Jumat, 03 April 2009

Jokes dan Refleksi Politik: Tertawa disecangkir kopi pahit

Jokes dan Refleksi Politik: Tertawa disecangkir kopi pahit
Oleh: M. Idrus Taba
Suatu pagi, Leonid Brehznev Perdana Menteri “mantan” Uni Sovyet, sedang santai di teras Istananya, di Kremlin. Tiba-tiba ada yang menyapanya:” Selamat Pagi, Kamerad Brehznev”. Brehznev terkejut dan menengadah ke atas, rupanya dia disapa oleh Matahari pagi. “Selamat pagi juga, wahai Matahari yang cerah”. Balas Brehznev. Siang hari, dia disapa kembali:”Selamat Siang, Kamerad Brehznev”. Brehznev senang:”Selamat siang juga, wahai matahari”. Sore hari, Brehznev kembali menunggu sapaan matahari. Tapi hingga hampir petang, tidak ada sapaan. Brehznev naik pitam lalu berteriak ke atas:”Hei, Matahari, Mengapa kau tidak menyapaku lagi”. Matahari membalas:”Brengsek kau, sekarang saya sudah di barat!”. Anekdot politik itu menggambarkan, pertarungan AS dan Uni Sovyet di era perang dingin. AS dan Barat yang kapitalis melawan Uni Sovject dan Eropa Timur yang komunis. Barat adalah perlambang kapitalisme, kemajuan, modernitas dan kebebasan. Sedang Timur adalah keterbelakangan, komunisme dan penindasan. Pertarungan mereka hingga ke wilayah jokes, memberikan pembelajaran yang cukup berarti pada dunia politik di Indonesia. Dalam konteks politik di Indonesia, seberang-menyeberang ke partai lain seperti kutu loncat, atau pecahnya “bulan madu” pasca Pemilu—Bupati Gubernur, Presiden dengan Wakilnya—telah menjadi fenomena pada mozaik politik kita saat ini. Kemesraan dalam masa pacaran pra Pemilu menjadi berantakan ketika “ayatul kursi” mulai diperebutkan dan zona-zona kekuasaan pada kue jabatan dan proyek akan dibagi. Refleksi jokes dalam perspektif demokrasi dan politik kita di atas adalah salah satu dari sekian banyak yang bisa ditertawakan, tentu didasar hati yang cukup pedih.

Menyoal nasionalisme bangsa yang semakin mengabur di era globalisasi, tetapi secara paradoksal justru mencuatkan semakin menyuburnya nasionalisme Sara ala Balkan, juga mengilhami para joker dunia mengangkatnya sebagai tema. Dimata Sovyet, warga muda AS memiliki nasionalisme yang tipis, melalui jokes berikut ini. Dua penyusup di wilayah Sovyet tertangkap KGB. Keduanya tidak mau mengaku, siapa diantara mereka yang warga AS, walau telah dipaksa dengan siksaan. Lalu dihadirkan seorang Sosiolog sebagai interrogator. Dengan tenang, si Sosiolog cuma menyuruh keduanya menyanyikan Lagu Kebangsaan AS. Ketika seorang diantaranya tidak hapal, langsung dipastikan dia Warga AS. Hal yang sama, dalam kasus yang mirip, pernah dialami oleh Prof. Edi Swasono, menantu Bung Hatta, ketika mengajar Ilmu Bumi Ekonomi di Universitas Indonesia. Beliau menyebutkan 10 daerah di Indonesia, dan mahasiswa disuruh menyebutkan letaknya dimana, misalnya Pare-Pare dan Toraja diantaranya. Dari 30 mahasiswa, hanya empat orang yang dapat menyebut tiga dari 10 secara benar. Ternyata, di benak orang Jakarta, Indonesia hanya seputaran Jabotabek. Nasionalisme kebangsaan yang seharusnya kita tuju untuk dibangun, saat ini mendapat ujian berat, ketika desentralisasi menjadi euforia di daerah yang mengedepankan nasionalisme SARA yang lebih mononjol. Keberingasan di daerah dalam ranah politik, dibungkus dengan kulit tebal sara dan lokalisme, dengan mengabaikan pertimbangan rasional lainnya. Maka percikan konflik dalam berbagai perhelatan kenduri demokrasi dan politik di daerah, tinggal menunggu waktu saja untuk meledak. Dan ranah yang paling subur dan cepat menuai panen konflik adalah SARA.

Pers AS, yang sering gagal memakai kacamata dengan lensa yang sama dalam memandang sebuah peristiwa, terutama menyangkut Islam, juga turut bertanggungjawab atas suburnya sentiment ini.. Pers bebas, pers yang memihak pada kebenaran, tetaplah sebuah entitas bisnis dalam sebuah tekanan environment politik dan psikologis budaya masyarakatnya. Tidak terkecuali di AS. Benturan peradaban Barat dan timur (Islam) seperti tesis Huntington salah satu contohnya. Di New York, Seorang anak, dikejar anjing gila. Dalam kondisi yang terdesak dan sangat berbahaya, tiba-tiba muncul seorang lelaki, dengan ciri-ciri Timur Tengah: pakai sorban, berjangggut lebat, dan berjubah gamis. Dengan sekali tebas, anjing itu terlempar dan mati. Anak itu selamat. Orang-orang yang berkerumun memberi pujian. Muncul wartawan New York Times mewawancarai. Besoknya, berita di Koran berbunyi:” seorang anak kecil dikejar oleh teroris Arab: bersorban, berjanggut, dan berjubah gamis. Untung, seekor Anjing, dengan tangkas menyelamatkan anak itu”.

Multikulturalisme dan pluralisme sebagai nilai-nilai yang menjunjung tegaknya demokrasi, juga sarat dijadikan tema-tema jokes, khususnya di Negara multirasial seperti AS. Kulit hitam di AS, sering dijadikan santapan ejekan jokes politik di Uni Sovyet yang menganggapnya sebagai sebuah noda sejarah bangsa Anglo Saxon. . Misalnya, seperti ini.. Konon, AS sudah menyiapkan penyerbuan ke Sovyet. Untuk memperoleh data akurat, diperintahkan CIA, dinas rahasia AS memata-matai. Untuk itu, CIA menyiapkan dan melatih agennya selama berbulan-bulan untuk menyusup ke Kremlin. Seluruh bahasa di Sovyet sudah dikuasainya. Ketika Agen disusupkan, langsung ditangkap oleh KGB, dinas rahasia Sovyet. Dengan heran si Agen CIA bertanya:”Kamerad, bagaimana anda langsung tahu, bahwa saya bukan orang Sovyet?”. Dengan kalem, agen KGB menjawab:”Mudah saja. Di Sovyet tidak ada orang Negro!”. Refleksi ejekan ini juga bisa menyebar ke rapuhnya institusi seperti CIA, yang memang terbukti terlalu dibesar-besarkan akurasi analisisnya. Contoh ketika Perang Teluk II di Irak. Hingga saat ini, senjata pemusnah yang diklaim AS dimiliki Saddam Hussain, tidak pernah terbukti. Kekonyolan AS menjadi konsumsi ejekan di seluruh dunia.

AS yang memiliki perusahaan-perusahaan MNC dengan manajemen modern yang sangat efisien dengan kualitas produk terbaik, menjadikan tema utama untuk mengejek perusahaan di Sovyet.. Dia membalas dengan Jokes lain. Kali ini, mengejek perusahaan BUMN di Sovyet yang sarat dengan korupsi dan output produk yang bermutu rendah. Pemerintah Sovyet memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepada sebuah perusahaan Korek Api Sovyet, karena berhasil menggagalkan sebuah operasi sabotase yang dilakukan CIA di kompleks instalasi militer Sovyet. Konon, kegagalan CIA, karena ketika akan membakar sumbu peledak dengan menggunakan Korek Api buatan perusahaan tersebut, tidak ada satupun yang menyala, walau sudah habis berkardus-kardus. Pada kasus BUMN di Indonesia, jokesnya bisa begini: BUMN kita, walau monopoli, tapi terus merugi. Namun, anehnya, mereka bisa bagi-bagi bonus. Sebuah keajaiban scientifik dalam terapan financial management.

Dalam hal kekerasan institusi Negara terhadap warganya, Indonesia, termasuk salah satu Negara yang memiliki reputasi yang cukup mencengangkan, sejajar dengan Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin, khususnya ketika merujuk pada peristiwa penumpasan komunisme dulu. Kita pernah dikonyolkan dimasa rezim orde baru dengan sebuah jokes sarkasme. Konon, dalam sebuah penggalian arkeologi, ditemukan fosil di Mesir. Persoalannya, para arkeolog tidak bisa menentukan berapa usia fosil. Seluruh ahli arkeologi dunia berkumpul. Tapi, tidak satupun yang akurat menebak usia fosil dan bisa diterima bersama. Indonesia, yang mengirim seorang prajurit berpangkat Sersan, mengajukan diri. Tentu saja dia ditertawakan. Tapi, ketika si Sersan berduaan dengan fosilnya di kamar, terdengar jeritan keras fosil:”usiaku, tigaribu tahunnn..! Para arkeolog kagum dan bertanya: “Bagaimana metode anda, sehingga fosilnya mengaku?”. Si Sersan menjawab bangga:”Mudah saja, saya cabut kukunya!”

Euforia masyarakat pasca runtuhnya rezim orde baru dan menyongsong era reformasi, membuat sebagian menjadi kalap “demokrasi”. Segala hal berbau kebebasan disantap dengan lahap. Termasuk, ideology Pancasila, yang seolah sudah lupa dimana “petinya” kini diletakkan. Juga, ketika kita tergagap dan serabutan mengamandemen UUD 1945 dengan sangat tergesa-gesa. Jokes berikut mungkin dapat merfleksikan kondisi psikologi masyarakat kita. Ceritanya begini. Suatu pagi, di masa Orba, Presiden keliling istana. Dia berjumpa seorang Ibu mendorong kereta bayi. Ketika Presiden mendekat, ternyata kereta itu berisi seekor bayi kucing yang masih merah, dan dilehernya tergantung secarik kertas bertuliskan “Kucing Pancasila”. Presiden bangga melihat fanatisme rakyatnya terhadap ideology yang dianut. Dia memberinya hadiah. Keesokan harinya, mereka bersua lagi. Presiden memberinya lagi hadiah. Hari ketiga, ketika mereka bersua kembali, ternyata tulisan dileher kucing itu sudah tidak ada. Presiden bertanya: “mengapa tulisan dilehernya dilepas”. Si Ibu, menjawab: “Kucingnya sudah melek, Pak Presiden. Dia telah memilih ideologinya sendiri”. Indoktrinasi dan pemaksaan sebuah sebuah ideologi yang telah berubah wujud jadi dogma, bahkan, kitab suci kedua pada sebuah bangsa, tanpa member ruang untuk revitalisasii nilai-nilai baru, kadang malah membuat rakyat kehilangan elan vital nasionalisme sejatinya. Sebuah jokes yang mengundang rasa pahit terjadi di Uni Sovyet dulu.. Perdana Menteri Brehznev berkunjung kesebuah sekolah Taman Kanak-Kanak. Dengan suara lantang, Dia bertanya:”Anak-anak sekalian, siapa Bapakmu!?”. Serentak anak-anak menyahut: “Komunisme!”. Presiden senang, lalu bertanya lagi: “Lalu, siapa Ibumu?!”.Politbiro Partai!”.. Presiden semakin senang. “Kalau besar, mau jadi apa!?” Tanyanya lagi. ”Jadi anak yatim-piatu!!” Teriak serentak anak-anak.

Kebebalan otak seorang Presiden Reagen, menjadi sorotan pula, selain tentunya, Bush Junior. Mendengar informasi dari CIA bahwa Grenada, Spanyol akan diserang Komunis, Reagen memerintahkan agar menerjunkan pasukan dengan dalih menyelamatkan demokrasi. Wapres Mondale bertanya:” Tuan Presiden, Grenada itu dimana?”. “Cari di Peta, dong. Mungkin Afrika, atau bisa jadi di manaaaa, gitu.” Masyarakat AS yang terbiasa berpikir dan melihat dalam lanskap besar, konon, pengetahuan Geografinya sangat rendah. Bagi mereka, dunia ini adalah Amerika Serikat. Jadi, seringkali mereka heran, ketika ada orang yang tidak sama dengan cara pandang mereka: misalnya Saddam Hussain, Ahmaddinejad, Khadaffi, Kim Jong Il dan sebagainya.

Soal HAM dan Demokrasi yang sering dicap paling payah di Uni Sovyet, Amerika Latin, Afrika dan sebagian Asia, juga dijadikan bahan ejekan oleh AS, yang mengklaim dirinya sebagai pendekar Demokrasi dunia. AS pernah mengejek Sovyet tentang Demokrasi dan HAM. Konon, suatu hari, Panglima Angkatan Laut Republik Chad, Afrika Tengah, berkunjung ke Sovyet. Perdana Menteri Sovyet, dengan heran bertanya:”Seingat saya, Chad tidak punya laut. Untuk apa ada Panglima Angkatan Lautnya?”. Panglima AL Chad menjawab:” Saya juga heran, untuk apa ada Menteri Kehakiman di Sovyet?” Kalau di Indonesia, ceritanya lain lagi. Keperkasaan KPK sebagai lembaga super body mengkeretkan nyali banyak koruptor. Seorang pejabat sedang dicukur. Tukang cukur bertanya:”Pak, saya dengan KPK memanggil Bapak ya?”. Si Pejabat menepis: “Ah, tak perlu kau tanya itu”. Selang setengah menit, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, saya dengar, status Bapak sudah tersangka Ya?”. Si Pejabat jengkel: Akh, diamlah kamu. Itu bukan urusanmu!”. Dua menit kemudian, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, saya dengar status Bapak sudah tertuduh oleh KPK”. Si Pejabat naik pitam lalu membentak:”Eh, mengapa sih kamu terus bertanya. Apa urusanmu?”. Si tukang Cukur menjawab: soalnya, Setiap kali saya sebut KPK, rambut Bapak berdiri sehingga mudah digunting”.

Persoalan sogok-menyogok, juga menjadi konsumsi banyolan paling laku keras di Indonesia. Misalnya, seorang pejabat yang ketika meninggal dunia, sulit dikafani karena kedua tangannya tetap terbuka seakan sedang meminta sesuatu. Setelah dipaksa berkali-kali untuk bersedekap dan gagal, akhirnya seorang teman kerjanya menyelipkan uang seribuan di kedua jarinya. Kontan, kedua tangannya menjadi lemas sehingga mudah disedekapkan didadanya. Cerita lainnya, Seorang Pejabat yang sangat idealis, mengakhiri jabatannya dan pensiun dengan sukses tanpa cela. Pada saat acara selamatan, seorang tamu menghampiri:”Pak, saya sekarang menjadi pengusaha sukses berkat proyek yang saya peroleh semasa Bapak menjadi Pejabat. Olehnya itu, saya ingin menghadiahi Bapak sebuah mobil Mercy sebagai tanda terima kasih”. Si pejabat menggeleng: Tidak bisa. Saya seorang idealis. Saya tidak bisa menerima pemberian Saudara. Itu tetap sogokan”. Setelah didesak berkali-kali dan tetap menolak, akhirnya si pengusaha berkata:” Begini saja Pak. Supaya tidak dianggap sogokan, Bapak beli saja Mercy ini seharga limapuluh ribu rupiah”. Setelah berpikir sejenak, sipejabat setuju, lalu menyerahkan uang sebanyak dua ratus ribu rupiah. Si pengusaha heran, katanya:”Pak, harga mobilnya cuma lima puluh ribu. Uang Bapak lebih”. Si pejabat senyum, dan menukas:”Mumpung murah, saya minta tiga unit lagi”.

Keletihan yang semakin sarat pada masyarakat akibat gonjang ganjing politik dan proses-proses demokrasi yang sangat mempertontonkan rendahnya kualitas wacana dan perburuan kekuasaan sebagai tujuan utama, telah menggiring kita untuk survive dalam kondisi ini. Kebertahanan dengan tetap menjaga kejernihan berpikir dan bertindak dalam kusut masai problematika bangsa dapat dilakukan pada berbagai cara. Salah satunya, kemampuan menertawakan diri sendiri dengan melihat sisi jokes pada sebuah obyek, peristiwa, dan orang pada ranah politik, social, ekonomi dan lainnya, dapat menjaga kesadaran kita untuk tetap beridiri dikejernihan hati, pikiran , dan tindakan. Semoga.