Rabu, 21 Mei 2008

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Oleh: Dr. Ignas Kleden (Ketua Komunitas Indoensia untuk Demokrasi, KID)


DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.

Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal umum “bahasa menunjukkan bangsa”. Ada pula ungkapan “orang berbangsa”. Jelas bahwa kata “bangsa” dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan, karena “bangsa” dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang baik-baik, yang jelas “bibit, bebet, dan bobot”-nya, yaitu mereka yang termasuk dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan. Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak termasuk dalam golongan “orang berbangsa”.

Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara, adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.

Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian “bangsa” yang hingga saat itu masih terbatas hanya pada “orang berbangsa”. Revolusi pengertian ini tidak berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo masih dipimpin oleh para ningrat.

Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul kemudian. Makna baru kata “bangsa” diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang para pencetusnya “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia... berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” sambil “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara politik.

Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno, memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil, modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.

Dalam tulisannya, “Marhaen dan Proletar”, Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke dalam “bangsa” dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.

Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, “Indonesia Merdeka”, di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).

Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial. Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam, memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.

Istilah “dagang” dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari “orang berbangsa”. Studi-studi sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap “orang asing” dalam suatu masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang berbangsa.

Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik, apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam “bangsa” dan menjadikan mereka kekuatan dalam perjuangan politik.

Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam filsafat serta ilmu pengetahuan.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai “Indonesia”. Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama “Indonesia” lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada 1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama “Indonesia” mencakup juga 15 juta orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.

Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama “Indonesia” dipakai dalam arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan geografis dan etnologis. Kata “Amerika” menunjuk suatu benua yang membujur dari kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama “Amerika” dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.

R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata, ”Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut. Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus.”

Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.

Rabu, 07 Mei 2008

Non-Market Strategy

Dimalam yang gelap gulita disertai hujan deras di tengah laut yang bergelombang tinggi,

Sedang diadakan latihan perang gabungan. Tiba-tiba dikejauhan, seberkas cahaya berkedap-kedip. Panglima kapal perang langsung memberi kode morse ”kamu yang di depan, segera minggir 15 derajat”. Cahaya itu, langsung membalas:”kamu yang minggir 15 derajat”. Sang Panglima, kesal lalu membalas:”Kamu minggir 15 derajat, disini Panglima Kapal Perang”. Cahaya itu balik menukas:”Kamu yang minggir 15 derajat, disini pelaut kelas dua”. Panglima hilang kesabaran dan mengancam:” Kamu minggir, atau saya tabrak!”. ”Silakan tabrak, disini Mercu Suar” Balas Cahaya itu. Ada berapa banyak perusahaan yang kemudian mau dan bisa berubah setelah ancaman eksternal hadir dihadapan. Paling tidak, ada tiga cara yang ditempuh untuk berubah. Ada yang mau berubah setelah kondisi sangat akut. Sejumlah kerusakan, bagai kanker, sudah merasuk jauh ke jantung dan tinggal menunggu paku kematian dimartir. Model penyelamatannya: amputasi. Ada pula dengan cara reaktif. Perubahan direspon segera. Mungkin sudah ketinggalan dari pesaing, tetapi, paling tidak masih dijalur perubahan yang benar. Cara lain, disebut proaktif, yang berubah karena kekuatan visi. Mampu menatap jauh dibentangan masa depan, dan melihat pada posisi mana seharusnya perusahaan berdiri. Perusahaan unggul, menurut berbagai riset, adalah mereka yang berada di jalur ini.

David Byron (2003), dalam bukunya Business and its environment, mengajak kita untuk merambah lingkungan eksternal yang disebut: Non-Market, selain aspek Market yang menjadi concern dunia bisnis selama ini. Lingkungan Market, adalah wilayah kerja utama perusahaan, mencakup interaksi antar perusahaan, suppliers, dan customers yang diatur melalui pasar atau melalui kesepakatan-kesepakatan ( misalnya kontrak). Non-Market, adalah aspek sosial, politik, dan berbagai peraturan pemerintah yang memberikan tekanan terhadap strategi perusahaan. Oleh karena issu yang disandang non-market begitu luas, maka Perusahaan perlu menjadikannya sebagai bagian integral dari Coporate strategy. Berbagai issu seperti perlindungan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja, kebijakan teknologi, politik legislasi, regulasi dan antimonopoli, HAM, tekanan aktivis NGO, hubungan pemangku-kepentingan, CSR, dan etika, memerlukan pengetahuan, pemahaman, dan ketrampilan untuk mengelolanya. Mungkin saja, selama ini banyak perusahaan sudah melakukan analisa dan pendekatan terhadap issu tersebut. Tetapi, sifatnya sektoral, fragmen, dan sporadis, sehingga hasilnya tidak efektif. Ada BUMN yang setiap tahun kelabakan menghadapi sekelompok masyarakat yang mengklaim tanah perusahan sebagai Hak ulayat, tanah milik, space publik . Ada pula yang dijadikan ”agenda kunker” akhir tahun oleh Legislatif. Atau, Pemda mengganggu dengan ”tagihan retribusi”, padahal fasilitasnya dibangun perusahaan. Belum lagi sentimen berantai yang dipicu masalah etnik, agama, dan kelompok lainnya yang dapat merembet kepersoalan rasialisme.

Sudah saatnya perusahaan sebagai entitas bisnis, tidak hanya memikirkan aspek Market saja. Apsek non-merket memerlukan analisis yang lebih luas, seperti analisis struktur sosial-politik masyarakat. Bagaimana peta geopolitik dan sentimen sektarian dapat berkait core business perusahaan. Bagaimana Peran, aktor, jaringan, dan struktur activist pressure dari kalangan NGO yang dekat dengan issu lingkungan, tenaga kerja, HAM, dan demokrasi yang berdampak pada domestik maupun international business . Bagaimana Peran dan tekanan eksekutif dan legislatif dalam berbagai kebijakan legislasi, publik, dan politik terhadap misi perusahaan. Adakah, aspek Non-Market sudah diformulasi dalam sebuah Framework, sebagai bagian integral dari Corporate Strategy?. Saya khawatir, belum.

Body Language

Perhatikan ceritera berikut: 1) seorang istri menegur suaminya, katanya “Daeng, tidak usah menyiram bunga, karena sedang hujan”. Suaminya menyahut:” No, problem, saya pake Jas Hujan”. 2) Seorang murid SD ditanya Gurunya:” Badu, jika Ayahmu pinjam uang 10 ribu, dan sudah dibayar 3 ribu, sisa berapa utangnya?”. “Sepuluh ribu, Bu!” Jawab Badu mantap. “Bodoh amat kau menghitung!”. Sergah Gurunya. Badu menukas kalem:” Mungkin saya bodoh Matematika, tapi Ibu Guru tidak kenal Ayah Saya. Ayahku kalo ngutang tidak pernah bayar!”. Apa yang salah dari komunikasi itu?. Riset menunjukkan bahwa komunikasi yang buruk paling sering disebut sebagai sumber konflik antarpribadi. Karena para individu menghabiskan hampir 70 persen dari waktu kerjanya untuk berkomunikasi, tampaknya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa salah satu kekuatan yang paling menghambat suksesnya kinerja kelompok adalah kurangnya komunikasi yang efektif. Komunikasi harus mencakup perpindahan dan pemahaman makna. Gagasan tidak berguna sebelum diteruskan ke dan dipahami oleh orang lain. Hanya lewat perpindahan makna dari satu orang ke orang lain, informasi dan gagasan dapat dihantarkan dan dipahami. Persoalannya, pemaknaan- obyek, orang, peristiwa- sarat dengan karakteristik psikologis individu, lingkungan sosiologis, budaya, dan pilihan media komunikasi: verbal, tulisan, dan non-verbal. Media terakhir ini, sering disebut body language communication atau bahasa tubuh. Mencakup gerakan tubuh, intonasi atau tekanan yang kita berikan pada kata-kata, ekspresi wajah, dan jarak fisik antara pengirim dan penerima. Pesan paling penting yang disampaikan bahasa tubuh adalah (1) sejauh mana individu menyukai orang lain dan berminat terhadap pandangan pemikirannya, serta (2) status yang relatif diterima antara pengirim dan penerima.

Jadi, ketika Presiden SBY yang dua kali menegur audiens ketika sedang pidato- pertama, terhadap wartawan yang asyik bicara di Istana Negara, dan kedua, terhadap Bupati yang tidur- justru menunjukkan sejauhmana “minat atau tidak minatnya”, audiens terhadap performance body language skill Presiden ketika bicara yang terkesan datar, terjaga, dan minim ekspresi. Akibatnya, ada empati yang putus. Rasa haru yang tetap nyenyak disanubari, dan, bulu kuduk yang tidak merinding untuk meneteskan airmata. Ada status yang tertolak. Bagi si wartawan dan si Bupati: bahwa verbalisme dan body language “si pengirim”, menthok, dikeasyikan “bicara sendiri” dan “tidur mendengkur”.

Seorang Pemimpin, perlu membangun karakter khas bahasa tubuh yang mengalir dan diterima oleh orang atau masyarakat receiver. Ada`komunikasi tubuh yang universal, berlaku dalam masyarakat luas. Ada pula yang khas, kontekstual, dan lokal. Dagu terangkat, mulut terkatup, dan mata memicing, artinya angkuh. Melipat kedua tangan, maksudnya tidak berminat. Badan dicondongkan, artinya saya menyimak. Memegang dagu, mungkin dia ragu. Tapi, memegang telinga, sambil menunduk saat bicara, kemungkinan dia bohong. Duduk menyilang kaki, sambil bersandar, maksudnya: saya berkuasa. Tapi, duduk dan melipat kaki disertai melipat tangan, merasa betapa tidak amannya dirinya. Mengangguk, bisa berarti ya, atau mungkin “saya mengerti”. Ada sebuah suku di pedalaman Tahiland, jika senang pada tamunya, akan menjulurkan lidahnya keluar. Bagi sebagian orang, itu menghina. Tapi, maksudnya adalah bahwa dia “bersih” dari ilmu jahat, karena lidahnya tidak hitam. Prof. Amiruddin mantan Rektor Unhas, kalau dia menggebrak meja dan marah-marah ketika memanggil para aktivis, artinya “berita baik” karena tidak akan dischorsing. Tapi, kalau sikapnya berkebalikan, pertanda “berita buruk”.Bagi seorang bawahan, penting untuk memiliki ketrampilan membaca bahasa tubuh pimpinan. Ada cerita di jaman Orde baru. Pak Presiden, pergi mancing bersama tiga menteri. Nasib baik, seekor kakap merah berhasil dipancing. Timbul masalah, bagaimana membagi secara adil ikan tersebut. Menteri 1, terkenal jujur, katanya: “dipotong 4 Pak”. “Salah!”. Sergah Presiden. Menteri 2: Bagi dua, Pak. Sepotong untuk kami bertiga, setengahnya untuk Bapak”. “Masih Salah!” Kata Beliau. Menteri 3, yang tekenal selalu minta “petunjuk Bapak Presiden” menyela: “dibagi tiga, Pak. Potongan satu, untuk makan paginya Bapak. Potongan dua, untuk makan siangnya Bapak. Potongan tiga, untuk makan malamnya Bapak”. Nah, itu baru adil” Puji Beliau.