Senin, 23 Februari 2009

Tukang Cukur

Seorang pejabat sedang dicukur. Tukang cukur bertanya:”Pak, saya dengan KPK memanggil Bapak ya?”. Si Pejabat menepis: “Ah, tak perlu kau tanya itu”. Selang setengah menit, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, saya dengar, status Bapak sudah tersangka ya?”. Si Pejabat jengkel: Akh, diamlah kamu. Itu bukan urusanmu!”. Satu menit kemudian, Tukang cukur bertanya lagi:”Pak, di koran, status Bapak sudah tertuduh oleh KPK”. Si Pejabat naik pitam lalu membentak:”Eh, mengapa sih kamu terus bertanya. Apa urusanmu?”. Si tukang Cukur menjawab: Soalnya, Setiap kali saya sebut KPK, rambut Bapak berdiri sehingga mudah digunting”. Stress, tanggapan situasional atau peristiwa yang membuat kondisi fisik dan psikologis seseorang bereaksi berlebihan. Karya Leo Tolstoy, novelis Rusia, seperti War and Peace dan Anne Karenina, lahir dalam arena stress yang berkecamuk di rumah tangganya. Tapi, perlukah seorang Pimpinan, menunggu “rambut karyawannya” berdiri atau depresi, untuk memperoleh performance optimal? Mungkin tidak. Tapi, yang perlu adalah memahami stress karyawan yang fungsional, sebelum menukik ambruk dikubangan stress disfungsional sehingga merusak kinerja. Yerkes dan Dodson (1907), menilai hubungan stress dan performance dalam interval rendah-tinggi. Jika, stress rendah, kinerja juga rendah, hingga mencapai kulminasi yang masih fungsional. Tapi, jika lewat titik “didih”, maka stress berubah disfungsional. Lingkungan eksternal, rumah tangga, organisasi, dan karakteristik inidividu seseorang, menjadi penyebabnya (Cooper& Payne,1984). Pertama, Faktor eksternal: politik, ekonomi, social-budaya, seperti gonjang-ganjing politik domestic dan demo Pilkada, berkorelasi tidak langsung. Kedua, faktor family dan economic problems: PHK, uang sekolah anak, biaya rumah sakit serta “khas individual” lainnya, seperti cara tanggap problem, pengalaman kerja, dan tingkat Pe De, ditambah tekanan beban tugas, ambiguitas peran, hubungan perkawanan, pimpinan yang uring-uringan, struktur dan kedewasaan organisasi, secara simultan dapat menggiring lebih cepat kearah stress disfungsional yang parah. Penyembuhannya, secara individual, sangat tergantung pada siindividu itu sendiri. Seorang pasien insomnia, menemui Dokter Psikiater. Kata Dokter:”kamu hanya butuh hiburan saja. Sebentar malam, tontonlah sebuah pertunjukan lawak yang sangat terkenal di gedung theatre. Setelah nonton, kau pasti sembuh” Si pasien, menggeleng, katanya:”Kayaknya saya tidak akan sembuh. Karena, justru sayalah pelawak itu.”

Bahasa Politik

Di zaman perang dingin, AS menyerang Uni Sovyet dengan sebuah banyolan. Seorang agen CIA yang membelot, melapor ke kantor KGB (Dinas Rahasia Sovyet). “Saya anggota CIA, mau melaporkan pembelotan saya”. “Di CIA, kamu unit apa?” Tanya agen KGB. “Sabotase”. Jawabnya. “Silakan naik ke lantai dua, belok kanan”. Di lantai dua, dia ditanya:” Sabotase benua apa?”. “Asia!”. “Silakan ke lantai tiga, belok kiri”. Dilantai tiga.”sabotase ke pemerintah atau masyarakat?”. “Pemerintah!”. “Naik ke lantai empat belok kiri”. Dilantai empat. “Sabotase pemerintah: militer atau birokrat?”. “Militer!”. “Naik ke lantai tujuh, lurus lalu kanan”. Akhirnya, di lantai tujuh, agen KGB yang ditemuinya di ruangan itu membentak:”Saudara ini tahu jam kerja tidak!?, ini sudah jam empat sore. Kantor sudah tutup. Besok saja baru datang!”. Birokrasi organisasi yang menjulang bak tangga ke langit, dan menggurita ke kiri-kanan, adalah lokomotif tua yang perlu dimuseumkan. Charles Hamdy, seorang pakar organisasi, mengatakan:”organisasi yang masih berperilaku “mesin”:dirancang, diukur, dikendalikan, dimanage sudah harus diganti dengan memandang organisasi sebagai”jaringan kerja”. Makanya, kata beliau, organisasi modern banyak mengadopsi jargon-jargon organisasi politik, menggantikan organisasi “mesin”, seperti: adhocracy, federalism, aliansi, tim, empowerment, inisiatif. Ketaatan diganti keterlibatan. Manajemen menjadi kepemimpinan. Manajer diganti pemimpin tim, coordinator proyek, mitra pemimpin, fasilitator atau ketua. Contoh, Subsidiaritas, yang dalam istilah politik dinyatakan bahwa suatu lembaga yang lebih tinggi tidak harus mengambil tanggungjawab yang dapat diselenggarakan lembaga yang lebih rendah. Jadi, untuk apa direksi banyak berkubang di seksi tim-tim kerja teknis?. Juga, wewenang. Pada organisasi “mesin”, kekuasaan berasal dari kedudukan seseorang. Dalam organisasi “politik”, pemimpin dipilih oleh rakyat untuk mengayomi mereka. Gelar dan peranan, bobotnya rendah, sampai seorang pemimpin dapat membuktikan kompetensinya. Ketiga, virtualitas. Organisasi baru berpencaran, bekerja di lokasi berbeda, beragam jabatan, dan tidak perlu menunjukkan kesetiaan pada perusahaan. Persis, sebuah organisasi politik. Menganut rumus 20/80. Hanya 20% yang masih duduk di kantor. 80%nya: kontraktor, part timer, professional mandiri, free lance. Organisasi, berubah jadi “wadah kontrak”, bukan lagi “kawasan pemakaman” yang berisi zombie, fosil, atau badak yang menunggu kemusnahannya.

Siklus karir

Saya bertemu seorang teman lama yang baru cerai. Sambil makan, dia menceramahi. “Perkawinan, adalah etape panjang yang harus kau selesaikan dalam sebuah rally seperti Paris-Dakkar. Kau perlu menjaga stamina, timing, team work, sambil tetap membangun kepercayaan antara si driver dan navigator, agar tidak tersesat. Jika gagal, kau game over”. Saya memotong.”Well, lalu, mengapa kau cerai?”. “Selingkuh!” Sergahnya, kemudian bertanya” Apa bedanya Istri dan teman selingkuh?”. Saya jawab sekenanya:”Istri, sah secara hukum. Teman selingkuh, jika celaka, bisa disahkan hukum”. Dia tersenyum. “Teman selingkuh, ibarat ikan goreng rica-rica ala Manado. Sudah tahu pedas, tapi terus juga disantap sampai bibir dower. Sedang Istri, ibarat Pizza dingin dalam kulkas. Saat tengah malam, walau dingin, tetap disantap, daripada tidak ada”. Pantas cerai, pikirku. Bagaimana anda memandang perusahaan atau tempat anda kerja saat ini? Masih tetapkah menjadi harapan meniti karir hingga akhir etape? Atau, butuh jalur baru?. Kebosanan, ekspektasi baru, ketidakpuasan, aktualisasi, tantangan baru, adalah sejumlah alasan umum untuk merambah peruntungan lain. Donald Super dan Edgard Schein (1978), dalam Career Dynamics, mengurainya sebagai siklus karir. Mereka membaginya delapan siklus. Satu, usia hingga 14 tahun, periode pengembangan konsep diri. Berinteraksi secara intens dengan orang lain, seperti keluarga, teman dan guru. Dasar nilai-nilai kepribadian sarat diterima di era ini. Dua, usia 15-24 tahun, tahap penjelajahan. Seseorang menjelajahi berbagai alternative kedudukan, dan mencocokkan dengan minat dan kemampuan. Tiga, tahap penetapan, usia 24-44 tahun. Periode karir yang menjadi jantung dari kehidupan kerja kebanyakan orang. Empat, sub tahap percobaan, usia 25-30 tahun. Orang menentukan apakah pilihan itu sudah cocok. Jika tidak, mereka berusaha merubahnya. Lima, sub tahap pemantapan, usia 30-40 tahun. Jabatan dan perencanaan karir, semakin jelas. Di sisi lain, orang sering membuat penilaian baru dan besar atas kinerjanya, dihubungkan dengan ambisi dan karir. Enam, tahap pemeliharaan, usia 45-65 tahun. Disebut tahap “mengamankan” posisinya dalam dunia kerja. Biasanya, sulit diajak berubah radikal. Tujuh, tahap kemerosotan, usia di atas 65 tahun. Periode berkurangnya level kekuasaan dan tanggungjawab. Terakhir, siklus delapan, pensiun. Jalan panjang sebuah kerja yang telah berakhir. Kita perlu sadar, bahwa sebuah karir akan berakhir, seiring usia yang terus merambat. Dikesadaran itu, kita butuh jedah.

naik pangkat

Betulkah, jika pangkat naik (job level), juga kepuasan kerja (Job satisfaction) ikut terdongkrak? Jawabnya: Ya (Arvey, Carter & Buerkley,1991). Jauh sebelumnya, Hoppock (1935), mengkaji apakah kepuasan orang bervariasi secara sistematis?. Dia menemukan bahwa kepuasan kerja bertingkat dari rendah hingga tinggi sesuai job level: pekerja semi terampil, terampil, subprofesional, dan akhirnya pekerja professional. Tapi, tidak semuanya setuju. Ada juga yang menemukan sebaliknya. Job satisfaction turun karena job level naik (Bourne, 1983;Mossolder, Bedeian & Armenakis,1981). Perbedaan para pakar, selain aspek metodologis, juga karena penentuan ruang dikotomik pekerjaan misalnya: kerah putih vs kerah biru (Jackson et.al,1987), manajemen vs non-manajemen (Louttinville&Scherman,1988), supervisor vs non-supervisor (Rexroat &Sehan,1986). Atau, menggunakan pendekatan pendapatan (McDonald &Gunderson,1974), pendidikan (Gates,1977) dan juga status social-ekonomi/prestise (Utecht&Aldag,1989). Artinya, mencoba melihat pola hubungan keduanya, akan menjadi lain, ketika kita menggunakan dimensi pengukuran yang beda.

Bagi kelompok pertama, ada dua factor yang memperkuat hubungan antara job level dan job satisfaction. Pertama, kompleksitas pekerjaan. Gaji, tunjangan, teman kerja, promosi, dan bos bertemali secara kompleks yang bermuara pada rasa puas. Bisa saja, seseorang puas dengan gaji, tapi tidak pada kerja.Atau punya teman kerja yang menjengkelkan tapi, Bosnya baik. Organisasi seharusnya dapat mengoptimalkan seluruh aspek itu. Kedua, semakin tajam perbedaan jarak kekuasaan akan semakin besar kepuasan jika naik pangkat. Artinya, jika pangkat membuat seseorang “meninggalkan”semakin jauh orang dibawahnya, maka rasa puas semakin melambung. Pada lingkungan organisasi yang feodalistis dimana perbedaan status social, prestise, dan hak-hak sangat penting, temuan ini sangat kuat. Tetapi pada lingkungan yang multicultural dan lintas budaya, jarak kekuasaan tidak diterjemahkan pada “beda darah”, tetapi pada tanggungjawab, pertumbuhan, otonomi, dan aktualisasi.

Kerja, memang misterius..“kau bekerja, supaya langkahmu seiring irama bumi, serta perjalanan roh jagad ini...mencintai kehidupan dengan bekerja, adalah menyelami rahasia hidup yang paling dalam...” (Kahlil Gibran, The Prophet).