menganggap pemerintah tidak perlu campur tangan, telah berakhir. Gagasan Keynes tentang perlunya campur tangan pemerintah untuk mempengaruhi permintaan dengan demikian dapat menimbulkan pengaruh terhadap kesempatan kerja, adalah paku terakhir pada peti mati laissess faire. Sejak itu, sistem ekonomi campuran (mixed economy) yang dilanjutkan Paul A.Samuelson dan Kenneth Galbraith, dijalankan. Persoalannya, sejauhmana campur tangan pemerintah dalam sistem ekonomi, tetap menjadi perdebatan. Kapitalisme ini, untuk membedakan kapitalismenya AdamSmith dkk, disebut Kapitalisme modern atau kapitalisme dewasa (matured capitalism). Pemerintah, masyarakat, ilmuwan ekonomi maupun social, kemudian lebih mempercayai ilmu pengetahuan yang bebas mencari kebenaran dan kegunaan, daripada percaya doktrin-doktrin ideology. Umumnya masyarakat tidak perduli, apakah ideology yang berlaku adalah kapitalisme atau yang lainnya.
Di sisi lain, ideology sosialisme atau marxisme, yang meramalkan “runtuhnya kapitalisme” dan lahirnya “masyarakat tanpa kelas”, ternyata tidak terbukti. Walaupun sejumlah negara sosialis tumbuh seperti Uni Sovyet, China, Yugoslavia, dan Eropa Timur, tetapi masyarakat tanpa kelas tidak pernah terjadi. Yang lahir justru adalah tumbuhnya negara totaliter yang teknokratis dengan semangat nasionalisme sempit yang jauh dari angan-angan Marx. Fenomena ini kemudian melahirkan sejumlah paradoksal. Negara-negara Eropa Barat yang sukses dalam pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemakmuran yang merata, mengatakan bahwa sosialisme telah tercapai disitu, tetapi menganut ideologi liberal-kapitalis. Sebaliknya, China, yang menganut ideology Marxis-fundamentalis, perekonomiannya sangat kapitalis. Rusia, sejak runtuhnya Uni Sovyet, sudah kapitalis. Sebaliknya, Amerka Serikat di era Barrack Obama, justru semakin sosialis, dengan banyaknya campur tangan pemerintah untuk menyelamatkan ekonomi swasta pada krisis global. Jadi, sistem ekonomi yang dianut AS bukan lagi murni kapitalisme. Setidaknya hal ini ditegaskan Robert Heilbrouner dalam The Decline of Business Civilization, yaitu dengan masuknya mekanisme perencanaan ekonomi dalam perusahaan swasta raksasa maupun pemerintah yang makin mengatur jalannya perekonomian. Indonesia, yang menyatakan sistem ekonominya adalah “demokrasi Ekonomi” (sebuah sistem yang khas Indonesia), sejatinya kalau merunut pasal 33, 34, dan pasal 27 ayat 2 UUD 45 adalah ekonomi sosialis, tetapi kenyatannya, kita sangat terperosok pada sistim liberal-kapitalis. Dualisme ini ditandai dengan hadirnya ratusan perusahaan BUMN yang “sangat negara” dan “gurita konglomerasi” yang sangat kapitalis. Namun demikian, pada tataran kajian, saat ini, para teoritisi maupun praktisi, lebih berorientasi pada ekonomi positip yang ditandai dengan semakin melemahnya pada doktrin-doktrin ideology. Kloningisasi berbagai ideology yang kemudian diuji dengan kenyataan empiris tentang kebenaran dan manfaatnya, akhirnya menghasilkan sistem ekonomi campuran (mixed economy) yang dianut oleh hampir semua negara di dunia. Dalam pandangan ekonomi politik, keempat isme: kapitalisme, sosialisme, komunisme, dan ekonomi campuran (mixed economy) dapat dipetakan sebagai berikut.

Paradigma dan Sistem Ekonomi Politik
No
Sifat Dasar
Kapitalisme
Sosialisme
Komunisme
Mixed Economy
1
Pemilikan
Individu
Industri dasar milik negara, sisanay individu
Seluruhnya milik negara
Individu dan negara
2
Inisiatif pembentukan badan usaha
· Individu
· Partnership
· Korporasi
· Usaha bersama pada industry dasar dan individu lainnya
Negara
Individu dan negara
3
Inisitaif ekonomi
· Keuntungan sebagai motif utama
· Motif ekonomi dan non-ekonomi
Insentif terbatas
Ekonomi, social politik, dll
4
Mekanisme pembentukan harga
· Pasar (supply dan demand)
· Pemerintah/birokrasi
Negara
Birokrasi
Hukum Pasar
5
Kompetisi atau persaingan
· Eksis
· Ada, bila negara berkeinginan
Tidak ada
Ada, atau bisa tidak ada
6
Struktur organisasi
· Desentralisasi
· Semi sentralistik
Sentralisasi penuh
Desentralisasi
7
Inisiatif kegiatan
· Materialistik
· Sosialistik
Untuk ideology
Gabungan
Sumber: Rachbini, 2006

Karakteristik Kebijakan: “SBYnomics, JKnomics/Meganomics”

Jika (diasumsikan), SBY-Budiono akan cenderung memilih ekonomi Neolib, sedangkan JK-Wiranto dan Mega-Prabowo akan lebih cenderung ke bentuk ekonomi sosialisme kerakyatan, maka karakteristik kebijakan ekonominya kelak (jika terpilih memimpin republic ini) juga akan cenderung menganut dasar ideology sistem tersebut.

Kebijakan Ekonomi Neoliberalisme
Pertama, Sistem ekonominya berdasar Kapitalisme abad ke-19. Menghargai kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam urusan kehidupan ekonomi. Penentu utama kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Gagasan ini barangkali masih dipengaruhi oleh gagasan John Locke (abad 18) yang mengatakan bahwa kaum liberal adalah orang-orang yang memiliki hak untuk hidup, merdeka, sejahtera, bebas bekerja, bebas mengambil kesempatan apapun, bebas mengambil keuntungan apapun. Pada zaman kapitalisme abad ke-19 ini, orang bebas diartikan sebagai seseorang yang memiliki hak-hak dan mampu menggunakannya dengan memperkecil campur tangan pihak lain (aturan pihak lain): kita berhak menjalankan kehidupan sendiri. Kedua, Mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas: pasar yang berkuasa. Untuk mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar bebas, kaum neoliberalisme selalu mengusung “kebebasan” dan tidak adanya hambatan buatan yang diterapkan pemerintah. Oleh karena itu, perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu pada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau tanpa hambatan perdagangan lainnya (tanpa regulasi legal). Bentuk-bentuk hambatan perdagangan yang ditolak kaum neoliberalisme (dalam perdagangan bebas): bea cukai, kuota, subsidi yang dihasilkan dari pajak sebagai bantuan pemerintah untuk produsen lokal, peraturan administrasi dan peraturan anti-dumping. Menurut kaum neoliberalisme pihak yang diuntungkan dari adanya hambatan perdagangan adalah produsen dan pemerintah. Ketiga, Menolak (mengurangi) campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestic. Gagasan ini terfokus pada metode pasar bebas, pembatasan campur tangan pemerintah yang sedikit terhadap perilaku bisnis dan hak-hak milik pribadi. Keempat, Memangkas anggaran publik untuk layanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih, karena semuanya itu adalah bantuan dari pemerintah (seandainya hal ini berkurang berarti peran pemerintah juga berkurang). Kelima, deregulasi terhadap berbagai hambatan dan hukum perdagangan.. Keenam, privatisasi, dimana aktivitas ekonomi harus dikelola oleh swasta (non-pemerintah). Ketujuh, mengenyahkan konsep “the public good”: mengurangi tanggung jawab bersama dan menggantikannya dengan “kewajiban individu”.
Kebijakan Ekonomi Kerakyatan/Sosialisme
Pertama, sistem ekonominya berdasarkan pada demokrasi ekonomi yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 45 yaitu: 1) Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. 2) Kemakmuran masyarakat yang paling utama, bukan perorangan maupun golongan. 3) Asas perekonomian pada kekeluargaan (sosialisme), bukan persaingan bebas. 4) Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. 5). Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dengan demikian, privatisasi terhadap produksi vital, bertentangan dengan sistem ekonomi kerakyatan. 6) Hanya perusahaan yang tidak menguasai hayat hidup orang banyak boleh diswastanisasi.7) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini merujuk pada pengelolaan SDA seperti pertambangan, pengelolaan hutan dan laut yang dijadikan sebagai kekuatan tawar untuk kemakmuran rakyat. Kedua, sumber utama kekuatan yang dibangun adalah pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu, sistem monopoli, dalam berbagai bentuk apapun harus ditolak. Keempat, keberpihakan pemerintah secara penuh kepada rakyat, bukan pada kekuatan ekonomi asing atau konglomerasi domestic. Sikap presiden Bolivia Eva Morales dan Venezuella, Hugo Chaves, dalam menasionalisasi pertambangan di negaranya merupakan bukti keberpihakannya pada rakyat. Kelima, meningkatkan anggaran public untuk layanan social, seperti pendidikan dan kesehatan. Kuba, sebagai contoh, salah satu Negara sosialis terbaik dalam pelayanan kesehatannya.
Si Nelayan, semakin mengangguk dalam. Mungkin, dia sudah yakin, dalam Pilpres nanti, dia akan memilih siapa.

Senin, 04 Mei 2009

ANGKA


Ada cerita yang dapat membedakan, antara tujuan (goals) dan Angka statistic. Dua orang Profesor ahli statistik, sedang menunggu kereta di peron. Saking asyiknya cerita, mereka tidak menyadari kalau kereta yang ditunggu sudah tiba, bahkan telah bergerak pergi. Kontan saja, kedua Professor lari lintang-pukang memburu kereta. Hasilnya: hanya satu yang berhasil melompat ke atas. Seorang penumpang di peron, kebetulan mantan mahasiswa si Profesor datang menghibur. “Prof, walaupun ketinggalan kereta, tetapi secara statistic, anda telah berhasil 50%, karena satu dari dua orang, berhasil naik kereta”. Si Professor menyergah:”Secara statistic memang berhasil. Tetapi, secara tujuan, gagal. Karena yang mau berangkat saya. Teman saya itu cuma mengantar”. Tujuan dan angka statistic, jadi acuan yang terus dipelototi di banyak organisasi yang mematok target dan kinerja: produksi, penjualan, pemasaran, biaya, nilai saham, inflasi, pertumbuhan dan seterusnya. Dalam dunia bisnis, angka yang kuat dari hasil sebuah merger, akuisisi, aliansi, trust, holding, amalgamasi, kartel, adalah sebuah sinyal bahwa sebuah persenyawaan berbagai unsur harus dilanjutkan. Karena tujuannya sangat jelas: profit. Namun, dalam ranah politik, justru bisa lain. Signifikansi angka yang diperoleh Partai Demokrat di atas Partai Golkar, justru melahirkan sebuah perceraian SBY dan JK. Angka, telah membuat nanar mata para “owners” dan “CEO” partai Demokrat untuk membuang koalisi lama dan mencari “merger” baru. Seolah angka adalah representasi mutlak sebuah perpsepsi social politik dan kondisi psikologis masyarakat terhadap hanya “seorang tokoh”, dan bukan “tokoh lainnya”. Keberhasilan seorang CEO, seperti Lee Iacoccoa pada Chrysler, Bill Gates pada Microsoft di dunia bisnis, karena ditunjang orang-orang cerdas dan kuat disekitarnya yang dapat menerjemahkan dengan baik ide-ide besar menjadi operasional, dalam bahasa yang “jelas dan lugas”. Atau, seorang Lee Kwan Yu, Bapak Singapura, ketika membangun Singapura dari sebuah rawa dan pelabuhan nelayan, dikelilingi oleh “petarung-petarung” lapangan sebagai “transporter” ke rakyat. Angka-angka capaian Partai Demokrat, yang direpresentasikan sebagai cermin ketokohan SBY, seharusnya tidak melupakan bahwa ada seorang tokoh yang bernama JK, sebagai petarung, transporter, dan pekerja yang berani bergumul di pekerjaan yang “berlumpur” dan mengerikan seperti: konflik Aceh, Maluku, Poso dan meyelesaikannya dengan bukan darah. Esensi demokrasi ada disitu. Kualitas seorang CEO sekaligus Negarawan pada diri JK, bukan hanya sekadar sebuah angka, tetapi pada substansi tujuan.